Saturday, January 4, 2014

Ajal Hamzah bin Abdul Muthalib



Ja’far bin Amru bin Umayyah al-Dzamiri berkata, “Aku pernah keluar bersama Ubaidillah bin Adi bin al-Khiyar dalam beberapa peperangan di masa khalifah Muawiyah. Suatu hari, kami berjalan dan berpapasan dengan Hamsu dan Wahsyi. Ibn Adi kemudian bertanya pada Ja’far, Apakah kita harus bertanya pada Wahsyi bagaimana ia bisa membunuh Hamzah? Kami kemudian keluar menanyakan perihal ini kepadanya secara langsung. Kami juga tak ketinggalan kesempatan untuk menanyai Hamsu mengenai peristiwa terbunuhnya Hamzah. Dia mengatakan, Saat itu dia (Hamzah) berada di bawah bayangan pendeknya hingga ia kelihatan seperti kantung besar.”
Ja’far bertutur, “Kami datang yang disertai dengan datangnya Baisir yang langsung berhenti di hadapan kami. Kami lalu menyalaminya dan ia pun membalas salam kami. Saat itu Ubaidillah memakai sorban di kepalanya sehingga Wahsyi tidak dapat melihat seluruh tubuhnya melainkan hanya mata dan kedua kakinya. Ubaidillah berkata pada Wahsyi, Wahai Wahsyi, apakah kamu mengenaliku? Wahsyi langsung menengok asal suara tersebut dan melihatnya. Ia menjawab, Tidak, aku tidak mengenalimu. Tapi aku kenal orang yang bernama Adi bin al-Khiyar. Aku pernah mendengar bahwa ia telah menikahi seorang gadis bernama Ummu Qital, putri dari Abu al-Aish. Ia melahirkan seorang anak dari Adi di kota Makkah. Aku pernah meminta izin kepada wanita tersebut untuk mengasuh anaknya. Ia pun menyetujuinya. Lalu aku bawa anak itu beserta ibunya supaya mereka bisa hidup bersama. Sungguh aku seakan melihat kedua telapak kaki Adi bin al-Khiyar.”
Setelah mendengar cerita Wahsyi, Ubaidillah langsung membuka sorban yang menutupi mukanya. Ia kemudian berkata pada Wahsyi, “Apakah engkau tidak ingin memberitahu kami mengenai bagaimana Hamzah bin Abdul Muthalib terbunuh?” Ia menjawab, “Ya, sesungguhnya Hamzah telah membunuh Taimah bin Adi bin Al-Khiyar saat perang Badar.” Lalu tuanku yang bernama Jabir bin Mat’am berkata padaku, “Jika kamu bisa membunuh Hamzah, maka kamu akan aku bebaskan dari status budak.” Di saat orang-orang sedang berbondong-bondong pergi memperingati hari ‘Ainain[1]  atau peringatan setahun perang Uhud, aku pergi bersama beberapa orang untuk berperang. Ketika kami bersiap-siap hendak berangkat, tiba-tiba saja seorang bernama Siba’ keluar barisan dan berkata, “Apakah di antara kalian ada yang menjadi pemain anggar?” Hamzah bin Abdul Muthalib keluar dari barisan dan mendatangi Siba’. Ia lalu berkata, “Wahai Siba’, putra dari Ummu Anmar yang berprofesi sebagai pengkhitan para wanita, apakah engkau menentang Allah dan rasul-Nya?” Dengan sigap, tiba-tiba Siba’ langsung menyerang Hamzah seolah sangat bernafsu ingin membunuhnya. Siba’ pernah berkata sebelumnya, “Aku telah mengincar Hamzah saat di gurun. Ketika itu, ia mulai mendekat kepadaku, aku pun langsung melemparinya dengan belati. Sehingga senjata itu tepat mengenai bagian di atas kemaluan sampai menembus bagian di antara dua tulang pinggul.”
Dalam riwayat lain Siba’ mengatakan, “Supaya tidak kelihatan Hamzah, saat itu aku berlindung dari balik pohon dengan membawa sebilah belati. Ketika aku mendapatkan kesempatan untuk menggerakkan belatiku, aku langsung melemparkannya pada Hamzah. Belati itu mengenai bagian rambut kemaluannya. Kemudian aku melihatnya mencoba berdiri, tapi ia tidak sanggup.”
Ja’far bin Amru berkata, “Itu merupakan janji Jabir, tuannya Wahsyi, yang akan membebaskannya dari perbudakan jika Wahsyi sanggup membunuh Hamzah.” Kemudian Wahsyi berkata, “Ketika orang-orang pulang, aku pun ikut pulang bersama mereka. Aku tinggal di kota Makkah sampai Islam menguasai kota itu. Kemudian aku keluar dan menetap di kota Thaif. Di antara orang-orang Islam itu ada yang mengirim utusan kepada Rasulullah. Ada yang mengatakan padaku bahwa aku tidak gelisah saat kedatangan beberapa utusan itu. Lalu aku pergi bersama mereka menghadap Rasulullah.” Saat aku telah sampai di hadapan beliau, beliau bertanya padaku, “Apakah engkau yang bernama Wahsyi?”Aku menjawab, “Ya, wahai Rasulullah.” Beliau melanjutkan, “Apakah engkau yang telah membunuh pamanku, Hamzah?” Aku menjawab, “Benar.” Beliau kemudian bersabda, “Apakah kamu bisa tidak memperlihatkan wajahmu lagi di hadapanku?” Setelah Rasulullah berkata demikian, aku pun keluar. Lalu saat Rasulullah wafat dan muncul Musailamah al-Kadzab, aku berkata pada diriku sendiri bahwa aku akan membunuhnya. Hal itu aku lakukan sebagai tebusan dari perbuatan yang telah aku lakukan pada Hamzah bin Abdul Muthalib. 
Dalam riwayat lain disebutkan, “Aku (Wasyi) keluar bersama rombongan seperti sedia kala. Waktu itu aku melihat seseorang yang sedang bersandar di sekitar dinding. Ia seperti unta coklat dengan kepala beruban. Aku langsung melemparinya belati. Belati tersebut mengenai bagian di antara dada hingga keluar menembus bagian antara dua tulang bahu. Kemudian ada seseorang dari kaum Anshar yang meloncat dari kuda dan memukulnya di bagian kepala dengan pedang.[2]
Ia melanjutkan ceritanya, “Maka Allah lah yang Maha Tahu siapa saja yang telah aku bunuh. Jika aku telah membunuh Hamzah, maka aku telah membunuh sebaik-baik manusia setelah Rasulullah. Akan tetapi aku juga telah membunuh seburuk-buruknya manusia yaitu Musailamah al-Kadzab.”[3]
Sahabat Anas bin Malik r.a. berkata, “Ketika perang Uhud sedang berkecamuk, Rasulullah Saw  memandangi jasad Hamzah yang terbunuh secara sadis. Tubuhnya tercabik-cabik dan terpotong-potong secara berserakan. Beliau akhirnya bersabda, Jika kalian tak menemukan potongan-potongan jasad Hamzah, maka aku akan meninggalkannya sampai Allah mendatangkan binatang buas dan burung-burung agar mereka mengenyangkan perut-perutnya dengan tubuh Hamzah.”
Jasad Hamzah hanya dikafani dengan sehelai kain. Jika bagian kepalanya yang ditutup, maka bagian kakinya akan terbuka. Sebaliknya, bila bagian kakinya yang ditutup, maka bagian kepalanya akan terlihat. Melihat pemakaman para sahabat yang gugur, Rasulullah Saw tidak menshalatkan satu pun yang gugur dalam perang Uhud. Akan tetapi beliau bersabda, “Aku sendiri yang akan menjadi saksi kalian nanti di akhirat.”
Saat beliau akan dimakamkan, ada tiga sahabat yang berada di dekat peristirahatan terakhir Hamzah. Lalu Rasulullah menanyai dua di antaranya, “Siapa di antara kalian yang lebih banyak menghafal al-Qur’an?”[4] Sementara salah seorang di antara mereka masuk ke liang lahat dan kemudian mengkafani kedua kaki Hamzah dan menutupi kepalanya dengan kain yang lain.
Dalam kisah lain ada yang mengatakan, “Orang-orang Muslim menemukan jasad Hamzah dalam keadaan perutnya tersobek. Perbuatan keji ini dilakukan Wahsyi supaya bisa mengambil hatinya untuk diberikan kepada Hindun, istri Abu Sufyan. Karena Hindun telah bernadzar akan mengambil hati Hamzah ketika ayahnya tewas dalam perang Badar. Dan, beliau dimakamkan hanya dengan sehelai kain. Jika kain tersebut ditarik ke bagian kepala, kedua kakinya akan terbuka. Maka mereka menutupi kedua kakinya dengan pecahan kayu.
Semoga Allah selalu meridhai Hamzah dan memberikan tempat tertinggi untuknya.  Aamiin.


