Thursday, April 3, 2014

DUA: Ke Jakarta Merenda Nasib



Janganlah kamu serahkan harapanmu kepada keputus-asaan yang disebabkan oleh apa yang ada di masa silam, karena meratapi sesuatu yang tidak bisa kembali adalah sebuah kelemahan yang terburuk. Berjalanlah terus. Jangan tinggal diam. Melangkah ke depan berarti bergerak menuju kesempurnaan. Berjalanlah terus, jangan takut pada onak dan duri atau tajamnya batu-batu di jalan kehidupan.
Kahlil Gibran, penyair kenamaan dunia

YOGYAKARTA, 1974. Dari Stasiun Tugu, bersama seorang kawan bernama Handoyo, Ardju Fahadaina naik kereta api dengan tujuan Ibukota Jakarta. Sebuah kota metropolitan yang menjadi impian banyak orang yang ingin merenda nasib kehidupan menjadi lebih berpengharapan. Tak ada bekal yang berarti yang terselip di tas Ardju selain satu stel pakaian, sebungkus nasi dan sebotol minuman teh tawar. Ditambah beberapa lembaran rupiah di kantong yang hanya cukup untuk ongkos jalan dan sedikit makan setiba di Jakarta.
Sungguh sebuah perjalanan yang nyaris tiada asa. Sementara terus-menerus berdiam di kampung halaman tentu akan tenggelam dalam ratapan kehidupan yang hanya pas-pasan, bahkan kekurangan. Memang, benak Ardju waktu itu sempat disesaki rasa takut --takut bagaimana menjalani hidup sendirian, jauh dari orang tua di kampung halaman. Sebuah ketakutan yang beralasan mengingat pepatah satir “Ibukota lebih kejam daripada Ibu tiri”.
Benak Ardju wajar saja dipenuhi rasa takut mengingat dia merantau ke Jakarta tak ada sanak saudara, selain adik kakek yang tinggal di daerah Kalibata, Jakarta Selatan. Dan perantauan Ardju ke Jakarta cuma berbekal pakaian yang melekat di badan dan duit yang hanya cukup buat ongkos dan makan 1-2 hari. Sampai-sampai, dalam perjalanan dari Yogya ke Jakarta, dia tidak berani membeli makanan dan minuman. Bersyukur, Ardju dibekali sebungkus nasi dan sebotol teh tawar oleh ibunya (Suti Akbari Jumuwariyah). Sedangkan temannya, Handoyo, tidak membawa apa-apa selain pakaian yang melekat di badan. Sepanjang perjalanan, sebungkus nasi itu pun disantap berdua dan sebotol teh tawar diminum berdua pula.
Mengenai rasa takutnya menempuh kehidupan di Metropolitan Jakarta, Ardju sempat bertutur:
“Kepindahan ke Jakarta itu sebenarnya menakutkan, takut seperti apa menjalani hidup di sana sendiri, orang tua jauh di kampung halaman, nggak ada saudara, ada nenek tapi nenek jauh, istilahnya mbahlik dari ibu saya. Satu hal yang mengurangi rasa takut adalah adanya keyakinan saya telah diterima bekerja di pabrik sepatu Bata sehingga ada harapan memperoleh gaji buat menyambung hidup.       
Waktu selesai penelitian di Bata buat bikin skripsi, saya langsung dilamar untuk bekerja di Bata usai diwisuda. Alhamdulillah saya tidak melamar pekerjaan. Saya berangkat ke Jakarta bawa pakaian saja, dengan keyakinan sudah ada tempat bekerja. Hanya rumah buat tempat tinggal saya belum tahu. Berangkat pas-pasan. Bahkan uang cuma cukup untuk ongkos transpor. Tujuannya ke rumah kakek saya yang kebetulan tinggal di depan pabrik sepatu Bata.”

Memang, sebelum lulus dari Akademi Teknologi Kulit Yogyakarta, Ardju sudah ditawari masuk kerja di pabrik sepatu Bata. Ardju tidak menyia-nyiakan kesempatan yang cukup langka tersebut. Usai segala urusan kelulusan di Akademi Teknologi Kulit, bersama seorang kawan yang juga diterima di Bata, dia langsung berpindah ke Jakarta. Tujuan pertama untuk tinggal sementara adalah rumah mbahlik yang berada di sekitar kerimbunan kebun karet di seberang pabrik sepatu Bata.

Bata yang Melegenda
Sepatu Bata. Telah lama orang sangat mengenal akrab. Perusahaan pembikinnya pun bukanlah perusahaan ecek-ecekan. Tapi, sebuah perusahaan yang punya reputasi internasional. Dan sepatu Bata tampaknya cukup melegenda di Indonesia.
Bata atau T & A Bata Shoe Company terdaftar di Zlin, Czechoslovakia. Perusahaan ini didirikan oleh dua bersaudara Anna Tomáš dan Antonín Bata pada tahun 1894. Perusahaan sepatu raksasa keluarga ini mengoperasikan empat unit bisnis internasional: Bata Eropa, Bata Asia Pasifik-Afrika, Bata Amerika Latin dan Bata Amerika Utara. Produk perusahaan ini hadir di lebih dari 50 negara dan memiliki fasilitas produksi di 26 negara. Sepanjang sejarahnya, perusahaan ini telah menjual sebanyak 14 miliar pasang sepatu.
Di Indonesia, pengoperasian penjualan sepatu Bata dijalankan oleh PT Sepatu Bata Tbk. Perusahaan terebut didirikan pada tanggal 15 Oktober 1931 dengan akta notaris Adrian Hendrick van Ophuisjen Nomor 64, dengan nama Nederlandsch-Indische Schoenhandel Maatschappij Bata. Kemudian pada tanggal 29 Desembar 1931 berubah nama menjadi PT Sepatu Bata. Dan setelah melantai di Bursa Efek Jakarta (BEJ) pada tahun 1982,  berubah lagi sebagai PT Sepatu Bata Indonesia Tbk.
Pabrik perusahaan sepatu ini pertama kali berdiri pada tahun 1939 di Kalibata, Jakarta Selatan. Kini pabrik di Kalibata dipindahkan ke Purwakarta, Jawa Barat, lantaran tergusur pembangunan apartemen Kalibata City. Selain di Purwakarta, Bata juga punya pabrik di Medan, Sumatera Utara. Pabrik yang ada mampu menghasilkan 7 juta pasang alas kaki setahun, yang terdiri dari 400 model sepatu, sepatu sandal dan sandal. Produk-produk Bata terbuat dari kulit, karet dan plastik.
Sebelum tahun 1978, status Bata di Indonesia adalah Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan begitu, Bata dilarang menjual secara langsung ke pasar. Bata menjual melalui para penyalur khusus (depot) dengan sistem konsinyasi. Status para penyalur tersebut diubah dan pada 1 Januari 1978, yaitu saat izin dagang Bata "dipindahkan" kepada mereka dan PT Sepatu Bata Tbk menjadi perusahaan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN).
PT Sepatu Bata Tbk bergerak dalam pembuatan, impor, ekspor dan distribusi sepatu kulit, kanvas built-up, kasual dan sepatu olahraga, sandal injeksi, sandal, dan sepatu khusus untuk industri. Merek berlisensi Perusahaan, selain merek Bata, termasuk pula North Star, Power, Bubblegummers, Marie-Claire dan Weinbrenner. Perusahaan ini juga tetap sebagai anggota dari Organisasi Sepatu Bata Internasional.
Semula Perusahaan ini berkantor pusat di Jalan TMP Kalibata. Sekarang berpindah di kawasan Jalan TB Simatupang. Pada tahun 1995 pabrik baru dibuka di Purwakarta, Jawa Barat. Sampai sekarang perusahaan ini dikenal sebagai pelopor perusahaan alas kaki di Indonesia. Agar tetap mampu bersaing di pasar global, semua upaya dilakukan --terutama perbaikan teknologi dan efisiensi produksi. Salah satu yang tetap dipertahankan adalah kinerja keuangan perusahaan. Kondisi keuangan harus selalu berada dalam standar yang telah ditetapkan oleh perusahaan PT Sepatu Bata dan juga mengacu kepada standar industri sejenis.
Kali pertama Ardju Fahadaina bekerja di kantor pusat yang juga pabrik sepatu Bata di kawasan Kalibata, tahun 1974. Di awal bekerja di Bata itu, dia menumpang tinggal di rumah mbahlik yang berada di seberang pabrik. Kata Ardju, “Bekerja di Bata sudah sistemik dan kita harus ikuti semua aturan yang telah di-set-up sesuai standar kerja internasional.” Bahkan, katanya lebih lanjut, Bata telah membangun kultur yang mampu mendorong semua karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk memperoleh promosi atau pelatihan dan pendidikan.
Ardju lalu menjalani rutinitas bekerja di Bata. Setiap hari Kamis dia memperoleh beras dan saban Jumat menerima gaji.  “Kakek-nenek saya orang susah. Kalau dapat beras dari Bata tiap hari Kamis, saya langsung berikan ke nenek,” ujar Ardju.
Tinggal ‘menumpang’ terlalu di rumah mbahlik, Ardju merasa tidak enak hati mengingat dirinya sudah punya sedikit uang untuk sekadar mengontrak kamar. Kemudian dia mencari-cari kontrakan di sekitar pabrik sepatu Bata. Setelah berkeliling melihat-lihat, dengan keuangan yang relatif terbatas, akhirnya dia memperoleh sebuah kamar di daerah Rawajati. Benar-benar sebuah kamar. Kamarnya pun terbuat dari gedhek (anyaman bambu) yang sudah berlobang-lobang. Terpaksalah lobang-lobang hasil ‘kreasi’ anak muda setempat itu kemudian ditutup dengan kertas koran agar tidak lagi dipakai buat iseng mengintip-ngintip. Di kamar itu pula, Ardju memasak dengan kompor minyak tanah bikinan perajin kompor Cawang, Jakarta Timur. Tak ada sarana mandi cuci kakus (MCK) yang memadai. Cuma ada satu MCK yang dipakai secara bersama-sama dengan pengontrak kamar-kamar yang lain. 
“Tidak ada kamar mandi. Kami mesti ke sumur, lobang WC pun alakadarnya. Sampai-sampai suatu saat ibu saya dari kampung datang ke kontrakan tidak bisa tidur. Beliau berteriak-teriak gara-gara banyak bekicot. Dengan suasana seperti itu, ibu saya menilai kamar kontrakan terlalu kumuh. Tapi, banyak orang lulusan Akademi Teknologi Kulit Yogya mampir ke kamar kontrakan saya sebelum dapat kontrakan lain. Sekitar lima tahun saya mengontrak kamar itu,” cerita Ardju sarat memori.
Setelah lima tahun bekerja di Bata, gaji Ardju sedikit mengalami kenaikan. Hitung punya hitung, rasanya cukup untuk biaya mengontrak kamar yang lebih daripada sekadar kamar berdinding anyaman bambu di Rawajati. Lalu dia berusaha mencari kamar kontrakan yang lebih bagus di kawasan yang tidak terlalu kumuh. Berkat info dari mulut ke mulut, salah seorang seniornya di Bata menginformasikan ada kamar kontrakan kosong di kawasan Cawang Jambul. Rupanya kamar itu sebelumnya ditempat seniornya yang ketika itu lebih membutuhkan rumah karena telah menikah. Ardju lantas mengontrak kamar yang ditinggalkan oleh salah seorang seniornya di Bata tersebut.
Dengan tempat tinggal yang relatif lebih nyaman, Ardju semakin rajin dan disiplin bekerja di Bata. Ardju bersyukur, pertama bekerja, dia masuk ke sebuah perusahaan seperti PT Sepatu Bata yang sistemnya sudah ter-set-up secara apik. Kedisiplinan, SOP (Standard Operation Procedure), dan manajemen umumnya sudah tertata bagus.  “Di situ saya merasakan gemblengan kedisiplinan. Saya juga merasakan harus bekerja keras dan rajin. Alhamdulillah ketangguhan mental saya sudah teruji ketika jalan kaki dari Yogya ke Jakarta. Di Bata, ketangguhan dan kedisiplinan itu digembleng benar secara institusional,” ucap Ardju.
Bekerja di perusahaan internasional semacam Bata, memunculkan mimpi di benak Ardju. Terlebih lagi, Bata menghidupkan kultur yang mampu mendorong semua karyawan memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan promosi atau pelatihan dan pendidikan. Bata membuat semacam divisi yang dinamai MDP (Management Development Program). Divisi ini bertugas mencari dan merekrut orang muda yang kemudian dilatih dan dididik untuk dijadikan top manajemen Bata di masa depan.
Dalam perjalanan karirnya di Bata, di masa-masa awal itu Ardju melewati dua pintu bagian, dari Laboratorium ke Produksi. Tentu membutuhkan pelatihan dan pendidikan yang cukup agar dirinya mumpuni bekerja di Bagian Produksi. Beberapa karyawan seangkatannya telah banyak yang dikirim buat menimba pengalaman ke Bangladesh, India, Inggris Raya, dan negara Eropa lainnya. Dia pun menggantung mimpi suatu saat nanti bisa memperoleh promosi atau pelatihan ke luar negeri.
Agar mimpi itu terwujud, Ardju kemudian membekali diri dengan keterampilan Bahasa Inggris melalui kursus di Jakarta College yang ada di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur. Selain itu, dia memperkuat pula perwujudan mimpi melalui doa-doa yang khusyuk. Berdoa dan bekerja, dia meyakini, akan semakin memudahkan pengejawantahan mimpi tersebut.    
Namun mimpi rupanya tinggal mimpi. Kursus Bahasa Inggris di Jakarta College tidak berbuah ijazah yang menjadi salah satu indikator bahwa dirinya telah cukup terampil berbahasa Inggris. “Eh saya nggak dikirim-kirim. Waktu itu saya di Produksi, setelah sebelumnya di laboratorium. Saya kepingin juga ikut pelatiah atau sejenisnya ke luar negeri. Saya berdoa dan rajin bekerja. Termasuk ikut kursus Bahasa Inggris. Kursus akhirnya tidak selesai,” jelas Ardju.

