Janganlah kamu
serahkan harapanmu kepada keputus-asaan yang disebabkan oleh apa yang ada di
masa silam, karena meratapi sesuatu yang tidak bisa kembali adalah sebuah
kelemahan yang terburuk. Berjalanlah terus. Jangan tinggal diam. Melangkah ke
depan berarti bergerak menuju kesempurnaan. Berjalanlah terus, jangan takut
pada onak dan duri atau tajamnya batu-batu di jalan kehidupan.
Kahlil
Gibran, penyair kenamaan dunia
YOGYAKARTA, 1974. Dari Stasiun Tugu, bersama
seorang kawan bernama Handoyo, Ardju Fahadaina naik kereta api dengan tujuan
Ibukota Jakarta. Sebuah kota metropolitan yang menjadi impian banyak orang yang
ingin merenda nasib kehidupan menjadi lebih berpengharapan. Tak ada bekal yang
berarti yang terselip di tas Ardju selain satu stel pakaian, sebungkus nasi dan
sebotol minuman teh tawar. Ditambah beberapa lembaran rupiah di kantong yang
hanya cukup untuk ongkos jalan dan sedikit makan setiba di Jakarta.
Sungguh
sebuah perjalanan yang nyaris tiada asa. Sementara terus-menerus berdiam di
kampung halaman tentu akan tenggelam dalam ratapan kehidupan yang hanya
pas-pasan, bahkan kekurangan. Memang, benak Ardju waktu itu sempat disesaki
rasa takut --takut bagaimana menjalani hidup sendirian, jauh dari orang tua di
kampung halaman. Sebuah ketakutan yang beralasan mengingat pepatah satir “Ibukota
lebih kejam daripada Ibu tiri”.
Benak Ardju
wajar saja dipenuhi rasa takut mengingat dia merantau ke Jakarta tak ada sanak
saudara, selain adik kakek yang tinggal di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Dan
perantauan Ardju ke Jakarta cuma berbekal pakaian yang melekat di badan dan
duit yang hanya cukup buat ongkos dan makan 1-2 hari. Sampai-sampai, dalam
perjalanan dari Yogya ke Jakarta, dia tidak berani membeli makanan dan minuman.
Bersyukur, Ardju dibekali sebungkus nasi dan sebotol teh tawar oleh ibunya
(Suti Akbari Jumuwariyah). Sedangkan temannya, Handoyo, tidak membawa apa-apa
selain pakaian yang melekat di badan. Sepanjang perjalanan, sebungkus nasi itu
pun disantap berdua dan sebotol teh tawar diminum berdua pula.
Mengenai
rasa takutnya menempuh kehidupan di Metropolitan Jakarta, Ardju sempat bertutur:
“Kepindahan
ke Jakarta itu sebenarnya menakutkan, takut seperti apa menjalani hidup di sana
sendiri, orang tua jauh di kampung halaman, nggak
ada saudara, ada nenek tapi nenek jauh, istilahnya mbahlik dari ibu saya. Satu hal yang mengurangi rasa takut adalah adanya
keyakinan saya telah diterima bekerja di pabrik sepatu Bata sehingga ada harapan memperoleh gaji buat menyambung hidup.
Waktu
selesai penelitian di Bata buat bikin
skripsi, saya langsung dilamar untuk bekerja di Bata usai diwisuda. Alhamdulillah saya tidak melamar pekerjaan.
Saya berangkat ke Jakarta bawa pakaian saja, dengan keyakinan sudah ada tempat bekerja.
Hanya rumah buat tempat tinggal saya belum tahu. Berangkat pas-pasan. Bahkan
uang cuma cukup untuk ongkos transpor. Tujuannya ke rumah kakek saya yang
kebetulan tinggal di depan pabrik sepatu Bata.”
Memang, sebelum
lulus dari Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta, Ardju sudah ditawari masuk kerja
di pabrik sepatu Bata. Ardju tidak
menyia-nyiakan kesempatan yang cukup langka tersebut. Usai segala urusan
kelulusan di Akademi Teknologi Kulit, bersama seorang kawan yang juga diterima
di Bata, dia langsung berpindah ke
Jakarta. Tujuan pertama untuk tinggal sementara adalah rumah mbahlik yang berada di sekitar kerimbunan
kebun karet di seberang pabrik sepatu Bata.
Bata yang Melegenda
Sepatu Bata. Telah lama orang sangat mengenal
akrab. Perusahaan pembikinnya pun bukanlah perusahaan ecek-ecekan. Tapi, sebuah
perusahaan yang punya reputasi internasional. Dan sepatu Bata tampaknya cukup melegenda di Indonesia.
Bata atau T & A Bata Shoe Company terdaftar di Zlin, Czechoslovakia. Perusahaan
ini didirikan oleh dua bersaudara Anna Tomáš dan Antonín Bata pada tahun 1894.
