Monday, April 28, 2014

PENANGANAN MASALAH PAPUA DARI SEGI KAMTIBMAS



Latar Belakang Permasalahan Keamanan di Papua
Papua memang paradoksal. Bumi yang kaya namun penduduknya miskin, negeri yang damai namun mematikan. Dalam satu bulan terakhir, setidaknya tiga polisi tewas dibunuh. Trauma militerisme selama tiga dasawarsa terakhir rupanya begitu mencekam sehingga publik kini belum juga rela berpihak kepada polisi yang selama Orde Baru adalah bagian dari militer. Dengan demikian kekerasan dan pembunuhan terhadap polisi dianggap wajar sedangkan kekerasan petugas terhadap warga dianggap pelanggaran HAM. Betulkah? Apakah masyarakat yang terlalu berprasangka yang membuat segalanya menjadi serba salah? Ataukah kita yang belum berhasil berubah dari paramiliterisme yang senantiasa menyelesaikan masalah dengan senjata dan kekerasan? Ataukah keduanya?  
Untuk memahami Papua tidak cukup hanya dengan empati dan ide-ide. Papua adalah sebuah realitas yang mungkin berbeda, yang mungkin membutuhkan pemahaman, empati, ide-ide dan kejujuran. Bagaimana kata-kata menyatu dengan perbuatan yang dilakukan. Elite demokrasi kita berhasil membuat kita berpikir bahwa kita sudah merdeka. Namun kita lah yang belum berhasil memikirkan makna kemerdekaan yang kita raih. Juga makna kemerdekaan bagi Papua dalam naungan Sang Burung Garuda dan Pancasila dengan segala konsekuensinya.
Mari kita mulai bicarakan Papua. Bicara yang harus mengejewantahkan menjadi ide-ide yang harus menjelma menjadi realita. Realita yang diwarnai dengan kejujuran yang akan dibawakan dalam perilaku karena jika tidak, maka sia-sialah segala usaha kita selama ini.

