Friday, June 20, 2014

Pemerintah Terus Mengkaji RPP Pengupahan

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea (tengah) bersama sejumlah buruh mendeklarasikan Relawan Buruh Sahabat Jokowi ke-67 di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (27/5). Selain di Indonesia Relawan Sahabat Jokowi ini juga dideklarasikan di luar negeri seperti Hongkong, Macau, Korea, Taipe dan Malaysia.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) Andi Gani Nena Wea (tengah) bersama sejumlah buruh mendeklarasikan Relawan Buruh Sahabat Jokowi ke-67 di Ciputat, Tangerang Selatan, Banten, Selasa (27/5). Selain di Indonesia Relawan Sahabat Jokowi ini juga dideklarasikan di luar negeri seperti Hongkong, Macau, Korea, Taipe dan Malaysia. (sumber: Antara/Arie Wahyudi)

Pemerintah, dalam hal ini, masih mengkaji soal Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang Pengupahan. Pemerintah mengkaji dan akan membahas RPP tentang Pengupahan itu dalam forum dewan pengupahan yang didalamnya ada serikat pekerja dan serikat buruh.
Demikian dikatakan Direktur Pengupahan dan Jaminan Sosial, Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial (PHI) dan Jaminan Sosial (Jamsos), Wahyu Widodo, kepada wartawan di kantornya, Kamis (19/6).
Wahyu mengatakan seperti terkait unjukrasa sekitar 100 pekerja dan buruh di depan Gedung Kemnakertrans, Gatot Subroto, Kamis siang. Mereka menolak RPP pengupahan disyahkan karena dianggap tidak melibat pekerja dan buruh dalam pembahasannya sehingga merugikan kepentingan butuh.
Wahyu mengatakan, pemerintah penting mengkaji soal RPP Pengupahan itu karena merupakan sebagai pelaksana atau amanat dari UU 13 / 2003 tentang Ketenagakerjaan. "Pembentuk PP soal Pengupahan itu amanat UU 13 / 2003," kata dia.
Sebelumnya Sekjen Organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (Opsi), Timboel Siregar, mengatakan, Serikat Pekerja (SP) dan Serikat Buruh (SB) sangat menyesalkan keinginan pemerintah yang secara sepihak tetap ingin memaksakan RPP Pengupahan disyahkan. Beberapa masalah yang ada antara lain, kata dia, antara lain, pertama, RPP Pengupahan tersebut tidak melibatkan kalangan SP SB dalam proses pembahasannya, padahal sesuai ketentuan yang ada dan konvensi ILO ttg Tripartit bahwa pemerintah harus melibatkan SP SB dalam merumuskan ketentuan/peraturan ttg ketenagakerjaan. "Jadi secara formil RPP Pengupahan tsb sudah cacat hukum," kata Timboel.
Kedua, bila ditinjau secara materiil atau subtansial maka RPP tersebut telah mengebiri buruh untuk bisa hidup layak. Amanat UUD 1945 yang menjamin seluruh rakyat utk bisa hidup layak direduksi secara kasat mata oleh RPP ini. Adanya ketentuan kenaikan upah minimum dilakukan dua tahun sekali akan menghancurkan daya beli buruh yang mengakibatkan buruh dan keluarganya sulit menjadi sejahtera.
Faktanya selama ini, kata dia, kenaikan upah minimum setahun sekali saja belum dapat menjamin daya beli buruh meningkat, apalagi kalau nanti jadi dua tahun sekali. "Padahal pemerintah sudah kita ketahui bersama selalu gagal mengendalikan harga. Inflasi tahunan pastinya menurunkan daya beli buruh," kata dia.
Kenaikan tarif dasar listrik (TDL) per 1 Juli 2014, sebelumnya juga sudah menaikkan harga TDL untuk industi, dan rencana menaikkan BBM merupakan contoh kebijakan yg akan memperparah inflasi.
Ketiga, kata Timboel, terkait komponen hidup layak (KHL) tetap berjumlah 60 item, seharusnya penentuan jumlah item KHL cukup oleh Permenkertrans saja bukan oleh PP karena faktanya kebutuhan buruh sangat meningkat. Seharusnya KHL dinaikkan baik jumlah item maupun kualitasnya seperti tempat tinggal dinaikkan dari "kost" menjadi "kontrak rumah".
Faktanya, kata dia, banyak pekerja yang sudah berkeluarga mendapatkan upah minimum. Bagaimana buruh bisa hidup dengan baik bila memakai standar "kost" dgn membawa anak dan istri. "Ini tidak manusiawi," kata dia.
Berikutnya, kata dia, pemerintah harus menambah item KHL yaitu seperti utk iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan (saat ini 0.5% dan nanti menjadi 1%). Bahwa selama ini (UU 3/92) iuran jaminan pemeliharaan kesehatan ditanggung full oleh pemberi kerja tetapi sekarang buruh pun hrs membayar. "Nah harusnya iuran bpjs kesehatan dimasukkan sebagai item tambahan KHL," kata dia.
Menurut Timboel, RPP Pengupahan berpotensi kuat membuat buruh menjdi lebih tidak sejahtera dan membuat buruh sulit utk hidup. Ini artinya terjdi perbudakan secara terselubung. "Cak Imin (red-Muhaimin Iskandar) mewakili pemerintah RI berpidato dengan lantang di sidang ILC saat ini meminta ILO menghapus kerja paksa dan perbudakan tetapi Cak Imin lupa bahwa ada RPP pengupahan yg berpotensi kuat menjadi instrumen perbudakan terselubung di indonesia.
Timboel mendesak Presiden SBY membatalkan RPP pengupahan tsb. Bila SBY tetap memaksakan maka pemerintahan SBY akan menorehkan sejarah hitam diakhir periodenya di mata kaum buruh, dan tentunya gejolak sosial akan semakin tinggi. Dan tentunya SP SB akan melakukan aksi penolakan atas RPP ini dan akan mengajukan judicial review thd PP ini (bila dipaksa disyahkan )ke mahkamah agung.
Menurut Timboel, sebaiknya bila masalah pengupahan ini mau diatur lebih baik maka seharusnya aturannya dalam bentuk UU yang dalam proses pembahasannya melibatkan wakil rakyat (DPR) dan terbuka dgn seluruh stakeholder termasuk SP SB. "Kalau dengan PP maka pemerintah bisa dengan sepihak menetapkannya," kata dia. (http://www.beritasatu.com)

No comments:

Post a Comment