Hamzah bin Abdul Muthalib terbunuh dalam perang Uhud oleh seorang budak milik Zubair bin Muth’im yang bernama Wahsyi atas suruhan Hindun bin ‘Utbah. Setelah Hamzah terbunuh, Hindun beserta Wahsyi langsung menghampiri tubuh Hamzah yang sudah tidak bernyawa lagi. Tanpa pikir panjang dia langsung memotong telinga dan hidung Hamzah kemudian dijadikan gelang kaki dan kalung sebelum dibuang untuk dijadikan makanan hewan buas. Tidak puas sampai di situ, Hindun memerintahkan kepada budak yang hitam legam itu agar membelah dada mayat tak berdaya tersebut. Dengan geram Hindun langsung memamah jantung Hamzah.
Setelah jasad Hamzah yang mengenaskan
ditinggalkan, Shafiah binti Abdul Muthalib, saudara Hamzah menghampiri
jasad saudaranya. Melihat hal itu Rasulullah merasa khawatir dan segera
memerintah Zubair bin Awam (anak Shafiah), “Ibumu suruh pulang, jangan sampai
dia melihat keadaan saudaranya (Hamzah).”
Mendapat perintah dari Rasulullah, Zubair langsung
menghampiri ibunya dan menyampaikan apa yang dikatakan beliau, “Wahai ibu,
Rasulullah menyuruhmu kembali ke rumah.”
Shafiah menanggapi, “Kenapa nak, saya kan ingin melihat
keadaan saudaraku dan itu pun karena Allah, Insyaallah saya bisa sabar,
anakku.”
Zubair langsung menyampaikan apa yang dikatakan ibunya
kepada Rasulullah, “Sudah, jangan halangi dia,” jawab Rasulullah.
Kemudian Shafiah diperkenankan melihat jasad saudaranya.
Setelah menshalati dan meminta ampun untuk Hamzah dia langsung pergi.
Tidak lama berselang Rasulullah merintahkan para shahabat untuk mengebumikan
jasad sayyidina Hamzah.
Pengaduan Seorang
Perempuan kepada Allah
Dikisahkan dari Aisyah r.a., “Semoga diberi keberkahan
orang yang bisa mendengarkan sesuatu. Khaulah binti Tsa’labah pernah bercerita
kepada saya sedikit hal menyangkut perilaku suaminya. Suatu hari, dia
melaporkan perangai suaminya kepada Rasulullah, ‘Wahai Rasulullah, saya banyak
melahirkan anak dari suamiku, hingga suatu saat, ketika usiaku lanjut dan aku
tidak bisa punya anak lagi, suamiku men-dzihar-ku,[1]
dan aku sekarang ingin mengadukan hal itu kepadamu’.”
Aisyah menuturkan bahwa pengaduan itu tidak mendapat
jawaban hingga turun sebuah ayat al-Qur’an.
Khaulah atau Khuailah binti Malik
bin Tsa’labah adalah istri ‘Aus bin Shamit. Suaminya adalah seorang laki-laki tua
renta yang akhlaknya kurang terpuji. Khaulah bercerita, “Suatu hari suamiku
menghampiri saya dan dia marah ketika aku menanyakan sesuatu hal
kepadanya."
Suami Khulah (‘Aus) berkata,
“Bagiku engkau seperti punggung
ibuku.” Setelah menucapkan
kalimat itu, Aus lalu keluar dan duduk bersama teman-temannya.
Setelah itu dia kembali
menghampiriku dan mengajakku untuk berhubungan badan, tapi Khaulah menolak,
dengan perkataan, “Tidak! Demi Dzat yang menguasai jiwaku, kamu tidak boleh
menjamahku, karena kamu telah mengucapkan apa yang telah kamu ucapkan tadi (Dzihar),
hingga Allah dan Rasul-Nya memutuskan hukum tentang peristiwa yang menimpa
kita."
Selanjutnya Khaulah keluar menemui
Rasulullah Saw. Di hadapan beliau, Khaulah menceritakan peristiwa yang menimpa
dirinya sekaligus mengadukan keburukan perangai suaminya. Rasulullah bersabda,
“Wahai Khaulah, anak pamanmu (suamimu) adalah laki-laki yang tua renta maka
takutlah kamu kepada Allah.”
