Latar Belakang Permasalahan Keamanan di Papua
Papua
memang paradoksal. Bumi yang kaya namun penduduknya miskin, negeri yang damai
namun mematikan. Dalam satu bulan terakhir, setidaknya tiga polisi tewas
dibunuh. Trauma militerisme selama tiga dasawarsa terakhir rupanya begitu
mencekam sehingga publik kini belum juga rela berpihak kepada polisi yang
selama Orde Baru adalah bagian dari militer. Dengan demikian kekerasan dan
pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar sedangkan kekerasan petugas terhadap
warga dianggap pelanggaran HAM. Betulkah? Apakah masyarakat yang terlalu
berprasangka yang membuat segalanya menjadi serba salah? Ataukah kita yang
belum berhasil berubah dari paramiliterisme yang senantiasa menyelesaikan
masalah dengan senjata dan kekerasan? Ataukah keduanya?
Untuk
memahami Papua tidak cukup hanya dengan empati dan ide-ide. Papua adalah sebuah
realitas yang mungkin berbeda, yang mungkin membutuhkan pemahaman, empati,
ide-ide dan kejujuran. Bagaimana kata-kata menyatu dengan perbuatan yang
dilakukan. Elite demokrasi kita berhasil membuat kita berpikir bahwa kita sudah
merdeka. Namun kita lah yang belum berhasil memikirkan makna kemerdekaan yang
kita raih. Juga makna kemerdekaan bagi Papua dalam naungan Sang Burung Garuda
dan Pancasila dengan segala konsekuensinya.
Mari
kita mulai bicarakan Papua. Bicara yang harus mengejewantahkan menjadi ide-ide
yang harus menjelma menjadi realita. Realita yang diwarnai dengan kejujuran
yang akan dibawakan dalam perilaku karena jika tidak, maka sia-sialah segala
usaha kita selama ini.
Rekomendasi PP Polri dalam Penanganan Masalah Papua
ditinjau dari Segi Kamtibmas
Berbicara
masalah keamanandi bumi Papua adalah berbicara masalah image atau kesan yang seolah-olah bahwa Papua merupakan wilayah
rawan dan penuh dengan potensi friksi/konflik baik yang bersifat horizontal (kekerasan
antar suku) dan yang bersifat vertikal (antara masyarakat dengan aparatur
negara baik aparatur keamanan maupun Pemerintah Daerah). Kondisi seperti ini
diperkuat dengan fakta terjadinya berbagai konflik yang belakangan ini terjadi,
mulai dari perang antar suku, penembakan terhadap aparatur keamanan, dan
terakhi yang masih segar dalam ingatan adalah konflik antara serikat pekerja
dengan PT. Freeport di Timika yang berimbas pada masalah Kamtibmas.
Ditinjau
dari sisi pengelolaan negara, sesungguhnya potensi-potensi konflik tersebut
juga terjadi di daerah lain seperti isu unjuk rasa di Jawa, isu kejadian di
Mesuji Lampung, kerusuhan di Ambon, dan masih banyak lagi. Namun image mengenai masalah Papua ini menjadi
berbeda mengingat Papua adalah wilayah strategis yang rawan terhadap intervensi
karena adanya kepentingan politik baik nasional maupun internasiona terutama
ditinjau dari sisi:
a.
Sejarah
bergabungnya wilayah Irian Barat ke NKRI, masih ada yang menganggap cacat hukum
dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu;
b.
Masyarakat Papua
merasa bukan termasuk rumpun Melayu tetapi termasuk ke dalam rumpun Melanesia
(kita sering menyebut bangsa Indonesia adalah rumpun Melayu);
c.
Masyarakat Papua
menganggap tindakan Polri lebih mengutamakan tindakan represif sehingga
menjauhakan hubungan emosional kemitraan Polri dengan masyarakat semakin jauh,
lebih ekstrim lagi masyarakat menganggap Polri adalah bagaikan musuh dalam
selimut;
d.