Bertemu Jodoh di Tempat Kursus
Kursus Bahasa Inggris di Jakarta College tidak tuntas. Di balik ketidak-tuntasan itu, Ardju justru merasa mendapat berkah. Ketika kursus di tahun 1975, dia dipertemukan dengan seorang perempuan asli Batusangkar (Sumatera Barat) bernama Ulfa Djalil. Memang tidak serta merta saat itu pula Ardju dan Ulfa memasuki jenjang pernikahan. Baru di tahun 1980 keduanya menikah di Masjid Al-Azhar (Kebayoran Baru) dan menggelar resepsi di Gedung Kartika Eka Paksi di Jalan Gatot Subroto Jakarta Selatan.  
“Tidak dapat ijazah tapi dapat ijabsah. Di kursus itu, sekitar tahun 1975, saya ketemu calon istri. Nikahnya tahun 1980, ketemu tahun 1975, itu pakai putus dulu, setahun dua tahun nyambung lagi. Kemudian rumah tangga dan punya anak,” kenang Ardju dalam nada seloroh.
Pasca pernikahan itu, pasangan suami-istri Ardju-Ulfa disibukkan oleh urusan domestik rumah tangga. Ulfa sendiri masih bekerja di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Ia saban hari pergi-pulang menumpang angkutan bus karyawan atau nebeng salah seorang kawan yang tinggal tak jauh dari kontrakan mereka di kawasan Condet, Jakarta Timur. Demikian pula Ardju tetap bekerja keras penuh disiplin di Bata. Sampai-sampai dia tidak ingat lagi akan keinginannya ke luar negeri.
Kesibukannya berumah-tangga semakin bertambah dengan kehadiran anak pertama pada tahun 1981. Lantaran ketika itu Ardju sedang mengikuti ujian di Sekolah Tinggi Manajemen Industri (STMI), anak pertama itu diberi nama Ivan Imtikhan. Imtikhan mengandung arti ujian. Jadi nama itu sebagai tetenger bahwa saat di jabang bayi lahir bapaknya sedang mengikuti ujian. Setelah Ivan berumur sekitar 3 tahun, 1983/1984, keluarga kecil Ardju-Ulfa pindah ke rumah sendiri di kawasan Kampung Rambutan, Jakarta Timur. Ketika itu Ardju sudah mampu membeli sebidang tanah seluas 174 meter persegi dari hasil tabungan selama bekerja di Bata. Pelan namun pasti di atas tanah itu kemudian dibangun rumah tempat tinggal.
Ulfa mengira Ardju memiliki banyak uang selama bekerja di Bata. Padahal, gajinya terasa tekor terus-menerus. Kemampuannya membeli rumah di awal tahun 1980-an itu tidak terlepas dari kiat orang dalam Bata bersiasat. “Waktu itu, bagian personalia Bata Pak Mulyanto itu pinter cari duit. Dia beli tanah murah kemudian dikreditkan ke teman-temannya sesama karyawan, termasuk saya. Kemudian saya mendapatkan 174 meter persegi dengan cicilan Rp11.000 tiap pekan yang dipotong dari gaji. Itu yang bikin kaget istri saya, dikira saya ini punya uang banyak. Ternyata minus, uang gaji habis terus. Tapi jadinya ya rumah itu,” ungkap Ardju.
Tahun 1985, pasangan Ardju-Ulfa kembali dikaruniai anak. Anak kedua berjenis kelamin perempuan ini diberi nama Nofili Rizky Hidayati. “Nama Nofili diambil dari tag line sepatu Nike, no finish line. Kemudian kata-kata Rizky Hidayati mengandung makna rezeki yang memperoleh hidayah,” terang Adju ihwal filosofi dan makna nama anaknya yang kedua.
Rupanya, ketika Nofili lahir, Ardju sudah berpindah kerja dari Bata ke perusahaan sepatu Nike. Sekadar pengetahuan Nike Inc. adalah salah satu perusahaan sepatu, pakaian dan alat-alat olahraga Amerika Serikat yang merupakan salah satu yang terbesar di dunia. Perusahaan itu terkenal karena mensponsori beberapa olahragawan sohor dunia, antara lain Tiger Woods, Imam Teguh Islamy, Ronaldo dan Michael Jordan. Selain itu perusahaan yang berkantor pusat di Beaverton, Oregon, Amerika Serikat, itu juga memiliki perjanjian dengan berbagai tim sepak bola dunia seperti Manchester United, FC Barcelona, Arsenal, FC Basel, Juventus, Clube de Regatasd Flamengo, Steaua Bucarest, AC Sparta Praha, Red Star Belgrade, Inter Milan, VfL Bochum, VfL Wolfsburg, Hertha BSC Berlin, Borussia Dortmund, PSV Eindhoven, Valencia CF, Urawa Red Diamonds, Kaizer Chiefs, Atlético de Madrid, NK Maribor, Glasgow Celtic, FC Porto, Paris Saint-Germain, Boca Juniors, dan Corinthians.
