shutterstock
Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) sejatinya bertujuan meningkatkan standar kesehatan masyarakat Indonesia. Dalam mekanismenya, JKN menyediakan susunan atau daftar obat dalam formularium nasional (fornas), yang diterjemahkan menjadi e-catalogue. Semua obat yang digunakan dalam JKN bersumber dari fornas.
Namun apa jadinya jika obat yang diperlukan tidak masuk dalam
fornas? Padahal pasien tentu sangat membutuhkan obat-obatan yang
lengkap. Masalah ini pula yang dialami seorang pasien pascaoperasi batu empedu di Rumah Sakit Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta.
Zulfarman, mengaku kesulitan memperoleh obat-obatan saat
menggunakan fasilitas JKN . Ia memerlukan dua jenis obat resep untuk
mengatasi rasa nyeri pada perutnya usai menjalani operasi endoskopi.
Tindakan endoskopi dilakukan pada Selasa (4/2/2014) lalu, dan ia sempat mengalami keluhan nyeri pada Rabu (5/2/2014) kemarin.
"Rasanya betul-betul sakit. Saya perlu obat setelah endoskopi. Tapi
kata dokter obat itu tidak ada dalam INA-CBG's, sehingga dokter menolak
menuliskan resepnya. Padahal resep tersebut dibutuhkan supaya saya bisa
mendapatkan obat di luar," ujar pria yang pernah menjabat sebagai direktur SDM PT. ASKES itu.
Setelah proses negosiasi, akhinya resep obat bernama petidine dan nexium
tersebut didapatkan Zulfarman. Kedua obat seharga Rp. 220 ribu tersebut
diperolehnya di 2 lokasi berbeda, yaitu apotik RSCM tempatnya dirawat
dan apotik di wilayah Senen, Jakarta Pusat untuk. Uang pembelian obat
berasal dari kantong pribadinya.
"Saya bersyukur masih bisa mendapatkan obat meski harus nego. Namun
bagaimana dengan masyarakat biasa yang bahkan tak mengerti JKN atau
BPJS," tuturnya.
Berkaca dari pengalaman ini, Zulfarman meminta pemerintah dan BPJS kembali mengevaluasi sistem
JKN termasuk INA-CBG's. Pemerintah dan BPJS juga diharap melakukan
sosialisasi JKN pada para penyedia layanan kesehatan khususnya rumah
sakit. Sehingga, pemahaman penyedia layanan kesehatan bisa sama, dan tak
perlu takut untung rugi.
Menurut Zulfarman, sulitnya pemberian obat dikarenakan rumah sakit
belum mengerti JKN dan ketakutan timbulnya kerugian. "Kuncinya ada pada
sosialisasi, supaya tenaga kesehatan tidak terlalu kaku melaksanakan
aturan. Sosialisasi juga diperlukan untuk menyamakan permahaman, JKN
adalah asuransi sosial yang tidak berorientasi profit," terangnya.
Zulfarman juga meminta pemerintah dan BPJS meriview daftar obat untuk
JKN. Hal ini dikarenakan beberapa obat yang terbukti tidak ada dalam
fornas. Ketiadaan obat, yang ditambah kekakuan mekanisme, akan menambah
derita pasien.
Terkait penyebab kurangnya sosialisasi dan reviewdaftar obat, Zulfarman menilai, sempitnya waktu menjadi penyebab utama.
"ASKES itu sudah disiapkan sejak 1960-an saat BPJS masih bernama
Badan Penyelenggara Dana Pemeliharaan Kesehatan (BPDPK), sedangkan JKN
hanya disiapkan dalam waktu 4 tahun. Mungkin sebaiknya perubahan menjadi
JKN dilakukan bertahap dan tidak buru-buru, diawali perluasan peserta,
pembagian kartu, dan diakhiri pengenalan sistem pembiayaan," tuturnya. (health.kompas.com)
No comments:
Post a Comment