Perusahaan sepatu raksasa keluarga ini mengoperasikan empat unit bisnis
internasional: Bata Eropa, Bata Asia Pasifik-Afrika, Bata Amerika Latin dan
Bata Amerika Utara. Produk perusahaan ini hadir di lebih dari 50 negara dan
memiliki fasilitas produksi di 26 negara. Sepanjang sejarahnya, perusahaan ini
telah menjual sebanyak 14 miliar pasang sepatu.
Di
Indonesia, pengoperasian penjualan sepatu Bata
dijalankan oleh PT Sepatu Bata Tbk. Perusahaan terebut didirikan pada tanggal
15 Oktober 1931 dengan akta notaris Adrian Hendrick van Ophuisjen Nomor 64,
dengan nama Nederlandsch-Indische
Schoenhandel Maatschappij Bata. Kemudian pada tanggal 29 Desembar 1931
berubah nama menjadi PT Sepatu Bata. Dan setelah melantai di Bursa Efek Jakarta
(BEJ) pada tahun 1982, berubah lagi
sebagai PT Sepatu Bata Indonesia Tbk.
Pabrik
perusahaan sepatu ini pertama kali berdiri pada tahun 1939 di Kalibata, Jakarta
Selatan. Kini pabrik di Kalibata dipindahkan ke Purwakarta, Jawa Barat, lantaran
tergusur pembangunan apartemen Kalibata City. Selain di Purwakarta, Bata juga punya pabrik di Medan,
Sumatera Utara. Pabrik yang ada mampu menghasilkan 7 juta pasang alas kaki
setahun, yang terdiri dari 400 model sepatu, sepatu sandal dan sandal.
Produk-produk Bata terbuat dari
kulit, karet dan plastik.
Sebelum
tahun 1978, status Bata di Indonesia
adalah Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan begitu, Bata dilarang menjual secara langsung ke pasar. Bata menjual melalui para penyalur
khusus (depot) dengan sistem konsinyasi. Status para penyalur tersebut diubah
dan pada 1 Januari 1978, yaitu saat izin dagang Bata "dipindahkan" kepada mereka dan PT Sepatu Bata Tbk
menjadi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
PT Sepatu
Bata Tbk bergerak dalam pembuatan, impor, ekspor dan distribusi sepatu kulit,
kanvas built-up, kasual dan sepatu
olahraga, sandal injeksi, sandal, dan sepatu khusus untuk industri. Merek
berlisensi Perusahaan, selain merek Bata,
termasuk pula North Star, Power,
Bubblegummers, Marie-Claire dan Weinbrenner.
Perusahaan ini juga tetap sebagai anggota dari Organisasi Sepatu Bata Internasional.
Semula Perusahaan
ini berkantor pusat di Jalan TMP Kalibata. Sekarang berpindah di kawasan Jalan
TB Simatupang. Pada tahun 1995 pabrik baru dibuka di Purwakarta, Jawa Barat.
Sampai sekarang perusahaan ini dikenal sebagai pelopor perusahaan alas kaki di
Indonesia. Agar tetap mampu bersaing di pasar global, semua upaya dilakukan --terutama
perbaikan teknologi dan efisiensi produksi. Salah satu yang tetap dipertahankan
adalah kinerja keuangan perusahaan. Kondisi keuangan harus selalu berada dalam
standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan PT Sepatu Bata dan juga mengacu
kepada standar industri sejenis.
Kali
pertama Ardju Fahadaina bekerja di kantor pusat yang juga pabrik sepatu Bata di kawasan Kalibata, tahun 1974. Di
awal bekerja di Bata itu, dia
menumpang tinggal di rumah mbahlik yang
berada di seberang pabrik. Kata Ardju, “Bekerja di Bata sudah sistemik dan kita harus ikuti semua aturan yang telah
di-set-up sesuai standar kerja
internasional.” Bahkan, katanya lebih lanjut, Bata telah membangun kultur yang mampu mendorong semua karyawan
memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh promosi atau pelatihan dan
pendidikan.
Ardju lalu
menjalani rutinitas bekerja di Bata. Setiap
hari Kamis dia memperoleh beras dan saban Jumat menerima gaji. “Kakek-nenek saya orang susah. Kalau dapat
beras dari Bata tiap hari Kamis, saya
langsung berikan ke nenek,” ujar Ardju.
Tinggal
‘menumpang’ terlalu di rumah mbahlik,
Ardju merasa tidak enak hati mengingat dirinya sudah punya sedikit uang untuk sekadar
mengontrak kamar. Kemudian dia mencari-cari kontrakan di sekitar pabrik sepatu Bata. Setelah berkeliling melihat-lihat,
dengan keuangan yang relatif terbatas, akhirnya dia memperoleh sebuah kamar di
daerah Rawajati. Benar-benar sebuah kamar. Kamarnya pun terbuat dari gedhek (anyaman bambu) yang sudah
berlobang-lobang. Terpaksalah lobang-lobang hasil ‘kreasi’ anak muda setempat
itu kemudian ditutup dengan kertas koran agar tidak lagi dipakai buat iseng mengintip-ngintip.