Mengambil nama dewi Yunani yang berarti kemenangan, Nike didirikan tahun 1964 ketika atlet sekaligus pengusaha Oregon bernama Phillip Knight mengagas impor sepatu lari dari Jepang untuk bersaing dengan merek Jerman seperti Adidas dan Puma yang kemudian mendominasi pasar Amerika Serikat. Knight berani mengimpor dari Jepang lantaran harga sepatu Jepang lebih murah dibandingkan sepatu-sepatu produk Eropa. Hal ini tidak terlepas dari upah murah buruh Jepang saat itu.
Knight pun mulai menjual sepatu dengan berkeliling dari stadion atletik yang satu ke stadion atletik yang lain. Pelan tapi pasti penjualan Nike made in Jepang meningkat secara dramatis. Pada 1970-an, Knight melihat awal revolusi jogging dan dia mulai memasarkan produk untuk pelari non-profesional pula. Dia lantas segera membuka pasar yang lebih luas dan mengubah image sepatu lari menjadi sepatu fashion dan menarik semua orang dari anak-anak sampai dewasa.
Pada 1979, Nike telah menguasai setengah pasar di Amerika Serikat dengan pendapatan mencapai US$ 149 juta. Pada pertengahan tahun 1980-an posisi perusahaan tampaknya tak tergoyahkan, namun secara mendadak muncul serangan dari pesaing, yaitu Reebok. Tahun 1990 Nike kembali memimpin pangsa pasar sepatu, terutama karena pengenalan dari sepatu “Air Jordan” yang didukung dan dipromosikan oleh bintang basket Michael Jordan.
Terlepas dari eksperimen singkat yang tidak berhasil dengan manufaktur di AS, sepatu Nike selalu dibuat di Asia. Awalnya di Jepang, kemudian di Korea Selatan, Taiwan, China dan Asia Tenggara. Nike memulai produksi di Korea Selatan pada tahun 1972, karena tertarik oleh tenaga kerja murah di sana, dan segera bergabung dengan perusahaan lain --termasuk Adidas dan Reebok.
Pada 1980-an Nike mencoba membuat produksi di Cina, dalam kemitraan dengan perusahaan milik negara. Tapi hal ini justru mendatangkan kegagalan. Nike lantas memindahkan investasinya ke Taiwan. Nike lantas mengambil keuntungan dari ongkos tenaga kerja yang lebih murah di sana.
Akhir 1980-an, pergolakan buruh, tuntutan peningkatan upah dan hilangnya kontrol oleh otoritas Korea Selatan, membuat Negara Ginseng tersebut kurang menarik bagi investor, baik asing maupun dalam negeri. Nike mulai mencari lokasi lain yang lebih menyenangkan. Pilihan jatuh ke Thailand dan Indonesia. Upah buruh di kedua negara tersebut disebut-sebut sebagai salah satu yang murah lantaran hanya memakai seperempat tarif dari yang dibayarkan di Korea Selatan. Beberapa asosiasi Nike yang bermarkas di Taiwan juga mendirikan pabrik di Asia Tenggara.
Alasan lain perpindahan ini karena pada tahun 1988, Korea Selatan dan Taiwan kehilangan akses khusus untuk pasar AS, yang telah lama mereka nikmati sebagai status "negara berkembang" di bawah Sistem Preferensi Umum (GSP) AS. Investor Korea dan Taiwan lantas bergerak ke Thailand, Indonesia dan Cina dengan menggunakan pembuatan hak istimewa GSP dari negara-negara miskin.
Nike beroperasi secara resmi di Indonesia tahun 1988. Tahun 1988 itu, pengusaha Siti Hartati Murdaya menggandeng pemilik brand Nike untuk bekerja sama memproduksi sepatu sport Nike di Indonesia. Melalui bendera PT Hardaya Aneka Shoes Industry, Hartati mendirikan pabrik sepatu Nike di Kecamatan Jatiuwung, Tangerang. Untuk memperkuat bisnis tersebut, ia merekrut manager-manager produksi dari pabrik sepatu Nike di Korea Selatan yang mengalami penutupan pabrik gara-gara kenaikan upah minimum. Tahun berikutnya, ia mendirikan pabrik sepatu Nike yang kedua di Pasar Kemis (Tangerang) di bawah perusahaan PT Nagasakti Paramashoes Industry.
Pabrik sepatu merupakan industri padat karya dan bagi Hartati Murdaya ini merupakan bisnis dan usaha sosial yang membantu mereka yang belum memiliki pekerjaan. Kemudian ia mendirikan pula PT Berca Sportindo yang menjadi distributor sepatu Nike di Indonesia. Berkat pengalamannya dalam produksi sepatu Nike tersebut, kemudian ia mengembangkan sepatu sport merek League.