Rekomendasi PP Polri dalam Penanganan Masalah Papua ditinjau dari Segi Kamtibmas
Berbicara masalah keamanandi bumi Papua adalah berbicara masalah image atau kesan yang seolah-olah bahwa Papua merupakan wilayah rawan dan penuh dengan potensi friksi/konflik baik yang bersifat horizontal (kekerasan antar suku) dan yang bersifat vertikal (antara masyarakat dengan aparatur negara baik aparatur keamanan maupun Pemerintah Daerah). Kondisi seperti ini diperkuat dengan fakta terjadinya berbagai konflik yang belakangan ini terjadi, mulai dari perang antar suku, penembakan terhadap aparatur keamanan, dan terakhi yang masih segar dalam ingatan adalah konflik antara serikat pekerja dengan PT. Freeport di Timika yang berimbas pada masalah Kamtibmas.
Ditinjau dari sisi pengelolaan negara, sesungguhnya potensi-potensi konflik tersebut juga terjadi di daerah lain seperti isu unjuk rasa di Jawa, isu kejadian di Mesuji Lampung, kerusuhan di Ambon, dan masih banyak lagi. Namun image mengenai masalah Papua ini menjadi berbeda mengingat Papua adalah wilayah strategis yang rawan terhadap intervensi karena adanya kepentingan politik baik nasional maupun internasiona terutama ditinjau dari sisi:
a.       Sejarah bergabungnya wilayah Irian Barat ke NKRI, masih ada yang menganggap cacat hukum dan dipermasalahkan oleh pihak tertentu;
b.      Masyarakat Papua merasa bukan termasuk rumpun Melayu tetapi termasuk ke dalam rumpun Melanesia (kita sering menyebut bangsa Indonesia adalah rumpun Melayu);
c.       Masyarakat Papua menganggap tindakan Polri lebih mengutamakan tindakan represif sehingga menjauhakan hubungan emosional kemitraan Polri dengan masyarakat semakin jauh, lebih ekstrim lagi masyarakat menganggap Polri adalah bagaikan musuh dalam selimut;
d.      Perasaan masyarakat Papua yang menganggap ada perlakuan diskriminatif walaupun sudah banyak program yang diperuntukkan bagi masyarakat Papua;
e.       Tidak tuntasnya penanganan kasus-kasus yang ditengarai terjadi pelanggaran HAM berat sehingga sering dijadikan isu politik yang berdampak pada masalah keamanan;
f.       Kebijakan pelaksanaan otonomi khusus sesuai UU No. 21 Tahun 2011 tentang Otonomi Khusus Papua tidak berjalan efektif karena kendala regulasi (Perdasi dan Perdasus), kelembagaan, aparatur, pemberdayaan masyarakat dan pemerintahan serta pemekaran daerah yang dipaksakan.
Faktor-faktor di atas diduga menjadi pendorong bagi semua pihak untuk selalu memantau dan memanfaatkan peluangg sesuai dengan kepentingannya. Karena  kondisi rawan intervensi politik tersebut, maka peristiwa-peristiwa kriminal maupun politik yang terjadi di Papua menjadi berita yang mudah untuk diekspos secara nasional maupun internasional yang dapat merugikan citra pemerintah RI khususnya Polri.
Dilihat dari berbagai bentuk peristiwa yang terjadi di Papua, sebenarnya merupakan peristiwa kriminal biasa, jumlahnya relatif kecil tidak sebanding dengan image dan gaung pemberitaannya dan pada dasarnya dapat diselesaikan secara yuridis. Namun mengingat posisi Papua yang sangat rawan dengan berbagai intervensi dan dimanfaatkan oleh berbagai pihak, maka dalam menangani permasalahan yang muncul di Papua Polri tidak boleh menganggap sebagai masalah biasa dan diselesaikan secara yuridis melalui pendekatan keamanan semata tetapi diselesaikan melalui pendekatan sosiologis (agama, budaya dan adat) dan dikomunikasikan dengan menggunakan hati nurani bukan kekuasaan. Di sinilah pentingnya, melalui diskusi panel yang diselenggarakan oleh PP Polri ini berusaha untuk merumuskan solusi konstruktif dan komprehensif untuk mencari jalan keluar terhadap masalah pembinaan keamanan di Papua. Langkah konkret yang dapat direkomendasikan antara lain:
1.      Bidang Operasional
a.       Komunikasi konstruktif antara Polri dengan instansi terkait dan Polri dengan masyarakat
Komunikasi konstruktif di sini adalah proses penyamaan persepsi yang lebih bersumber pada hati nurani daripada kekuasaan atau lebih tegasnya egosentris kekuasaan terhadap berbagai masalah keamanan yang terjadi melalui pelibatan lembaga adat, keagamaan, organisasi kemasyarakatan (ormas), dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta berbagai forum komunikasi yang ada seperti Komite Intelijen Daerah, Forum Kerukunan Umat Beragama, Forum Pembauran Masyarakat dan lain-lain sehingga sumbatan komunikasi khususnya antara aparatur negara dengan “masyarakat asli” Papua dapat terbuka.
