Permohonan dinilai bukan merupakan kewenangan MK.
Lantaran tak
beroleh dana pensiun secara proporsional, seorang karyawan PT Dirgantara
Indonesia (DI) mempersoalkan UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun ke
Mahkamah Konstitusi. Harris Simanjuntak, nama karyawan BUMN itu, memohon pengujian sejumlah pasal
dalam UU Dana Pensiun yang dinilai merugikan kepentingannya, yaitu Pasal 9,
Pasal 21 ayat (1), Pasal 27 ayat (1), Pasal 28, Pasal 31 ayat (1), Pasal 51
(1), (2), Pasal 55 ayat (1) UU Dana Pensiun.
Harris beralasan
pemberlakuan UU Dana Pensiun tidak mampu memberi kepastian hukum dan
diskriminasi karena direksi yang telah melanggar hukum tidak bisa dihukum.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan yang diketuai Anwar Usman, Rabu (5/2),
Harris memberi contoh Pasal 9.
Pasal 9 mengatur
perubahan atas peraturan Dana Pensiun tidak boleh mengurangi manfaat pensiun
yang menjadi hak peserta yang diperoleh selama kepesertaannya sampai pada saat
pengesahan Menteri. Pasal 21 ayat (1) menyebutkan peserta yang memenuhi
persyaratan berhak atas Manfaat Pensiun Normal, atau Manfaat Pensiun Cacat,
atau Manfaat Pensiun Dipercepat, atau Pensiun Ditunda, yang besarnya dihitung
berdasarkan rumus yang ditetapkan dalam peraturan Dana Pensiun.
Harris mengatakan
PT IPTN – sejak tahun 2001 berubah menjadi PT DI - sudah mengelola dana pensiun
sejak 1987 lewat surat SKEP 05 Tahun 1999 yang mendapatkan pengesahan menteri
keuangan pada April 2000. Namun, sejak disahkan hingga terjadi PHK sekitar
6.561 pada 2003, aturan dana pensin itu belum pernah dilaksanakan oleh direksi
PT DI.
“Saat PHK
besar-besaran itu baik PHK maupun pensiun dini, PT DI membuat surat SKEP No.
1289 Tahun 2003 dadakan yang gaji pokok mengacu pada gaji pokok tahun 1991.
Padahal, rilnya gaji pokok tahun 1991 sudah berbeda jauh dengan tahun 2003,”
keluhnya.
Hingga persoalan
ini dibawa mediator Disnakertrans Kota Bandung, pihak perusahaan tetap
bersikukuh bahwa SKEP 1289 merupakan bagian dari SKEP 05. Padahal, SKEP 1289
hingga saat ini belum mendapatkan pengesahan dari Menteri Keuangan. Lalu, SKEP
1289 ini disahkan melalui klausul SKEP No. 248 Tahun 2011 yang disahkan oleh
Menteri Keuangan.
Tetapi, SKEP 248
yang menggantikan SKEP 05 hanya menyalin dari SKEP 1289. “Sebenarnya tidak ada
perubahan apa-apa, sehingga hitungan dana pensiun dihitung struktur tabel gaji
pokok sesuai SKEP 1289. Gaji pokok terendah Rp100 ribu lebih dan tertinggi
hanya Rp1,3 juta. Padahal, gaji karyawan DI saat ini berkisar antara Rp3 juta
hingga Rp10 jutaan,” bebernya.
“Puluhan tahun
bekerja di PT DI manfaat pensiun ini tidak benar-benar menjamin kesinambungan
bagi kami, sesuai amanat UU Dana Pensiun. Sehingga hak-hak konstitusional kami
telah dilanggar. Karena itu, kami mohon pertimbangan yang adil dari majelis
MK,” pintanya.
Menanggapi
permohonan, Anwar Usman menilai permohonan lebih banyak mengurai kasus konkrit
yang merupakan kewenangan peradilan lain. Bahkan, dalam permohonan sudah diakui
bahwa perkara ini sudah diajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial
Bandung.
“Ini kan masalah
penerapan pasal yang tidak dilaksanakan perusahaan. Saudara harus menguraikan
kewenangan Mahkamah dalam permohonan. Petitum permohonannya juga tidak lazim.
Saudara bisa melihat contoh contoh permohonan,” saran Anwar.
Anggota Panel
Muhammad Alim mengingatkan struktur permohonan diawali dengan identitas
pemohon, kewenangan MK, kedudukan hukum pemohon, alasan permohonan, dan
petitum. “Jika Pasal 9 UU Dana Pensiun mau dibatalkan, lantas sandaran Saudara
apa? Padahal Saudara bilang agar ketentuan dana pensiun dilaksanakan direksi.
Ini kontradiksi,” kritiknya.
Panel lainnya,
Arief Hidayat menegaskan uraian permohonan bukanlah kewenangan MK, melainkan
kewenangan pengadilan lain. Karenanya, gugatan pemohon ke PHI Bandung sudha
tepat. “Uraian SKEP-SKEP itu kewenangan MA dan peradilan di bawahnya. MK tidak
berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang. Ini
permohonan sebaiknya ditulis ulang!”
“Masukin tadi
cukup banyak ya, sekarang terserah Anda apa mau memperbaiki permohonan atau
mencabut,” tambah Anwar. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment