Setelah berjalan kurang lebih tujuh bulan, pelaksanaan JKN menuai komplain terutama dari masyarakat. PKMK mencoba melakukan pengamatan terhadap berbagai informasi yang terkait dengan pelaksanaan JKN ini. Informasi dikumpulkan dari berbagai sumber: media massa online, media massa cetak, hingga informasi yang didapat dari pelaksana pelayanan di RS. Dari hasil pengamatan tersebut, diketahui bahwa memang masih banyak sekali masalah dalam pelaksanaan JKN, khususnya di rumah sakit. Berbagai masalah tersebut dapat dikelompokkan dalam beberapa bagian. Berikut uraiannya.
- Sosialisasi oleh BPJS masih sangat kurang
Meskipun BPJS sudah berupaya untuk melakukan sosialisasi melalui iklan di TV atau media cetak dan berbagai bentuk penyebaran informasi lainnya, namun informasi ini rupanya tidak mampu menjangkau masyarakat di berbagai daerah. Hal ini dapat dilihat dari sepinya pendaftaran peserta BPJS mandiri di beberapa tempat (misalnya terjadi di Yogyakarta, Tebingtinggi, Nunukan, Samarinda). Bahkan ada isu bahwa pendaftaran sebagai peserta BPJS harus menggunakan e-KTP dan kartu keluarga yang menyebabkan banyak warga Papua dan Papua Barat tidak bisa mendaftar.
Kurangnya sosialisasi menyebabkan informasi yang beredar mengenai prosedur pendaftaran dan pemanfaatan BPJS Kesehatan simpang siur dan membingungkan (terjadi di Sulawesi, Medan, Padang (Sibusuk dan Sijunjung). Akibatnya tidak jarang staf RS yang menerima komplain atau kemarahan pasien, dituduh mempersulit, bahkan dituding mencari keuntungan. Tidak sedikit juga masyarakat yang mendatangi RS bukan untuk berobat melainkan untuk menanyakan mengenai BPJS, sebagaimana terjadi di RSUD Embun Fatimah Batam. - Sistem BPJS yang belum siap
Beberapa RS melaporkan adanya kejadian sistem down akibat banyaknya pasien yang melakukan pendaftaran pelayanan di RS, sehingga menambah panjang antrian. Kejadian ini antara lain terjadi di RSUP M.Djamil Padang.
Ketidaksiapan sistem ini juga terjadi pada proses pengintegrasian peserta Jamkesda ke BPJS. Ini menimbulkan keraguan pada masyarakat dan kekhawatiran ditolak oleh RS, seperti terjadi di Provinsi Riau dan Riau Kepulauan. Untuk mengantisipasi hal tersebut, banyak pemerintah daerah yang kemudian masih menjalankan Jamkesda, seperti yang dilakukan oleh Pemkab Berau, Batanghari dan Pemprov Jambi.
Yang sangat mengkhawatirkan adalah apabila sistem BPJS tidak mampu mendukung layanan RS dalam melakukanlife saving. Suatu RS melaporkan kejadian SEP (surat keabsahan peserta) mengalami trouble menyebabkan golden periode pasien (misalnya pada kasus stroke) lewat dan pasien berpotensi tidak bisa diselamatkan.
Disisi lain, pelayanan RS buka selama 1×24 jam, dan 7hari seminggu. Seharusnya layanan BPJS juga mengikuti jam kerja ini agar tidak menimbulkan masalah komunikasi dengan pasien/masyarakat. Namun kenyataannya tidak demikian. - Manfaat bagi Peserta: Pelayanan Penunjang
Banyak pelayanan penunjang yang harus diberikan untuk penyakit tertentu, misalnya untuk diagnosisi hepatitis harus didukung oleh pemeriksaan anti HBc, anti HaV. Padahal belum tentu semua RS memiliki fasilitas pemeriksaan ini, atau bahkan reagennya (biasanya terjadi pada RS yang belum BLUD, sehingga pembelian bahan habis pakai masih mengikuti sistem perencanaan yang rigid). Disisi lain, kasus stroke cukup dengan Siriraj score dan pemeriksaan klinis tanpa perlu didukung oleh hasil pemeriksaan CT scan. Ini membingungkan bagi petugas di RS dan berpotensi menimbulkan error pada diagnosa.
Untuk pelayanan darah, PMI yang merupakan mitra RS dalam menyediakan produk darah mengalami kebingungan harus mengklaim ke RS atau BPJS. - Manfaat bagi Peserta: Pelayanan Obat berdasarkan Formularium NasionalObat-obatan yang dulunya masuk dalam DPHO kini tidak ada di Fornas sehingga pasien harus membeli sendiri. Ini terutama dikeluhkan oleh mantan peserta ASKES. Dengan kondisi ini, petugas RS berpotensi menerima banyak komplain dari pasien dan harus meluangkan banyak waktu untuk menjelaskan Fornas, yang seharusnya hal ini dilakukan oleh petugas BPJS.
Ada beberapa jenis obat yang tidak ada generiknya, misalnya insulin dan methamphyron. Ini membingungkan petugas dan meningkatkan keluhan masyarakat. Bagi peserta Askes, mereka harus mengeluarkan dana tambahan untuk membeli insulin, yang tadinya masuk dalam daftar obat-obatan yang ditanggung PT. Askes. Juga belum ada solusi bagi pasien-pasien yang mengalami alergi terhadap obat-obatan dalam Fornas tanpa membebani keuangan pasien karena harus menebus sendiri obat pengganti.