b.      Penegakan hukum
Penerapan Restorative Justice yang tidak melanggar UU Otonomi Khusus (Otsus) untuk peradilan adat, sebagai alternatif penegakan hukum. Penereapan di sini tidak hanya dilakukan oleh Polri dan para pihak yang terlibat, tetapi dengan melibatkan unsur penegak hukum (criminal justice system), di mana penyelesaian peristiwa pidana di luar pengadilan oleh Polri harus sepengetahuan Jaksa dan mendapat persetujuan Hakim (Pengadilan).
Penerapan Restorative Justice di wilayah Papua dipandang tepat karena restorative justice memperhatikan repon yang lentur terhadap kejahatan, orientasi pada kepentingan program, responsif terhadap perilaku kejahatan, kesempatan kepada pelaku dan korban untuk bertemu dan bersepakat menyelesaikan masalah, dampak stigmasi terhadap pelaku, keseimbangan yang harmonis, pelibatan anggota masyarakat, solusi terbaik, serta dampak kerugian dan kebutuhan korban.
c.       Penanganan unjuk rasa yang tidak melanggar nilai-nilai HAM
Salah satu panelis mengingatkan bahwa negara-negara Eropa Timur jatuh karena buruh, negara-negara Amerika Latin dan Thailand jatuh karena militer, dan pengalaman yang sudah terjadi di Indonesi, pemerintah jatuh karena mahasiswa. Pengalaman ini menunjukkan bahwa penanganan unjuk rasa pada umumnya khususnya terhadap unjuk rasa mahasiswa secara umum (bukan hanya di Papua) harus dikelola dengan cermat, jangan sampai karena salah penanganan maka justru Polri yang dianggap menjadi pemicu berkembangnya unjuk rasa. Harus disadari, bahwa ditinjau dari psikologi massa, kegiatan unjuk rasa cenderung mudah terjebak pada tindakan anarkis. Jika tindakan anarkis ini dihadapi dengan respon yang berlebihan dari aparat keamanan maka akan mengakibatkan tindakan yang semakin tidak terkendali yang berpuncak pada situasi chaos, yang tanpa disadari akan terjadinya pelanggaran HAM oleh aparat keamanan yang pada akhirnya justru menjadi pemicu terjadinya unjuk rasa yang lebih besar dan lebih anarkis.
2.      Bidang Pembinaan
a.       Pembinaan personel Polda Papua
Sesuai dengan UU Otsus, beberapa hal harus dipedomani dalam hal:
1.      Penerimaan Bintara dan Perwira Polri
Memberikan kuota tertentu pada masyarakat asli Papua untuk menjadi Bintara dan Perwira Polri. Kebijaksanaan dalam seleksi penerimaan memperhatikan sistem hukum yang berlaku di Papua, budaya dan adat istiadat serta Kebijaksanaan Gubernur Papua.
2.      Pendidikan
Kurikulum Pendidikan Dasar dan pelatihan Bintara Polri harus memasukkan muatan lokal. Muatan lokal ini menjadi sangat bermanfaat bagi para Bintara Polri dalam melaksanakan tugasnya, mengingat masyarakat asli Papua terdiri dari ratusan suku bangsa dengan adat istiadat yang berbeda pula.
3.      Penempatan Bintara dan Perwira Polri dari Luar Papua
Penempatan personel polisi tidak hanya memperhatikan aspek profesional kepolisian saja, tetapi harus dibekali pengetahuan tentang sistem hukum yang berlaku di Papua, adat istiadat dan budaya di masyarakat Papua. Dalam hal ini secara berkelanjutan Polda Papua wajib memberikan penyegaran dan pencerahan. Di samping hal tersebut di atas, penempatan personel di Papua juga harus mampu menghilangkan image atau kesan bahwa SDM Polri yang ditempatkan di Papua adalah SDM bermasalah dan salah satu penyebab permasalahan di Papua adalah bersumber dari SDM Polri yang ditugaskan di Papua. Untuk unsur pimpinan agar melalui seleksi khusus dan ada kejelasan tentang perjalanan karirnya.
b.      Penugasa personel Brigade Mobil (Brimob)
Untuk menunjang keberhasilan personel Brimob dalam menjalankan tugas di Papua, maka personel Brimob di samping memiliki kompetensi harus diberi pembekalan tentang sistem hukum yang berlaku di Papua, adat istiadat masyarakat Papua, dan pemahaman mengenai dampak dari risiko kegagalan tugas yang bersumber dari perilaku yang melanggar nilai HAM dan nilai budaya setempat.
c.       Kepemimpinan Polri di Papua
Mengingat masyarakat Papua sebagian besar beragama Nasrani, maka pimpinan Polri khususnya dan penegak hukum lainnya seyogyanya dipilih personel yang memiliki kemampuan beradaptasi dengan kelompok masyarakat yang beragama asrani. Untuk mendukung kebijakan ini, pejabat Polri pada semua level organisasi seyogyanya senantiasa ikut berpartisipasi aktif dalam kegiatan agama khususnya peringatan hari-hari besar agama Nasrani.

No comments:

Post a Comment