Tuesday, February 11, 2014

Sang Perempuan Penyabar


Hamzah bin Abdul Muthalib terbunuh dalam perang Uhud oleh seorang budak milik Zubair bin Muth’im yang bernama Wahsyi atas suruhan Hindun bin ‘Utbah. Setelah Hamzah terbunuh, Hindun beserta Wahsyi langsung menghampiri tubuh Hamzah yang sudah tidak bernyawa lagi. Tanpa pikir panjang dia langsung memotong telinga dan hidung Hamzah kemudian dijadikan gelang kaki dan kalung sebelum dibuang untuk dijadikan makanan hewan buas. Tidak puas sampai di situ, Hindun memerintahkan kepada budak yang hitam legam itu agar membelah dada mayat tak berdaya tersebut. Dengan geram Hindun langsung memamah jantung Hamzah.
Setelah jasad Hamzah yang mengenaskan ditinggalkan, Shafiah binti Abdul Muthalib, saudara Hamzah menghampiri jasad saudaranya. Melihat hal itu Rasulullah merasa khawatir dan segera memerintah Zubair bin Awam (anak Shafiah), “Ibumu suruh pulang, jangan sampai dia melihat keadaan saudaranya (Hamzah).”
Mendapat perintah dari Rasulullah, Zubair langsung menghampiri ibunya dan menyampaikan apa yang dikatakan beliau, “Wahai ibu, Rasulullah menyuruhmu kembali ke rumah.”
Shafiah menanggapi, “Kenapa nak, saya kan ingin melihat keadaan saudaraku dan itu pun karena Allah, Insyaallah saya bisa sabar, anakku.”
Zubair langsung menyampaikan apa yang dikatakan ibunya kepada Rasulullah, “Sudah, jangan halangi dia,” jawab Rasulullah.
Kemudian Shafiah diperkenankan melihat jasad saudaranya. Setelah menshalati dan meminta ampun untuk Hamzah dia langsung pergi. Tidak lama berselang Rasulullah merintahkan para shahabat untuk mengebumikan jasad sayyidina Hamzah.