Di kamar itu pula, Ardju memasak dengan kompor minyak tanah bikinan perajin kompor
Cawang, Jakarta Timur. Tak ada sarana mandi cuci kakus (MCK) yang memadai. Cuma
ada satu MCK yang dipakai secara bersama-sama dengan pengontrak kamar-kamar
yang lain.
“Tidak ada
kamar mandi. Kami mesti ke sumur, lobang WC pun alakadarnya. Sampai-sampai
suatu saat ibu saya dari kampung datang ke kontrakan tidak bisa tidur. Beliau
berteriak-teriak gara-gara banyak bekicot. Dengan suasana seperti itu, ibu saya
menilai kamar kontrakan terlalu kumuh. Tapi, banyak orang lulusan Akademi Teknologi
Kulit Yogya mampir ke kamar kontrakan saya sebelum dapat kontrakan lain. Sekitar
lima tahun saya mengontrak kamar itu,” cerita Ardju sarat memori.
Setelah
lima tahun bekerja di Bata, gaji
Ardju sedikit mengalami kenaikan. Hitung punya hitung, rasanya cukup untuk
biaya mengontrak kamar yang lebih daripada sekadar kamar berdinding anyaman
bambu di Rawajati. Lalu dia berusaha mencari kamar kontrakan yang lebih bagus
di kawasan yang tidak terlalu kumuh. Berkat info dari mulut ke mulut, salah seorang
seniornya di Bata menginformasikan ada kamar kontrakan kosong di kawasan Cawang
Jambul. Rupanya kamar itu sebelumnya ditempat seniornya yang ketika itu lebih
membutuhkan rumah karena telah menikah. Ardju lantas mengontrak kamar yang
ditinggalkan oleh salah seorang seniornya di Bata tersebut.
Dengan
tempat tinggal yang relatif lebih nyaman, Ardju semakin rajin dan disiplin
bekerja di Bata. Ardju bersyukur,
pertama bekerja, dia masuk ke sebuah perusahaan seperti PT Sepatu Bata yang
sistemnya sudah ter-set-up secara
apik. Kedisiplinan, SOP (Standard
Operation Procedure), dan manajemen umumnya sudah tertata bagus. “Di situ saya merasakan gemblengan
kedisiplinan. Saya juga merasakan harus bekerja keras dan rajin. Alhamdulillah
ketangguhan mental saya sudah teruji ketika jalan kaki dari Yogya ke Jakarta. Di
Bata, ketangguhan dan kedisiplinan
itu digembleng benar secara institusional,” ucap Ardju.
Bekerja di
perusahaan internasional semacam Bata,
memunculkan mimpi di benak Ardju. Terlebih lagi, Bata menghidupkan kultur yang mampu mendorong semua karyawan
memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan promosi atau pelatihan dan
pendidikan. Bata membuat semacam
divisi yang dinamai MDP (Management
Development Program). Divisi ini bertugas mencari dan merekrut orang muda
yang kemudian dilatih dan dididik untuk dijadikan top manajemen Bata di masa depan.
Dalam
perjalanan karirnya di Bata, di
masa-masa awal itu Ardju melewati dua pintu bagian, dari Laboratorium ke
Produksi. Tentu membutuhkan pelatihan dan pendidikan yang cukup agar dirinya
mumpuni bekerja di Bagian Produksi. Beberapa karyawan seangkatannya telah
banyak yang dikirim buat menimba pengalaman ke Bangladesh, India, Inggris Raya,
dan negara Eropa lainnya. Dia pun menggantung mimpi suatu saat nanti bisa memperoleh
promosi atau pelatihan ke luar negeri.
Agar mimpi
itu terwujud, Ardju kemudian membekali diri dengan keterampilan Bahasa Inggris
melalui kursus di Jakarta College yang ada di kawasan Kampung Melayu, Jakarta
Timur. Selain itu, dia memperkuat pula perwujudan mimpi melalui doa-doa yang
khusyuk. Berdoa dan bekerja, dia meyakini, akan semakin memudahkan
pengejawantahan mimpi tersebut.
Namun mimpi
rupanya tinggal mimpi. Kursus Bahasa Inggris di Jakarta College tidak berbuah
ijazah yang menjadi salah satu indikator bahwa dirinya telah cukup terampil
berbahasa Inggris. “Eh saya nggak dikirim-kirim.
Waktu itu saya di Produksi, setelah sebelumnya di laboratorium. Saya kepingin
juga ikut pelatiah atau sejenisnya ke luar negeri. Saya berdoa dan rajin bekerja.
Termasuk ikut kursus Bahasa Inggris. Kursus akhirnya tidak selesai,” jelas
Ardju.
Bertemu Jodoh di
Tempat Kursus
Kursus
Bahasa Inggris di Jakarta College tidak tuntas. Di balik ketidak-tuntasan itu,
Ardju justru merasa mendapat berkah. Ketika kursus di tahun 1975, dia
dipertemukan dengan seorang perempuan asli Batusangkar (Sumatera Barat) bernama
Ulfa Djalil. Memang tidak serta merta saat itu pula Ardju dan Ulfa memasuki
jenjang pernikahan. Baru di tahun 1980 keduanya menikah di Masjid Al-Azhar
(Kebayoran Baru) dan menggelar resepsi di Gedung Kartika Eka Paksi di Jalan
Gatot Subroto Jakarta Selatan.
“Tidak
dapat ijazah tapi dapat ijabsah. Di kursus itu, sekitar tahun 1975, saya ketemu
calon istri. Nikahnya tahun 1980, ketemu tahun 1975, itu pakai putus dulu,
setahun dua tahun nyambung lagi. Kemudian rumah tangga dan punya anak,” kenang
Ardju dalam nada seloroh.
Pasca
pernikahan itu, pasangan suami-istri Ardju-Ulfa disibukkan oleh urusan domestik
rumah tangga. Ulfa sendiri masih bekerja di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat.
Ia saban hari pergi-pulang menumpang angkutan bus karyawan atau nebeng salah
seorang kawan yang tinggal tak jauh dari kontrakan mereka di kawasan Condet,
Jakarta Timur. Demikian pula Ardju tetap bekerja keras penuh disiplin di Bata. Sampai-sampai dia tidak ingat lagi
akan keinginannya ke luar negeri.
Kesibukannya
berumah-tangga semakin bertambah dengan kehadiran anak pertama pada tahun 1981.
Lantaran ketika itu Ardju sedang mengikuti ujian di Sekolah Tinggi Manajemen
Industri (STMI), anak pertama itu diberi nama Ivan Imtikhan. Imtikhan
mengandung arti ujian. Jadi nama itu sebagai tetenger bahwa saat di jabang bayi lahir bapaknya sedang mengikuti
ujian. Setelah Ivan berumur sekitar 3 tahun, 1983/1984, keluarga kecil
Ardju-Ulfa pindah ke rumah sendiri di kawasan Kampung Rambutan, Jakarta Timur.
Ketika itu Ardju sudah mampu membeli sebidang tanah seluas 174 meter persegi
dari hasil tabungan selama bekerja di Bata.
Pelan namun pasti di atas tanah itu kemudian dibangun rumah tempat tinggal.
Ulfa mengira
Ardju memiliki banyak uang selama bekerja di Bata. Padahal, gajinya terasa tekor terus-menerus. Kemampuannya
membeli rumah di awal tahun 1980-an itu tidak terlepas dari kiat orang dalam Bata bersiasat. “Waktu itu, bagian personalia
Bata Pak Mulyanto itu pinter cari
duit. Dia beli tanah murah kemudian dikreditkan ke teman-temannya sesama
karyawan, termasuk saya. Kemudian saya mendapatkan 174 meter persegi dengan
cicilan Rp11.000 tiap pekan yang dipotong dari gaji. Itu yang bikin kaget istri
saya, dikira saya ini punya uang banyak. Ternyata minus, uang gaji habis terus.
Tapi jadinya ya rumah itu,” ungkap Ardju.
Tahun 1985,
pasangan Ardju-Ulfa kembali dikaruniai anak. Anak kedua berjenis kelamin
perempuan ini diberi nama Nofili Rizky Hidayati. “Nama Nofili diambil dari tag line sepatu Nike, no finish line. Kemudian
kata-kata Rizky Hidayati mengandung makna rezeki yang memperoleh hidayah,” terang
Adju ihwal filosofi dan makna nama anaknya yang kedua.
Rupanya,
ketika Nofili lahir, Ardju sudah berpindah kerja dari Bata ke perusahaan sepatu Nike.
Sekadar pengetahuan Nike Inc. adalah
salah satu perusahaan sepatu, pakaian dan alat-alat olahraga Amerika Serikat
yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Perusahaan itu terkenal
karena mensponsori beberapa olahragawan sohor dunia, antara lain Tiger Woods,
Imam Teguh Islamy, Ronaldo dan Michael Jordan. Selain itu perusahaan yang berkantor
pusat di Beaverton, Oregon, Amerika Serikat, itu juga memiliki perjanjian
dengan berbagai tim sepak bola dunia seperti Manchester United, FC Barcelona,
Arsenal, FC Basel, Juventus, Clube de Regatasd Flamengo, Steaua Bucarest, AC
Sparta Praha, Red Star Belgrade, Inter Milan, VfL Bochum, VfL Wolfsburg, Hertha
BSC Berlin, Borussia Dortmund, PSV Eindhoven, Valencia CF, Urawa Red Diamonds,
Kaizer Chiefs, Atlético de Madrid, NK Maribor, Glasgow Celtic, FC Porto, Paris
Saint-Germain, Boca Juniors, dan Corinthians.