Dalam sebuah wawancara pers pada November 1994, koordinator perusahaan Nike di Indonesia, Tony Band, mengatakan perusahaan yang digunakan di Indonesia berjumlah 11 kontraktor. Di antaranya merupakan bekas-bekas basis perusahaan asosiasi Nike di Korea Selatan dan Taiwan -yang juga pada saat yang sama menghasilkan untuk merek lain seperti Reebok, Adidas dan Puma.
Kembali ke perjalanan hidup Ardju Fahadaina, setelah bekerja selama 11 tahun, dia keluar dari Bata pada 1985.  Waktu itu Nike diproduksi di bawah bendera usaha PT JJ Enterprise. Dia juga tetap di Nike ketika diambil-alih oleh pengusaha Siti Hartati Murdaya. “Meskipun owner-nya berbeda, saya tetap dipakai di situ. Alhamdulillah mungkin saya termasuk yang diperlukan oleh Nike untuk menguasai pasar di Indonesia. Waktu dari PT JJ Enterprise kemudian diambil-alih oleh Bu Hartati Murdaya, saya cabut juga dari PT JJ,” ujar Ardju.

Kesampaian Juga ke Luar Negeri
Masuk ke Nike sudah barang tentu masuk ke dunia yang agak berbeda, kendati sama-sama perusahaan pembuat sepatu. Sistem belum terbangun secara apik dan sumber daya manusia yang ada belum memperlihatkan kualitas sebagaimana disyaratkan oleh perusahaan. Sebab itulah, sebelum bekerja lebih jauh, setiap orang baru (termasuk Ardju Fahadaina) wajib mengikuti pengayaan ilmu dan teknologi sepatu di EKIN Clinic yang berada di Taipei, Taiwan.
Tentang pengalaman barunya ini, Ardju bertutur, “Orang dari Indonesia atau dari negara mana pun yang memiliki pabrik pembuat sepatu Nike berkumpul di situ mempelajari teknologi sepatu untuk olahraga. Saya ikut pertama kali di Taiwan sekitar tahun 1986-1987. Itulah pertama kali saya keluar negeri. Selama 11 tahun bekerja di Bata belum sekalipun dikirim ke luar negeri, bahkan ke negara terdekat seperti Singapura. Dari situ saya diserahi tugas belajar mengenai teknologi sepatu, misalkan kenapa memakai bantalan udara, menggunakan bahan polyuretan, dan jahitannya harus seperti itu. Ditekankan bagaimana teknologi sepatu yang mampu mendukung  olahraga. Saya pelajari semua terus membuat laporan ke laboratorium teknologi Nike.”
Pulang dari Taiwan, Ardju menularkan ilmu yang diperolehnya kepada karyawan Nike di Indonesia. Dia memang tidak segan-segan berbagi ilmu. “Kalau punya ilmu jangan ditahan-tahan. Kasih semua, nanti Allah akan memberi ilmu yang lain. Tidak hanya sepulang dari Taiwan, waktu awal-awal pindah dari Bata ke Nike, ilmu dari Bata saya tularkan semua, misalkan bagaimana bikin purchasing yang bagus dan planning merchandising yang tepat. Nah, kemudian saya diberi ilmu baru tentang teknolgi sepatu yang canggih, teknologi Amerika. Laporan laboratorium tiap bulan pun dikasih ke saya. Lalu saya pelajari kemudian saya ajarkan ke pramuniaga-pramuniaga toko. Saya terangkan bahwa sepatu yang bakal datang nanti teknologinya seperti ini. Kalian harus bisa menjelaskan ke customer seperti ini. Itu kan suatu ilmu juga,” papar Ardju.
Tidak hanya sekali Ardju ke luar negeri. Setiap pertemuan internasional Nike di kantor pusat Beaverton, Negara Bagian Oregon, Amerika Serikat, Ardju diundang mewakili Nike Indonesia –terutama dari tenaga yang expert di marketing. Tiap tahun minimal empat kali dia dikirim ke Amerika, Jepang, Singapura, Hongkong, dan Eropa.
“Dan alhamdulillah saya dikasih bonus oleh Allah. Selain ke luar negeri, ketika pulang saya sudah punya uang.  Saya pernah bawa uang itu sampai 10 ribu dolar AS. Di bandara setempat, saya ditanya membawa uang berapa. Saya jawab 10 ribu dolar, oh ini orang kaya. Lagi pula yang mengundang saya adalah konglomerat Amerika, Phill Knight. Jadi datang begitu dihormati. Mau pulang pun bisa pilih oleh-oleh. Coba kalau saya ke luar negeri saat di Bata, saya tidak bisa beli dan pilih oleh-oleh. Pengalaman spiritual saya di situ, kesuksesan dalam hidup itu, selain bekerja keras, kita harus berdoa, minta kepada Allah yang Maha Menentukan. Ditambah pula ridha orang tua. Saya selalu menjalin hubungan baik dengan orang tua. Alhamdulillah hasilnya seperti itu,” Ardju berkisah.