Pengaduan Seorang Perempuan kepada Allah
Dikisahkan dari Aisyah r.a., “Semoga diberi keberkahan orang yang bisa mendengarkan sesuatu. Khaulah binti Tsa’labah pernah bercerita kepada saya sedikit hal menyangkut perilaku suaminya. Suatu hari, dia melaporkan perangai suaminya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, saya banyak melahirkan anak dari suamiku, hingga suatu saat, ketika usiaku lanjut dan aku tidak bisa punya anak lagi, suamiku men-dzihar-ku,[1] dan aku sekarang ingin mengadukan hal itu kepadamu’.”
Aisyah menuturkan bahwa pengaduan itu tidak mendapat jawaban hingga turun sebuah ayat al-Qur’an.
Khaulah atau Khuailah binti Malik bin Tsa’labah adalah istri ‘Aus bin Shamit. Suaminya adalah seorang laki-laki tua renta yang akhlaknya kurang terpuji. Khaulah bercerita, “Suatu hari suamiku menghampiri saya dan dia marah ketika aku menanyakan sesuatu hal kepadanya."
Suami Khulah (‘Aus) berkata, “Bagiku engkau seperti punggung  ibuku.”  Setelah menucapkan kalimat itu, Aus lalu keluar dan duduk bersama teman-temannya.
Setelah itu dia kembali menghampiriku dan mengajakku untuk berhubungan badan, tapi Khaulah menolak, dengan perkataan, “Tidak! Demi Dzat yang menguasai jiwaku, kamu tidak boleh menjamahku, karena kamu telah mengucapkan apa yang telah kamu ucapkan tadi (Dzihar), hingga Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa kita."
Selanjutnya Khaulah keluar menemui Rasulullah Saw. Di hadapan beliau, Khaulah menceritakan peristiwa yang menimpa dirinya sekaligus mengadukan keburukan perangai suaminya. Rasulullah bersabda, “Wahai Khaulah, anak pamanmu (suamimu) adalah laki-laki yang tua renta maka takutlah kamu kepada Allah.”
“Demi Allah, saya tidak akan tenang hingga Allah menurunkan wahyu sebagai jawaban atas peristiwa yang menimpaku,” ucap Khaulah. Setelah diturunkan wahyu, Rasulullah menyatakan kepada Khaulah, “Wahai Khaulah, Allah sudah menurunkan wahyu terkait peristiwa yang menimpa kamu dan suamimu." Kemudian beliau membacakan firman Allah yang artinya: “Sungguh Allah telah mendengar ucapan  perempuan  yang mengajukan gugatan kepadamu (Muhamad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah... Dan bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS al-Mujâdalah [58]: 1-4).
Kemudian Rasulullah menjelaskan kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Dzihar.
“Perintahkan suamimu untuk memerdekakan seorang budak,” pinta Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, dia tidak memiliki seorang budak pun yang bisa dimerdekakan,” jawab Khaulah.
“Jika demikian, perintahkan kepadanya untuk puasa dua bulan berturut-turut,” Rasulullah memberi jalan keluar.
“Demi Allah, dia adalah laki-laki yang tidak kuat melakukan puasa,” sahut Khaulah.
“Kalau begitu, perintahkan kepadanya agar memberi makan dan minum terhadap enam puluh orang miskin,” kembali Rasulullah menegaskan.
“Demi Allah, wahai Rasulullah, dia tidak memilikinya,” kata Khaulah.
“Ya sudah aku bantu separuhnya,” Rasulullah meyakinkan.
“Aku juga akan bantu sisanya,” ujar Khaulah.
“Kamu memang benar dan bersikap baik. Sedekahkanlah kurma ini sebagai tebusan bagi suamimu, dan gaulilah dia dengan baik,” ucap Rasulullah sembari memberikan sekeranjang kurma kepadanya.
Suatu hari Umar bin Khattab keluar dari masjid bersama al-Jarud Al-‘Abdi. Saat itu dia menjabat sebagai Khalifah. Di tengah jalan dia bertemu dengan perempuan tua yang tidak memakai hijab lalu Umar mengucapkan salam kepadanya.
Perempuan tua itu menjawab salam Umar lantas mengucapkan, “Kamu banyak perubahan, wahai Umar. Saya mengenalmu sejak namamu dahulu masih ‘Umair’ (Umar kecil) tatkala kamu berada di Pasar Ukazh. Kamu bergulat dengan anak-anak kecil. Kemudian berlalulah hari demi hari hingga kamu disebut sebagai Amirul Mukminin. Sebab itu bertakwalah kepada Allah. Ketahuilah barangsiapa yang takut pada siksa Allah maka yang jauh akan menjadi dekat. Dan barangsiapa yang takut mati maka dia akan takut kehilangan.”
Al-Jarud Al-‘Abdi yang menyertai Umar tidak tahan ingin berkata lantas menukas ucapan perempuan tua itu, “Kamu telah banyak berbicara kepada Amirul Mukminin, wahai wanita tua.”
Umar kemudian menegurnya, “Biarkan dia, tahukah kamu siapa dia? Beliau adalah Khaulah binti Malik bin Tsa’labah yang Allah telah mendengarkan pengaduannya dari langit yang ketujuh, maka Umar lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya. Demi Allah, jika beliau tidak menyudahi nasihatnya kepadaku hingga malam, maka saya tetap akan mendengarkannya, kecuali bilamana datang waktu shalat, aku akan melaksanakan shalat kemudian kembali untuk mendengarkannya.”


[1]Dzihar adalah suatu ucapan yang membandingkan atau menyamakan salah satu anggota tubuh istrinya dengan ibunya sendiri. Ini berarti seorang suami tidak boleh lagi menggauli istrinya, sebagaimana dia tidak boleh menggauli ibunya. Oleh karenanya, dalam tradisi Jahiliyah kalimat dzihar seperti itu sudah sama dengan menthalak (menceraikan) seorang istri [penj].

No comments:

Post a Comment