Banyak obat-obatan yang hanya boleh tersedia di RS Kelas A, misalnya untuk penyakit Parkinson. Untuk kasus ini, bisa saja ada terapi kombinasi menggunakan stalevo misalnya, namun obat ini digolongkan dalam obat-obatan untuk epilepsi. Jika apotek atau IFRS tidak teliti, tidak akan mengetahui bahwa obat ini tersedia dalam Fornas. Disamping itu, ada banyak RS di daerah yang mengalami keterbatasan pasokan obat, misalnya RSUD Prof. Yohannes Kupang dan RSUD Tarakan, Kalimantan Utara. - Layanan RujukanBanyak pasien yang tidak bersedia mengunjungi PPK I sebelum ke PPK II. Seharusnya petugas BPJS yang menjelaskan hal ini ke pasien, namun kenyataan di lapangan petugas RS menghabiskan cukup banyak waktu untuk menjelaskan hal ini kepada pasien.
Ada faskes primer yang bertetangga dengan faskes tersier (seperti beberapa puskesmas dan klinik yang bertetangga dengan RSCM). Ini menimbulkan kesan pelayanan rujukan jadi lebih birokratis karena pasien dari faskes primer tetap harus ke PPK II yang lokasiny alebih jauh. Namun perlu upaya yang cukup besar untuk membangkitkan kesadaran masyarakat mengenai sistem rujukan, dan ini seharusnya menjadi tugas BPJS, bukan beban RS.
Seharusnya ada masa transisi yang memberi peluang penerapan sistem tidak secara kaku. Masyarakat yang tinggal di kepulauan juga menjadi korban kurangnya sosialisasi mengenai sistem rujukan pada BPJS. Perjalanan jauh yang telah ditempuh dengan menyeberangi pulau dan biaya tidak sedikit menjadi sia-sia karena RS terpaksa menolak pasien.
Pelayanan rujukan juga menjadi sesuatu yang rumit di daerah seperti Papua. Banyak daerah yang tidak bisa dijangkau oleh kendaraan darat, sehingga diperlukan heli-ambulans untuk mengangkut pasien gawat atau pasien rujukan. Namun fasilitas ini tidak tersedia di BPJS.
Tidak jarang juga penolakan oleh RS dilakukan karena ruangan benar-benar penuh. Ini tentu saja menyebabkan mutu pelayanan RS jadi menurun. Seharusnya pasien tersebut dapat dirujuk ke RS lain yang setingkat. Namun ada banyak RS yang menolak (swasta) atau belum siap (swasta dan pemerintah) untuk bekerjasama dengan BPJS, misalnya di Bogor, Sulawesi Selatan, Makassar, Sulawesi Utara, dan Banjarmasin. - Infrastruktur LayananMasalah yang terkait dengan infrastruktur antara lain masih banyak terjadi kekurangan tenaga (dokter, bidan, perawat) diberbagai RS, tidak saja di luar Jawa melainkan juga di Jawa. Ini dilaporkan terjadi di Serang, Tangerang dan Tangerang Selatan. Ada banyak juga RS Kelas B yang belum memenuhi standar jumlah ketenagaan, khususnya untuk dokter dan dokter spesialis. Ini contohnya terjadi di Maluku. Pendaftaran dokter CPNS di DKI Jakarta tanpa tes dikabarkan sepi peminat, sehingga upaya memenuhi kebutuhan tenaga medis di provinsi ini belum mendatangkan hasil.
- Tarif INA-CBGs
Banyak kejanggalan dalam tarif INA-CBGs. Sebagai contoh, tarif pelayanan untuk sirkumsisi (sunat) jauh lebih tinggi daripada tarif untuk partus melalui SC. Padahal jelas tingkat kompleksitas SC jauh lebih tinggi dan harus dilakukan oleh dokter spesialis, sedangkan sirkumsisi dapat dilakukan oleh dokter umum yang baru lulus sekalipun. Tarif untuk menangani infark myocard (serangkan jantung) juga lebih rendah dari tarif sirkumsisi, padahal serangan jantung membutuhkan tim medis dan perawat dengan keterampilan khusus dan peralatan yang juga khusus. Masih banyak kejanggalan yang terdapat pada besaran tarif dalam daftar tarif INA-CBGs tersebut, jika diltelusuri satu per satu.
Selain terkait dengan perbandingan besaran tarif, kejanggalan lain juga terdapat pada jenis layanan. Setidaknya ada sembilan puluh jenis pelayanan di RS Jiwa Kelas A yang tidak ada dalam daftar tarif tersebut yang telah teridentifikasi. Ini ditemukan di RSJ Ghrasia Yogyakarta. Selain itu, juga tidak ada tarif untuk pelayanan ICU dan IGD.
Hal yang juga dianggap merugikan rumah sakit maupun masyarakat adalah perbedaan besaran tarif antar-regional tidak signifikan. Hal ini menyebabkan kurangnya motivasi tenaga medis untuk mengisi kekosongan di luar Jawa, sehingga upaya untuk memeratakan distribusi tenaga kesehatan belum efektif.
Masalah apa yang terjadi di RS anda terkait dengan implementasi JKN ini? (dari
http://manajemenrumahsakit.net/
)
No comments:
Post a Comment