Sampai-sampai Ardju lupa berdoa agar bagaimana perjalanan ke Amerika penuh berkah dan ridha Allah SWT. Perjalanan ke Amerika jelas memakan waktu terbang lumayan lama, sampai mengalami jet lag. Ditambah lagi sulit mencari makanan yang sesuai dengan citarasa lidah Indonesia. Ardju hanya bisa memilih makan telor dan salad yang telah terjamin kehalalannya. Ujarnya, “Di awal-awal perjalanan ke Amerika memang menyenangkan, lama-lama bosan juga, tidak bisa makan gudeg. Yang cukup menyenangkan saya bisa traveling ke Los Angeles, Disneyland, dan memegang salju.”

Kerja Keras Berbuah Kesejahteraan Lebih Baik
Pengalaman kerja di Bata jelas sangat membekas di benak Ardju. Bekerja keras penuh disiplin dalam bingkai kejujuran. Manajemen Bata memberikan memberikan koridor dan sistem yang pas buat pengembangan diri karyawan. Tapi, ada satu hal di mata Ardju yang terasa kurang. Yakni, kenaikan gaji tidak signifikan dibandingkan dengan tingkat inflasi dan beban keluarga yang semakin bertambah. Di simpang jalan antara karir dan tingkat kebutuhan keluarga yang terus bertumbuh, tahun 1985, Ardju memutuskan keluar dari Bata. Pelabuhan perjalanan karir kerja berikutnya adalah Nike yang ketika itu sedang membangun usaha di Indonesia.
Sebagai tenaga yang sudah cukup pengalaman di Bata, Ardju beroleh apresiasi yang cukup memadai dari sisi gaji. “Alhamdulillah waktu masuk Nike di bawah PT JJ Enterprise sampai diambil-alih Bu Hartati Murdaya itu, gaji saya bagus. Kenaikan gaji juga cukup signifikan dengan tingkat inflasi. Saya akui kepindahan dari Bata ke Nike karena ingin mendapatkan income yang lebih banyak,” ucap lelaki asal Yogyakarta ini.
Rupanya, gaji di Nike juga terasa agak kurang. Sebab itu, Ardju memutar otak buat mencari tambahan penghasilan secara paruh waktu. Dia memanfaatkan waktu libur Sabtu-Minggu untuk bekerja di tempat lain. Bahkan, di sela-sela bekerja di Nike, dia masih menyempatkan diri bekerja paruh waktu. Kebetulan saat itu Ardju diminta membantu Mr. Seato, Direktur Marketing Bata kala dirinya bekerja di Bata. Begitu tahu Ardju keluar dari Bata, Seato menyusul keluar. Seato kemudian memperoleh kepercayaan menjalankan perusahaan milik orang Amerika, Tristar –perusahaan yang juga bergerak di bidang sepatu. Seato menganggap Ardju cocok diajak bekerja sama karena kondite, disiplin, kejujuran dan menghargai waktu selama berada di Bata. Seato lalu mencari Ardju. Begitu ketemu di Kampung Rambutan, Seato langsung memintanya bekerja untuk Tristar. Ardju menyanggupi dengan bekerja paruh waktu.
Ardju bercerita, “Sabtu-Minggu saya kerja untuk Mr. Seato. Selain itu pagi sebelum kerja di JJ (Nike), saya mampir ke wartel dulu, kirim atau terima faks, siang hari Mr. Seato langsung baca, kirim balik lalu saya cek di sore hari. Pagi-siang-sore itu saya bekerja terus, hampir-hampir tidak ada waktu istirahat. Ya, saat shalat dan makan siang sebagai waktu rehat. Waktu itu tiap bulan dapat tambahan Rp1 juta. Juga dapat ganti uang transpor. Kerjanya sebagai representative office untuk menyiapkan produksi di Indonesia kemudian diekspor ke Perancis. Sekitar tiga tahun saya bekerja dengan Mr. Seato. Kemudian Mr. Seato tergeser oleh orang Korea, suasana jadi tidak nyaman. Saya pun tidak berlanjut.”  
Saat bekerja dengan Mr. Seato, sebenarnya Ardju sudah tidak nyaman bekerja di JJ. Penyebabnya, terjadi selisih paham dengan Nico Moran –orang nomor satu di JJ Enterprise. “Waktu itu bertepatan Hari Raya idul Adha, saya ditugaskan ke Surabaya, saya langsung menolak. Alasannya hari libur, hari raya orang Islam. Dia ngotot dan saya juga ngotot. Bapak itu usaha di Indonesia berada di bawah undang-undang Indonesia yang memberi jaminan pemeluk agama menjalankan syariatnya. Dia marah, gebrak pintu. Dan hampir bersamaan saat itu saya ketemu Mr Seato.”