[1] ‘Ainain adalah gunung yang ada di depan gunung Uhud. Di antara kedua gunung tersebur terdapat lembah.
[2]Hadits shahih, HR Imam Bukhari dalam ‘Shahih Bukhari’ no. 4072, Imam al-Thabari dalam ‘Târîkh al-Thabar’, Juz II, hlm. 516-517, Imam Baihaqi dalam ‘Dalâil al-Nubuwwah’, Juz III, hlm. 241-242 dan Ibn al-Atsir dalam ‘Asad al-Ghâbah’, Juz V. hlm. 438-440. Hadits ini juga dikuatkan oleh Ibn Abd al-Barr, Ibn Mundih dan Abu Na’im.
[3]Hadits shahih, HR Ibn Ishaq dalam ‘al-Sîrah al-Nabawiyah’ no. 1101, Ibn al-Atsîr dalam ‘Asad al-Ghâbah’,  Juz V, hlm. 438-440.
[4] Hadits shahih, HR  Imam Ahmad dalam ‘Musnad Ahmad’, Juz III, hlm. 128, Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqat al-Kubra’,  Juz I, bab III, hlm. 7. Imam Abu Dawud dalam ‘Sunan Abu Dawud’ no. 3136, Imam Tirmidzi dalam ‘Sunan al-Tirmîdzi’ no. 1016, Imam al-Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 196. Hadits ini telah ditashih dan ditakrir oleh Imam al-Dzahabi dengan beberapa saksi.

No comments:

Post a Comment