Mengambil nama
dewi Yunani yang berarti kemenangan, Nike
didirikan tahun 1964 ketika atlet sekaligus pengusaha Oregon bernama Phillip
Knight mengagas impor sepatu lari dari Jepang untuk bersaing dengan merek
Jerman seperti Adidas dan Puma yang kemudian mendominasi pasar
Amerika Serikat. Knight berani mengimpor dari Jepang lantaran harga sepatu
Jepang lebih murah dibandingkan sepatu-sepatu produk Eropa. Hal ini tidak
terlepas dari upah murah buruh Jepang saat itu.
Knight pun mulai
menjual sepatu dengan berkeliling dari stadion atletik yang satu ke stadion
atletik yang lain. Pelan tapi pasti penjualan Nike made in Jepang meningkat secara dramatis. Pada 1970-an, Knight
melihat awal revolusi jogging dan dia
mulai memasarkan produk untuk pelari non-profesional pula. Dia lantas segera
membuka pasar yang lebih luas dan mengubah image
sepatu lari menjadi sepatu fashion dan menarik semua orang dari anak-anak
sampai dewasa.
Pada 1979, Nike telah menguasai setengah pasar di Amerika
Serikat dengan pendapatan mencapai US$ 149 juta. Pada pertengahan tahun 1980-an
posisi perusahaan tampaknya tak tergoyahkan, namun secara mendadak muncul
serangan dari pesaing, yaitu Reebok. Tahun
1990 Nike kembali memimpin pangsa
pasar sepatu, terutama karena pengenalan dari sepatu “Air Jordan” yang didukung
dan dipromosikan oleh bintang basket Michael Jordan.
Terlepas
dari eksperimen singkat yang tidak berhasil dengan manufaktur di AS, sepatu Nike selalu dibuat di Asia. Awalnya di
Jepang, kemudian di Korea Selatan, Taiwan, China dan Asia Tenggara. Nike memulai produksi di Korea Selatan
pada tahun 1972, karena tertarik oleh tenaga kerja murah di sana, dan segera
bergabung dengan perusahaan lain --termasuk Adidas
dan Reebok.
Pada
1980-an Nike mencoba membuat produksi
di Cina, dalam kemitraan dengan perusahaan milik negara. Tapi hal ini justru
mendatangkan kegagalan. Nike lantas
memindahkan investasinya ke Taiwan. Nike
lantas mengambil keuntungan dari ongkos tenaga kerja yang lebih murah di sana.
Akhir
1980-an, pergolakan buruh, tuntutan peningkatan upah dan hilangnya kontrol oleh
otoritas Korea Selatan, membuat Negara Ginseng tersebut kurang menarik bagi
investor, baik asing maupun dalam negeri. Nike
mulai mencari lokasi lain yang lebih menyenangkan. Pilihan jatuh ke Thailand
dan Indonesia. Upah buruh di kedua negara tersebut disebut-sebut sebagai salah
satu yang murah lantaran hanya memakai seperempat tarif dari yang dibayarkan di
Korea Selatan. Beberapa asosiasi Nike
yang bermarkas di Taiwan juga mendirikan pabrik di Asia Tenggara.
Alasan lain
perpindahan ini karena pada tahun 1988, Korea Selatan dan Taiwan kehilangan
akses khusus untuk pasar AS, yang telah lama mereka nikmati sebagai status
"negara berkembang" di bawah Sistem Preferensi Umum (GSP) AS. Investor
Korea dan Taiwan lantas bergerak ke Thailand, Indonesia dan Cina dengan
menggunakan pembuatan hak istimewa GSP dari negara-negara miskin.
Nike beroperasi secara resmi di
Indonesia tahun 1988. Tahun 1988 itu, pengusaha Siti Hartati Murdaya
menggandeng pemilik brand Nike untuk
bekerja sama memproduksi sepatu sport Nike
di Indonesia. Melalui bendera PT Hardaya Aneka Shoes Industry, Hartati
mendirikan pabrik sepatu Nike di
Kecamatan Jatiuwung, Tangerang. Untuk memperkuat bisnis tersebut, ia merekrut
manager-manager produksi dari pabrik sepatu Nike
di Korea Selatan yang mengalami penutupan pabrik gara-gara kenaikan upah
minimum. Tahun berikutnya, ia mendirikan pabrik sepatu Nike yang kedua di Pasar Kemis (Tangerang) di bawah perusahaan PT
Nagasakti Paramashoes Industry.
Pabrik
sepatu merupakan industri padat karya dan bagi Hartati Murdaya ini merupakan
bisnis dan usaha sosial yang membantu mereka yang belum memiliki pekerjaan.
Kemudian ia mendirikan pula PT Berca Sportindo yang menjadi distributor sepatu Nike di Indonesia. Berkat pengalamannya
dalam produksi sepatu Nike tersebut,
kemudian ia mengembangkan sepatu sport merek League.