“Demi Allah, saya tidak akan tenang
hingga Allah menurunkan wahyu sebagai jawaban atas peristiwa yang menimpaku,” ucap
Khaulah. Setelah diturunkan wahyu, Rasulullah menyatakan kepada Khaulah, “Wahai
Khaulah, Allah sudah menurunkan wahyu terkait peristiwa yang menimpa kamu dan
suamimu." Kemudian beliau membacakan firman Allah yang artinya: “Sungguh
Allah telah mendengar ucapan
perempuan yang mengajukan gugatan
kepadamu (Muhamad) tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada Allah... Dan
bagi orang-orang yang mengingkarinya akan mendapat azab yang sangat pedih.” (QS
al-Mujâdalah [58]: 1-4).
Kemudian Rasulullah menjelaskan
kepada Khaulah tentang kafarat (tebusan) Dzihar.
“Perintahkan suamimu untuk memerdekakan seorang budak,” pinta Rasulullah.
“Perintahkan suamimu untuk memerdekakan seorang budak,” pinta Rasulullah.
“Wahai Rasulullah, dia tidak
memiliki seorang budak pun yang bisa dimerdekakan,” jawab Khaulah.
“Jika demikian, perintahkan
kepadanya untuk puasa dua bulan berturut-turut,” Rasulullah memberi jalan
keluar.
“Demi Allah, dia adalah laki-laki
yang tidak kuat melakukan puasa,” sahut Khaulah.
“Kalau begitu, perintahkan
kepadanya agar memberi makan dan minum terhadap enam puluh orang miskin,”
kembali Rasulullah menegaskan.
“Demi Allah, wahai Rasulullah, dia
tidak memilikinya,” kata Khaulah.
“Ya sudah aku bantu separuhnya,”
Rasulullah meyakinkan.
“Aku juga akan bantu sisanya,” ujar
Khaulah.
“Kamu memang benar dan bersikap baik.
Sedekahkanlah kurma ini sebagai tebusan bagi suamimu, dan gaulilah dia dengan
baik,” ucap Rasulullah sembari memberikan sekeranjang kurma kepadanya.
Suatu hari Umar bin Khattab keluar
dari masjid bersama al-Jarud Al-‘Abdi. Saat itu dia menjabat sebagai Khalifah.
Di tengah jalan dia bertemu dengan perempuan tua yang tidak memakai hijab lalu Umar
mengucapkan salam kepadanya.
Perempuan tua itu menjawab salam
Umar lantas mengucapkan, “Kamu banyak perubahan, wahai Umar. Saya mengenalmu
sejak namamu dahulu masih ‘Umair’ (Umar kecil) tatkala kamu berada di Pasar
Ukazh. Kamu bergulat dengan anak-anak kecil. Kemudian berlalulah hari demi hari
hingga kamu disebut sebagai Amirul Mukminin. Sebab itu bertakwalah kepada Allah.
Ketahuilah barangsiapa yang takut pada siksa Allah maka yang jauh akan menjadi
dekat. Dan barangsiapa yang takut
mati maka dia akan takut kehilangan.”
Al-Jarud Al-‘Abdi yang menyertai
Umar tidak tahan ingin berkata lantas menukas ucapan perempuan tua itu, “Kamu telah
banyak berbicara kepada Amirul Mukminin, wahai wanita tua.”
Umar kemudian menegurnya, “Biarkan
dia, tahukah kamu siapa dia? Beliau adalah Khaulah binti Malik bin Tsa’labah
yang Allah telah mendengarkan pengaduannya dari langit yang ketujuh, maka Umar
lebih berhak untuk mendengarkan perkataannya. Demi Allah, jika beliau tidak
menyudahi nasihatnya kepadaku hingga malam, maka saya tetap akan
mendengarkannya, kecuali bilamana datang waktu shalat, aku akan melaksanakan
shalat kemudian kembali untuk mendengarkannya.”
[1]Dzihar adalah suatu ucapan yang
membandingkan atau menyamakan salah satu anggota tubuh istrinya dengan ibunya
sendiri. Ini berarti seorang suami tidak
boleh lagi menggauli istrinya, sebagaimana dia tidak boleh menggauli ibunya. Oleh
karenanya, dalam tradisi Jahiliyah kalimat dzihar seperti itu sudah sama
dengan menthalak (menceraikan) seorang istri [penj].
No comments:
Post a Comment