Komisi IX DPR RI mendukung Kementerian Kesehatan (Kemkes) sekaligus mendesak Kementerian Keuangan (Kemkeu) untuk mengalokasikan angaran Rp400 miliar bagi penduduk miskin non Penerima Bantuan Iuran (PBI).
Anggaran tersebut
telah diajukan Kemkes sejak tahun lalu, tetapi tidak disetujui Kemkeu.
“Anggaran ini
penting untuk membiayai penghuni panti, lapas, anak telantar, gelandangan,
pengemis, Jampersal, dan Jamperthal yang sudah tidak dijamin dalam program
Jamkesmas. Jangan sampai ada penolakan terhadap mereka di rumah sakit hanya
karena tidak masuk daftar peserta,” kata Ribka Tjiptaning, Ketua Komisi IX DPR
di sela-sela Rapat Kerja dengan Menteri Kesehatan (Menkes), Nafsiah Mboi, di
Jakarta, Senin (27/1).
Dalam paparannya,
Nafsiah Mboi, menjelaskan salah satu
tantangan pelaksanaan JKN saat ini adalah masih banyak penduduk miskin, seperti
gelandangan, pengemis, anak telantar belum termasuk dalam kepesertaan PBI yang
berjumlah 86,4 juta jiwa.
Termasuk juga
peserta program Jaminan Persalinan (Jampersal) dan Jaminan Pelayanan Thalasemia
(Jamperthal) yang sudah berakhir sejak Jamkesmas diintegrasikan ke dalam
Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dikelola Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS) Kesehatan.
Jumlahnya
diperkirakan sekitar 2,3 jutaan jiwa. Untuk mereka ini Kemkes telah mengusulkan
anggaran khusus sebesar Rp400 miliar, namun tidak disetujui Kemkeu.
“Dahulu, anggaran
ini dikelola Kemkes untuk yang esktra-ekstra seperti penduduk non PBI ini. Kami
minta supaya di 2014 tetap dialokasikan, tetapi Kemkeu tidak mau. Kami rencana
ajukan ke APBN-P,” kata Menkes.
Meski demikian,
Menkes menginstruksikan kepada seluruh fasilitas kesehatan (faskes) untuk tidak
menolak pasien non PBI ini, terutama saat darurat. Bahkan Komisi IX meminta
Menkes untuk menegur keras rumah sakit yang menolak pasien miskin non PBI ini.
Bila perlu dipidana berdasarkan ketentuan UU Kesehatan.
Menurut Menkes,
sambil menunggu anggaran Rp400 miliar itu disetujui, seluruh faskes khususnya
rumah sakit vertikal untuk menggalang solidaritas sosial dengan menyisihkan
sejumlah persentase bantuan sosial masyarakat.
Bantuan ini
dipakai untuk biaya pengobatan pasien miskin non PBI ini ketika mereka berobat
di rumah sakit tersebut. Juga meminta BPJS Kesehatan untuk mengalokasikan
anggaran Coorporate Social
Responsibility (CSR), seperti pada PT Askes dahulu.
Anggota Komisi IX
dari Fraksi Golkar, Poempida Hidayatulloh, menyayangkan sikap Kemkeu yang
dinilainya terlalu arogan.
Padahal menurutnya
masih banyak stok anggaran di Kemkeu yang bisa dialihkan untuk membayar jaminan
kesehatan bagi penduduk miskin ini. Bila perlu, kata dia, anggaran tersebut
tidak usah dikelola Kemkes, tetapi langsung oleh BPJS Kesehatan.
Anggota Komisi IX
DPR dari Fraksi PDI-P, Rieke Diah Pitaloka, menegaskan ukuran orang miskin
harus jelas dalam PP PBI. Bila perlu PBI mengkaver semua penduduk miskin tanpa
kuota dan verifikasi sebagaimana diamanatkan dalam UU SJSN.
Menurutnya,
jangankan Rp400 miliar untuk orang miskin non PBI, bagi seluruh penduduk
Indonesia pun sebetulnya APBN cukup memadai.
Dengan iuran
sebesar Rp20.000 per orang per bulan bagi 237 juta lebih penduduk Indonesia
hanya membutuhkan anggaran sekitar
Rp56,7 triliun.
Dalam Raker
tersebut, DPR juga mendesak pemerintah untuk mengoreksi Peraturan Pemerintah
(PP) 101/2013 tentang PBI.
PBI ini berpotensi
menyebabkan jutaan orang miskin tidak memiliki jaminan kesehatan, bahkan bisa
memiskinkan masyarakat yang terkena bencana dan diberhentikan dari pekerjaannya
(PHK).
Komisi IX akan
mendorong revisi PP PBI ini dalam rapat paripurna. DPR juga mendesak pemerintah
mengevaluasi besaran tarif Indonesia
Case Based Groups (INA CBGs) karena tidak mengakomodir biaya yang layak di rumah
sakit.
Dengan tarif yang
terlalu kecil dikhawatirkan kualitas
layanan terhadap orang miskin, terutama non PBI, juga menjadi berkurang.
(www.suarapembaruan.com)
No comments:
Post a Comment