Dalam
sebuah wawancara pers pada November 1994, koordinator perusahaan Nike di Indonesia, Tony Band, mengatakan
perusahaan yang digunakan di Indonesia berjumlah 11 kontraktor. Di antaranya
merupakan bekas-bekas basis perusahaan asosiasi Nike di Korea Selatan dan Taiwan -yang juga pada saat yang sama
menghasilkan untuk merek lain seperti Reebok,
Adidas dan Puma.
Kembali ke
perjalanan hidup Ardju Fahadaina, setelah bekerja selama 11 tahun, dia keluar
dari Bata pada 1985. Waktu itu Nike
diproduksi di bawah bendera usaha PT JJ Enterprise. Dia juga tetap di Nike ketika diambil-alih oleh pengusaha
Siti Hartati Murdaya. “Meskipun owner-nya
berbeda, saya tetap dipakai di situ. Alhamdulillah mungkin saya termasuk yang
diperlukan oleh Nike untuk menguasai
pasar di Indonesia. Waktu dari PT JJ Enterprise kemudian diambil-alih oleh Bu
Hartati Murdaya, saya cabut juga dari PT JJ,” ujar Ardju.
Kesampaian Juga ke
Luar Negeri
Masuk ke Nike sudah barang tentu masuk ke dunia
yang agak berbeda, kendati sama-sama perusahaan pembuat sepatu. Sistem belum
terbangun secara apik dan sumber daya manusia yang ada belum memperlihatkan
kualitas sebagaimana disyaratkan oleh perusahaan. Sebab itulah, sebelum bekerja
lebih jauh, setiap orang baru (termasuk Ardju Fahadaina) wajib mengikuti
pengayaan ilmu dan teknologi sepatu di EKIN
Clinic yang berada di Taipei, Taiwan.
Tentang
pengalaman barunya ini, Ardju bertutur, “Orang dari Indonesia atau dari negara
mana pun yang memiliki pabrik pembuat sepatu Nike berkumpul di situ mempelajari teknologi sepatu untuk olahraga.
Saya ikut pertama kali di Taiwan sekitar tahun 1986-1987. Itulah pertama kali
saya keluar negeri. Selama 11 tahun bekerja di Bata belum sekalipun dikirim ke luar negeri, bahkan ke negara
terdekat seperti Singapura. Dari situ saya diserahi tugas belajar mengenai
teknologi sepatu, misalkan kenapa memakai bantalan udara, menggunakan bahan
polyuretan, dan jahitannya harus seperti itu. Ditekankan bagaimana teknologi
sepatu yang mampu mendukung olahraga. Saya
pelajari semua terus membuat laporan ke laboratorium teknologi Nike.”
Pulang dari
Taiwan, Ardju menularkan ilmu yang diperolehnya kepada karyawan Nike di Indonesia. Dia memang tidak
segan-segan berbagi ilmu. “Kalau punya ilmu jangan ditahan-tahan. Kasih semua,
nanti Allah akan memberi ilmu yang lain. Tidak hanya sepulang dari Taiwan, waktu
awal-awal pindah dari Bata ke Nike, ilmu dari Bata saya tularkan semua, misalkan bagaimana bikin purchasing yang bagus dan planning merchandising yang tepat. Nah,
kemudian saya diberi ilmu baru tentang teknolgi sepatu yang canggih, teknologi
Amerika. Laporan laboratorium tiap bulan pun dikasih ke saya. Lalu saya
pelajari kemudian saya ajarkan ke pramuniaga-pramuniaga toko. Saya terangkan
bahwa sepatu yang bakal datang nanti teknologinya seperti ini. Kalian harus
bisa menjelaskan ke customer seperti ini. Itu kan suatu ilmu juga,” papar Ardju.
Tidak hanya
sekali Ardju ke luar negeri. Setiap pertemuan internasional Nike di kantor pusat Beaverton, Negara
Bagian Oregon, Amerika Serikat, Ardju diundang mewakili Nike Indonesia –terutama dari tenaga yang expert di marketing. Tiap tahun minimal empat kali dia dikirim ke
Amerika, Jepang, Singapura, Hongkong, dan Eropa.
“Dan
alhamdulillah saya dikasih bonus oleh Allah. Selain ke luar negeri, ketika pulang
saya sudah punya uang. Saya pernah bawa
uang itu sampai 10 ribu dolar AS. Di bandara setempat, saya ditanya membawa
uang berapa. Saya jawab 10 ribu dolar, oh ini orang kaya. Lagi pula yang mengundang
saya adalah konglomerat Amerika, Phill Knight. Jadi datang begitu dihormati.
Mau pulang pun bisa pilih oleh-oleh. Coba kalau saya ke luar negeri saat di Bata, saya tidak bisa beli dan pilih
oleh-oleh. Pengalaman spiritual saya di situ, kesuksesan dalam hidup itu,
selain bekerja keras, kita harus berdoa, minta kepada Allah yang Maha
Menentukan. Ditambah pula ridha orang tua. Saya selalu menjalin hubungan baik
dengan orang tua. Alhamdulillah hasilnya seperti itu,” Ardju berkisah.