Perasaan
masyarakat Papua yang menganggap ada perlakuan diskriminatif walaupun sudah
banyak program yang diperuntukkan bagi masyarakat Papua;
e.
Tidak tuntasnya
penanganan kasus-kasus yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM berat sehingga
sering dijadikan isu politik yang berdampak pada masalah keamanan;
f.
Kebijakan pelaksanaan
otonomi khusus sesuai UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus Papua tidak
berjalan efektif karena kendala regulasi (Perdasi dan Perdasus), kelembagaan,
aparatur, pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan serta pemekaran daerah yang
dipaksakan.
Faktor-faktor
di atas diduga menjadi pendorong bagi semua pihak untuk selalu memantau dan
memanfaatkan peluangg sesuai dengan kepentingannya. Karena kondisi rawan intervensi politik tersebut,
maka peristiwa-peristiwa kriminal maupun politik yang terjadi di Papua menjadi
berita yang mudah untuk diekspos secara nasional maupun internasional yang
dapat merugikan citra pemerintah RI khususnya Polri.
Dilihat
dari berbagai bentuk peristiwa yang terjadi di Papua, sebenarnya merupakan
peristiwa kriminal biasa, jumlahnya relatif kecil tidak sebanding dengan image dan gaung pemberitaannya dan pada
dasarnya dapat diselesaikan secara yuridis. Namun mengingat posisi Papua yang
sangat rawan dengan berbagai intervensi dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak,
maka dalam menangani permasalahan yang muncul di Papua Polri tidak boleh
menganggap sebagai masalah biasa dan diselesaikan secara yuridis melalui
pendekatan keamanan semata tetapi diselesaikan melalui pendekatan sosiologis
(agama, budaya dan adat) dan dikomunikasikan dengan menggunakan hati nurani
bukan kekuasaan. Di sinilah pentingnya, melalui diskusi panel yang
diselenggarakan oleh PP Polri ini berusaha untuk merumuskan solusi konstruktif
dan komprehensif untuk mencari jalan keluar terhadap masalah pembinaan keamanan
di Papua. Langkah konkret yang dapat direkomendasikan antara lain:
1.
Bidang
Operasional
a.
Komunikasi
konstruktif antara Polri dengan instansi terkait dan Polri dengan masyarakat
Komunikasi konstruktif di sini adalah
proses penyamaan persepsi yang lebih bersumber pada hati nurani daripada
kekuasaan atau lebih tegasnya egosentris kekuasaan terhadap berbagai masalah
keamanan yang terjadi melalui pelibatan lembaga adat, keagamaan, organisasi
kemasyarakatan (ormas), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta berbagai
forum komunikasi yang ada seperti Komite Intelijen Daerah, Forum Kerukunan Umat
Beragama, Forum Pembauran Masyarakat dan lain-lain sehingga sumbatan komunikasi
khususnya antara aparatur negara dengan “masyarakat asli” Papua dapat terbuka.
b.
Penegakan hukum
Penerapan Restorative Justice yang tidak melanggar UU Otonomi Khusus (Otsus)
untuk peradilan adat, sebagai alternatif penegakan hukum. Penereapan di sini
tidak hanya dilakukan oleh Polri dan para pihak yang terlibat, tetapi dengan
melibatkan unsur penegak hukum (criminal
justice system), di mana penyelesaian peristiwa pidana di luar pengadilan
oleh Polri harus sepengetahuan Jaksa dan mendapat persetujuan Hakim
(Pengadilan).
Penerapan Restorative Justice di wilayah Papua dipandang tepat karena restorative justice memperhatikan repon
yang lentur terhadap kejahatan, orientasi pada kepentingan program, responsif
terhadap perilaku kejahatan, kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu
dan bersepakat menyelesaikan masalah, dampak stigmasi terhadap pelaku,
keseimbangan yang harmonis, pelibatan anggota masyarakat, solusi terbaik, serta
dampak kerugian dan kebutuhan korban.
c.
