TRIBUN JABAR/GANI KURNIAWAN
Salah
seorang warga memperlihatkan kartu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)
Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) di Kantor Cabang Utama BPJS,
Kota Bandung beberapa waktu lalu.Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang belum dimengerti seluruh tenaga kesehatan tak pelak menimbulkan kegelisahan. Hal ini berujung pada permintaan peningkatan tarif INA-CBG's oleh rumah sakit, untuk memastikan kualitas pelayanan dan kegiatan operasional tetap baik. Padahal, tanpa peningkatan tarif pun rumah sakit takkan merugi bahkan masih bisa surplus.
INA-CBG's adalah kepanjangan Indonesia Case Base Groups, yakni sebuah sistem pembayaran dengan sistem "paket", berdasarkan penyakit yang diderita pasien.
Penggunaan sistem paket INA-CBG's membuat sebagian rumah sakit mengalami defisit, meski ada juga yang tetap bisa meraih surplus. Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan (BUK) Kementerian Kesehatan RI, Akmal Taher, hal tersebut dikarenakan perbedaan cara pandang sistem pembiayaan.
"INA-CBG's ditentukan berdasarkan rata-rata pembiayaan pengobatan penyakit. Pembiayaan ini diberikan tanpa peduli berapa lama pasien dirawat. Hal ini berbeda dengan fee for service yang mengeluarkan biaya berdasarkan jumlah pelayanan, yang artinya semakin lama pasien dirawat maka pemasukan rumah sakit makin besar," ujarnya di Jakarta.
Kendali mutu dan biaya
Menurut Akmal, sistem INA-CBG's "memaksa" rumah sakit meningkatkan efisiensi pelayanan. Pasien yang datang berobat harus sembuh dalam waktu sesingkat mungkin sehingga rumah sakit tidak perlu mengeluarkan klaim terlalu besar. Sistem ini mengharuskan rumah sakit melakukan kendali mutu dan kendali biaya.
Sepanjang pelaksanaan JKN, rumah sakit yang tercatat mengalami keuntungan dalam rawat jalan adalah RSUP Kariadi, Semarang dan RSUP Wahidin Sudirohusodo, Makasar.
RSUP Kariadi tercatat mengalami surplus sebesar Rp 1,8 triliun dengan 9.850 pasien. RSUP Kariadi juga mencatatkan keuntungan dalam rawat inap sebesar Rp 964 juta dengan 1.732 pasien. Sedangkan RSUP Wahidin Sudirohusodo mencatatkan keuntungan sebesar Rp 871 juta dengan 12.447 pasien.
"Tentu ada rumah sakit yang defisit dalam rawat jalan maupun rawat inap. Namun rumah sakit tersebut tidak perlu disebut," kata Akmal.
Hal senada juga dikatakan Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur. Fajri menyatakan klaim selalu dibayar usai 15 hari kerja setelah pengajuan. Paling lambat dua hari setelah pengajuan, rumah sakit akan menerima uang muka pembayaran sebesar 75 persen dari klaim total. Sisa klaim kemudian diselesaikan dalam waktu 15 hari.
"Rata-rata 4-5 hari setelah masuk, klaim mulai dikerjakan sehingga sampai saat ini belum ada klaim yang tidak selesai dalam 15 hari. Kami juga membantu rumah sakit menyelesaikan berkas pengajuan klaim," kata Fajri.
Lebih jauh Fajri menyebutkan, total klaim yang sudah dibayar BPJS Kesehatan mencapai Rp 630 milyar untuk 877 rumah sakit. Sementara klaim dari 547 rumah sakit lain masih dalam verifikasi. Pembayaran klaim untuk Januari 2014 tersebut secara total diperkirakan mencapai Rp 1,4 trilyun.
Secara terpisah, Kepala Bagian Marketing dan Pelayanan Rumah Sakit Yos Sudarso, Padang, Helen Permata mengatakan peningkatan tarif tidak perlu dilakukan oleh pihak rumah sakit.
"Yang penting rumah sakit bisa efisien dengan menggunakan standardisasi, sehingga bisa melakukan kendali mutu dan biaya. Selanjutnya antar paket bisa subsidi silang. Dengan cara ini rumah sakit bisa surplus," kata Helen saat ditemui di Padang. (health.kompas.com)
No comments:
Post a Comment