Sampai-sampai
Ardju lupa berdoa agar bagaimana perjalanan ke Amerika penuh berkah dan ridha
Allah SWT. Perjalanan ke Amerika jelas memakan waktu terbang lumayan lama,
sampai mengalami jet lag. Ditambah lagi
sulit mencari makanan yang sesuai dengan citarasa lidah Indonesia. Ardju hanya
bisa memilih makan telor dan salad yang telah terjamin kehalalannya. Ujarnya, “Di
awal-awal perjalanan ke Amerika memang menyenangkan, lama-lama bosan juga,
tidak bisa makan gudeg. Yang cukup menyenangkan saya bisa traveling ke Los
Angeles, Disneyland, dan memegang salju.”
Kerja Keras Berbuah
Kesejahteraan Lebih Baik
Pengalaman kerja
di Bata jelas sangat membekas di
benak Ardju. Bekerja keras penuh disiplin dalam bingkai kejujuran. Manajemen Bata memberikan memberikan koridor dan
sistem yang pas buat pengembangan diri karyawan. Tapi, ada satu hal di mata
Ardju yang terasa kurang. Yakni, kenaikan gaji tidak signifikan dibandingkan
dengan tingkat inflasi dan beban keluarga yang semakin bertambah. Di simpang
jalan antara karir dan tingkat kebutuhan keluarga yang terus bertumbuh, tahun
1985, Ardju memutuskan keluar dari Bata.
Pelabuhan perjalanan karir kerja berikutnya adalah Nike yang ketika itu sedang membangun usaha di Indonesia.
Sebagai
tenaga yang sudah cukup pengalaman di Bata,
Ardju beroleh apresiasi yang cukup memadai dari sisi gaji. “Alhamdulillah waktu
masuk Nike di bawah PT JJ Enterprise
sampai diambil-alih Bu Hartati Murdaya itu, gaji saya bagus. Kenaikan gaji juga
cukup signifikan dengan tingkat inflasi. Saya akui kepindahan dari Bata ke Nike karena ingin mendapatkan income
yang lebih banyak,” ucap lelaki asal Yogyakarta ini.
Rupanya,
gaji di Nike juga terasa agak kurang.
Sebab itu, Ardju memutar otak buat mencari tambahan penghasilan secara paruh
waktu. Dia memanfaatkan waktu libur Sabtu-Minggu untuk bekerja di tempat lain.
Bahkan, di sela-sela bekerja di Nike,
dia masih menyempatkan diri bekerja paruh waktu. Kebetulan saat itu Ardju
diminta membantu Mr. Seato, Direktur Marketing Bata kala dirinya bekerja di Bata.
Begitu tahu Ardju keluar dari Bata, Seato
menyusul keluar. Seato kemudian memperoleh kepercayaan menjalankan perusahaan
milik orang Amerika, Tristar –perusahaan yang juga bergerak di bidang sepatu. Seato
menganggap Ardju cocok diajak bekerja sama karena kondite, disiplin, kejujuran
dan menghargai waktu selama berada di Bata.
Seato lalu mencari Ardju. Begitu ketemu di Kampung Rambutan, Seato langsung
memintanya bekerja untuk Tristar. Ardju menyanggupi dengan bekerja paruh waktu.
Ardju
bercerita, “Sabtu-Minggu saya kerja untuk Mr. Seato. Selain itu pagi sebelum
kerja di JJ (Nike), saya mampir ke
wartel dulu, kirim atau terima faks, siang hari Mr. Seato langsung baca, kirim
balik lalu saya cek di sore hari. Pagi-siang-sore itu saya bekerja terus,
hampir-hampir tidak ada waktu istirahat. Ya, saat shalat dan makan siang
sebagai waktu rehat. Waktu itu tiap bulan dapat tambahan Rp1 juta. Juga dapat
ganti uang transpor. Kerjanya sebagai representative
office untuk menyiapkan produksi di Indonesia kemudian diekspor ke Perancis.
Sekitar tiga tahun saya bekerja dengan Mr. Seato. Kemudian Mr. Seato tergeser
oleh orang Korea, suasana jadi tidak nyaman. Saya pun tidak berlanjut.”
Saat
bekerja dengan Mr. Seato, sebenarnya Ardju sudah tidak nyaman bekerja di JJ.
Penyebabnya, terjadi selisih paham dengan Nico Moran –orang nomor satu di JJ
Enterprise. “Waktu itu bertepatan Hari Raya idul Adha, saya ditugaskan ke Surabaya,
saya langsung menolak. Alasannya hari libur, hari raya orang Islam. Dia ngotot
dan saya juga ngotot. Bapak itu usaha di Indonesia berada di bawah undang-undang
Indonesia yang memberi jaminan pemeluk agama menjalankan syariatnya. Dia marah,
gebrak pintu. Dan hampir bersamaan saat itu saya ketemu Mr Seato.”