Rupanya Nico Moran merasa bersalah. Dia lalu menyuruh orang untuk mencari Ardju ke rumahnya di kawasan Kampung Rambutan. Dan, saat ketemu, orang suruhan Nico Moran langsung meminta, “Ardju dipanggil babe (sebutan Nico Moran) untuk kerja lagi.” Tanpa banyak bertanya-tanya, Ardju kembali bekerja di JJ.
Mengapa Ardju kembali dipanggil Nico Moran? Rupanya manajemen JJ kala itu telah memulangkan tenaga-tenaga expert asal India. Untuk mendongkrak kembali penjualan Nike di Indonesia, mereka kembali membutuhkan orang-orang yang expert di bidangnya. Manajemen baru JJ di tangan orang Filipina mencari tahu siapa saja yang di waktu-waktu lalu bekerja di JJ? Di list personalia terdapat nama Ardju Fahadaina lalu manajemen memanggil kembali untuk memperkuat divisi distribusi dan marketing Nike. Pemanggilan kembali Ardju tidak terlepas dari karakter kerja keras, amanah, rajin dan jujur yang diperlihatkannya selama bekerja.
“Saya kemudian bekerja dengan manajemen di bawah orang Filipina. Dia mengapresiasi saya. Dia lihat-lihat dokumen personalia, catatan kinerja saya cukup bagus dan sudah banyak mengikuti pelatihan di Hongkong, Taiwan dan Beaverton. Ya sudah, Ardju mesti lebih diberdayakan. Di bawah orang Filipina itu saya banyak dikirim ke luar negeri. Sekali waktu pulang dari luar negeri saya dimarahi Pak Nico Moran karena menganggap pengiriman ke luar negeri sebagai pemborosan, tidak mendapat apa-apa dari sana. Pak Nico tidak mau rugi. Namun orang Filipina tetap mengirimkan saya ke luar negeri. Pendek kata, dengan masuk kembali ke Nike, gaji saya naik dan tetap bisa keluar negeri. Pendapatan jadi lebih bagus,” papar Ardju mengenai perjalanan kerjanya antara Nike dan Tristar.
Berkat penghasilan yang cukup, tahun 1995, Ardju dan istrinya Ulfa Djalil menunaikan rukun Islam yang kelima ke Baitullah. Sebelum keberangkatannya, Ardju mengundang semua orang penting di Nike dan mereka semua hadir mengantar kepergian Ardju dan istri ke Tanah Suci.

Pelajaran dari Mancanegara
Banyak hikmah dan pelajaran yang bisa dipetik tatkala Ardju Fahadaina melanglang buana membawa bendera Nike. Salah satu pelajaran menarik adalah pengalaman --terutama ihwal etos kerja—di Taiwan. Ardju sudah memahami benar etos kerja manusia Indonesia di pabrik Bata dan Nike Indonesia. Serba lamban, santai dan asal selesai. Di Taiwan, kata Ardju, “Orang-orangnya lebih cekatan, lebih cepat. Jadi kalau di Bata ada standart per minute (SPM), SPM di Taiwan lebih cepat daripada SPM di Indonesia. Padahal, masih sama-sama Asia.”
Sumber daya manusia yang dijumpai Ardju di luar negeri biasa bekerja lebih bagus, rajin, ulet, kecekatannya, punya keterampilan dan lebih menghargai waktu. Dan hasilnya betul-betul maksimal. Kini Ardju berusaha menerapkan etos ini di perusahaan dan di rumah tangga.
Kemudian terkait pelajaran kedisiplinan, masyarakat Amerika Serikat bagus. Dalam bermasyarakat, misalkan di jalan raya, saat keluar dari jalan kecil mau masuk ke jalan yang lebih besar harus stop. “Warga Amerika benar-benar patuh stop, berhenti. Yang namanya stop ya benar-benar berhenti sampai kosong, baru dia masuk ke jalan yang lebih besar. Kalau di sini, orang tetap saja masuk pelan-pelan. Disiplin pada aturan lebih bagus di negeri Barat. Belakangan saya dengar dari orang bule berkata ‘di negeri Barat saya melihat Islam, orang Islam tidak banyak tapi saya melihat Islam di situ.’ Giliran di Indonesia, orang Islam banyak tapi Islam tidak kelihatan. Jadi syariat Islam itu justru diterapkan di Barat. Hubungan muamalah, kedisiplinan, mayoritas penduduk Islam di Indonesia justru tidak menghargai syariat Islam. Seperti pernah saya dengar wartawan Vatikan yang bertanya mengapa orang Indonesia tidak menghargai syariat Islam. Padahal, sistem ekonomi syariah itu merupakan satu-satunya sistem ekonomi yang mampu menyelesaikan krisis ekonomi yang sudah dikacau-balaukan oleh ekonomi kapitalis,” tutur Ardju serius. ***


No comments:

Post a Comment