Penanganan unjuk
rasa yang tidak melanggar nilai-nilai HAM
Salah satu panelis mengingatkan bahwa
negara-negara Eropa Timur jatuh karena buruh, negara-negara Amerika Latin dan
Thailand jatuh karena militer, dan pengalaman yang sudah terjadi di Indonesi,
pemerintah jatuh karena mahasiswa. Pengalaman ini menunjukkan bahwa penanganan
unjuk rasa pada umumnya khususnya terhadap unjuk rasa mahasiswa secara umum
(bukan hanya di Papua) harus dikelola dengan cermat, jangan sampai karena salah
penanganan maka justru Polri yang dianggap menjadi pemicu berkembangnya unjuk
rasa. Harus disadari, bahwa ditinjau dari psikologi massa, kegiatan unjuk rasa
cenderung mudah terjebak pada tindakan anarkis. Jika tindakan anarkis ini
dihadapi dengan respon yang berlebihan dari aparat keamanan maka akan
mengakibatkan tindakan yang semakin tidak terkendali yang berpuncak pada
situasi chaos, yang tanpa disadari
akan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan yang pada akhirnya justru
menjadi pemicu terjadinya unjuk rasa yang lebih besar dan lebih anarkis.
2.
Bidang Pembinaan
a.
Pembinaan
personel Polda Papua
Sesuai dengan UU Otsus, beberapa hal
harus dipedomani dalam hal:
1.
Penerimaan
Bintara dan Perwira Polri
Memberikan kuota tertentu pada
masyarakat asli Papua untuk menjadi Bintara dan Perwira Polri. Kebijaksanaan
dalam seleksi penerimaan memperhatikan sistem hukum yang berlaku di Papua,
budaya dan adat istiadat serta Kebijaksanaan Gubernur Papua.
2.
Pendidikan
Kurikulum Pendidikan Dasar dan pelatihan
Bintara Polri harus memasukkan muatan lokal. Muatan lokal ini menjadi sangat
bermanfaat bagi para Bintara Polri dalam melaksanakan tugasnya, mengingat
masyarakat asli Papua terdiri dari ratusan suku bangsa dengan adat istiadat
yang berbeda pula.
3.
Penempatan
Bintara dan Perwira Polri dari Luar Papua
Penempatan personel polisi tidak hanya
memperhatikan aspek profesional kepolisian saja, tetapi harus dibekali
pengetahuan tentang sistem hukum yang berlaku di Papua, adat istiadat dan
budaya di masyarakat Papua. Dalam hal ini secara berkelanjutan Polda Papua
wajib memberikan penyegaran dan pencerahan. Di samping hal tersebut di atas,
penempatan personel di Papua juga harus mampu menghilangkan image atau kesan bahwa SDM Polri yang
ditempatkan di Papua adalah SDM bermasalah dan salah satu penyebab permasalahan
di Papua adalah bersumber dari SDM Polri yang ditugaskan di Papua. Untuk unsur
pimpinan agar melalui seleksi khusus dan ada kejelasan tentang perjalanan
karirnya.
b.
Penugasa
personel Brigade Mobil (Brimob)
Untuk menunjang keberhasilan personel
Brimob dalam menjalankan tugas di Papua, maka personel Brimob di samping
memiliki kompetensi harus diberi pembekalan tentang sistem hukum yang berlaku
di Papua, adat istiadat masyarakat Papua, dan pemahaman mengenai dampak dari
risiko kegagalan tugas yang bersumber dari perilaku yang melanggar nilai HAM
dan nilai budaya setempat.
c.
Kepemimpinan
Polri di Papua
Mengingat masyarakat Papua sebagian besar beragama
Nasrani, maka pimpinan Polri khususnya dan penegak hukum lainnya seyogyanya
dipilih personel yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan kelompok masyarakat
yang beragama asrani. Untuk mendukung kebijakan ini, pejabat Polri pada semua
level organisasi seyogyanya senantiasa ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan
agama khususnya peringatan hari-hari besar agama Nasrani.
No comments:
Post a Comment