Rupanya
Nico Moran merasa bersalah. Dia lalu menyuruh orang untuk mencari Ardju ke
rumahnya di kawasan Kampung Rambutan. Dan, saat ketemu, orang suruhan Nico
Moran langsung meminta, “Ardju dipanggil babe (sebutan Nico Moran) untuk kerja
lagi.” Tanpa banyak bertanya-tanya, Ardju kembali bekerja di JJ.
Mengapa
Ardju kembali dipanggil Nico Moran? Rupanya manajemen JJ kala itu telah
memulangkan tenaga-tenaga expert asal
India. Untuk mendongkrak kembali penjualan Nike
di Indonesia, mereka kembali membutuhkan orang-orang yang expert di bidangnya. Manajemen baru JJ
di tangan orang Filipina mencari tahu siapa saja yang di waktu-waktu lalu bekerja
di JJ? Di list personalia terdapat
nama Ardju Fahadaina lalu manajemen memanggil kembali untuk memperkuat divisi
distribusi dan marketing Nike. Pemanggilan
kembali Ardju tidak terlepas dari karakter kerja keras, amanah, rajin dan jujur
yang diperlihatkannya selama bekerja.
“Saya
kemudian bekerja dengan manajemen di bawah orang Filipina. Dia mengapresiasi
saya. Dia lihat-lihat dokumen personalia, catatan kinerja saya cukup bagus dan
sudah banyak mengikuti pelatihan di Hongkong, Taiwan dan Beaverton. Ya sudah, Ardju
mesti lebih diberdayakan. Di bawah orang Filipina itu saya banyak dikirim ke luar
negeri. Sekali waktu pulang dari luar negeri saya dimarahi Pak Nico Moran karena
menganggap pengiriman ke luar negeri sebagai pemborosan, tidak mendapat apa-apa
dari sana. Pak Nico tidak mau rugi. Namun orang Filipina tetap mengirimkan saya
ke luar negeri. Pendek kata, dengan masuk kembali ke Nike, gaji saya naik dan tetap bisa keluar negeri. Pendapatan jadi
lebih bagus,” papar Ardju mengenai perjalanan kerjanya antara Nike dan Tristar.
Berkat
penghasilan yang cukup, tahun 1995, Ardju dan istrinya Ulfa Djalil menunaikan
rukun Islam yang kelima ke Baitullah. Sebelum keberangkatannya, Ardju
mengundang semua orang penting di Nike
dan mereka semua hadir mengantar kepergian Ardju dan istri ke Tanah Suci.
Pelajaran dari
Mancanegara
Banyak
hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik tatkala Ardju Fahadaina melanglang buana
membawa bendera Nike. Salah satu
pelajaran menarik adalah pengalaman --terutama ihwal etos kerja—di Taiwan. Ardju
sudah memahami benar etos kerja manusia Indonesia di pabrik Bata dan Nike Indonesia. Serba lamban, santai dan asal selesai. Di Taiwan, kata
Ardju, “Orang-orangnya lebih cekatan, lebih cepat. Jadi kalau di Bata ada standart per minute (SPM), SPM di Taiwan lebih cepat daripada SPM
di Indonesia. Padahal, masih sama-sama Asia.”
Sumber daya
manusia yang dijumpai Ardju di luar negeri biasa bekerja lebih bagus, rajin,
ulet, kecekatannya, punya keterampilan dan lebih menghargai waktu. Dan hasilnya
betul-betul maksimal. Kini Ardju berusaha menerapkan etos ini di perusahaan dan
di rumah tangga.
Kemudian terkait
pelajaran kedisiplinan, masyarakat Amerika Serikat bagus. Dalam bermasyarakat,
misalkan di jalan raya, saat keluar dari jalan kecil mau masuk ke jalan yang
lebih besar harus stop. “Warga Amerika benar-benar patuh stop, berhenti. Yang
namanya stop ya benar-benar berhenti sampai kosong, baru dia masuk ke jalan
yang lebih besar. Kalau di sini, orang tetap saja masuk pelan-pelan. Disiplin
pada aturan lebih bagus di negeri Barat. Belakangan saya dengar dari orang bule
berkata ‘di negeri Barat saya melihat Islam, orang Islam tidak banyak tapi saya
melihat Islam di situ.’ Giliran di Indonesia, orang Islam banyak tapi Islam tidak
kelihatan. Jadi syariat Islam itu justru diterapkan di Barat. Hubungan
muamalah, kedisiplinan, mayoritas penduduk Islam di Indonesia justru tidak
menghargai syariat Islam. Seperti pernah saya dengar wartawan Vatikan yang
bertanya mengapa orang Indonesia tidak menghargai syariat Islam. Padahal,
sistem ekonomi syariah itu merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang mampu
menyelesaikan krisis ekonomi yang sudah dikacau-balaukan oleh ekonomi kapitalis,”
tutur Ardju serius. ***
No comments:
Post a Comment