Dalam pelayanan kesehatan yang digelar BPJS Kesehatan lewat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), semua jenis penyakit yang dialami peserta ditanggung. Bahkan untuk peserta yang mengidap penyakit kronis, BPJS Kesehatan memberikan perlakuan khusus. Menurut Direktur Pelayanan BPJS Kesehatan, Fajriadinur, hal itu dilakukan guna memberi kemudahan bagi peserta. Sebab, peserta berpenyakit kronis membutuhkan pengobatan yang intensif. Sehingga, peserta yang bersangkutan butuh berulang kali menyambangi penyedia pelayanan kesehatan untuk memperoleh pengobatan yang dibutuhkan.
Fajri, menjelaskan hal itu merupakan salah satu hasil evaluasi terhadap pelayanan BPJS Kesehatan. Evaluasi yang melibatkan Kementerian Kesehatan, organisasi profesi medis dan BPJS Kesehatan itu sepakat untuk mengatur hal tersebut lewat regulasi. Rencananya peraturan itu akan berbentuk Surat Edaran Kemenkes. Berbagai penyakit kronis yang dicakup diantaranya Diabetes Mellitus, Hipertensi dan Jantung. Serta penyakit yang memakan biaya tinggi seperti Thalasemia dan Hemophilia. "Itu obatnya bisa diberikan otomatis selama satu bulan," katanya kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, Rabu (15/1).
Pemberian obat bagi peserta berpenyakit kronis itu menurut Fajri dilakukan lewat dua cara. Yaitu peserta mengambil obatnya secara rutin ke Rumah Sakit (RS). Atau ke penyedia pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas, Klinik dan dokter keluarga.
Oleh karenanya dengan diterbitkannya SE dari Kemenkes Fajri mengatakan peserta pengidap penyakit kronis akan dimudahkan dalam mendapatkan obat. Misalnya, selama ini obatnya ada di penyedia pelayanan tingkat tiga, sementara di satu provinsi seperti Jawa Barat RS yang dimaksud hanya ada di Bandung. Atas dasar itu guna memberi kemudahan, untuk mengambil obat, peserta berpenyakit kronis hanya cukup menyambangi penyedia fasilitas kesehatan tingkat dua atau primer yang terdekat. "Jadi diberikan kemudahan," ujarnya.
Selaras hal tersebut Fajri mengatakan BPJS Kesehatan sudah membayar kapitasi untuk penyedia pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas, klinik dan dokter keluarga. Sebagaimana Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes) dan Perpres No.111 Tahun 2013 tentang Perubahan Perpres Jamkes, kapitasi dibayar dimuka paling lambat tanggal 15. Kapitasi itu dibayar lewat cabang BPJS Kesehatan di berbagai daerah dan jumlahnya di setiap daerah berbeda-beda tergantung jumlah peserta. Sedangkan pembayaran untuk fasilitas kesehatan tingkat rujukan atau RS, dilakukan paling lambat 15 hari sejak dokumen klaim diterima lengkap.
Terkait tuntutan organisasi profesi agar tenaga medis diberikan insentif dalam besaran yang tetap, Fajri mengatakan hal itu masih dibahas pemerintah beserta pihak terkait. Pembahasan itu salah satunya menyinggung bagaimana pola pembayaran insentif dilakukan. Sebagaimana amanat Presiden SBY dalam rapat kabinet beberapa waktu lalu, hal tersebut harus dituangkan dalam regulasi. Peraturan itu ditargetkan dua pekan ke depan sudah ditetapkan.
Terpisah, koordinator advokasi BPJS Watch merangkap anggota Presidium KAJS, Timboel Siregar, mengatakan penetapan pemerintah terhadap kapitasi ke penyedia pelayanan kesehatan tergolong rendah. Pasalnya, pemerintah hanya mau menanggung iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp19.225 per orang setap bulan. Dengan besaran itu Timboel melihat kompensasi yang diberikan untuk tenaga medis seperti dokter, sangat kecil. Akibatnya, muncul protes di kalangan tenaga medis dan penyedia pelayanan kesehatan yang bermitra dengan BPJS Kesehatan.
Saking rendahnya kapitasi itu Timboel memantau peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang sekarang beralih menjadi BPJS Kesehatan terpaksa harus membeli obat sendiri. Baginya hal itu merugikan mantan peserta KJS. Persoalan itu semakin bertambah karena sampai sekarang regulasi tentang harga obat belum diketahui secara jelas. Menurutnya, dalam menetapkan harga obat, pemerintah tidak boleh memberatkan peserta. “BPJS Kesehatan juga harus meng-cover obat bagi peserta,” ujarnya. (www.hukumonline.com)
Fajri, menjelaskan hal itu merupakan salah satu hasil evaluasi terhadap pelayanan BPJS Kesehatan. Evaluasi yang melibatkan Kementerian Kesehatan, organisasi profesi medis dan BPJS Kesehatan itu sepakat untuk mengatur hal tersebut lewat regulasi. Rencananya peraturan itu akan berbentuk Surat Edaran Kemenkes. Berbagai penyakit kronis yang dicakup diantaranya Diabetes Mellitus, Hipertensi dan Jantung. Serta penyakit yang memakan biaya tinggi seperti Thalasemia dan Hemophilia. "Itu obatnya bisa diberikan otomatis selama satu bulan," katanya kepada wartawan dalam jumpa pers di kantor BPJS Kesehatan Jakarta, Rabu (15/1).
Pemberian obat bagi peserta berpenyakit kronis itu menurut Fajri dilakukan lewat dua cara. Yaitu peserta mengambil obatnya secara rutin ke Rumah Sakit (RS). Atau ke penyedia pelayanan kesehatan dasar seperti Puskesmas, Klinik dan dokter keluarga.
Oleh karenanya dengan diterbitkannya SE dari Kemenkes Fajri mengatakan peserta pengidap penyakit kronis akan dimudahkan dalam mendapatkan obat. Misalnya, selama ini obatnya ada di penyedia pelayanan tingkat tiga, sementara di satu provinsi seperti Jawa Barat RS yang dimaksud hanya ada di Bandung. Atas dasar itu guna memberi kemudahan, untuk mengambil obat, peserta berpenyakit kronis hanya cukup menyambangi penyedia fasilitas kesehatan tingkat dua atau primer yang terdekat. "Jadi diberikan kemudahan," ujarnya.
Selaras hal tersebut Fajri mengatakan BPJS Kesehatan sudah membayar kapitasi untuk penyedia pelayanan kesehatan primer seperti Puskesmas, klinik dan dokter keluarga. Sebagaimana Perpres No.12 Tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan (Jamkes) dan Perpres No.111 Tahun 2013 tentang Perubahan Perpres Jamkes, kapitasi dibayar dimuka paling lambat tanggal 15. Kapitasi itu dibayar lewat cabang BPJS Kesehatan di berbagai daerah dan jumlahnya di setiap daerah berbeda-beda tergantung jumlah peserta. Sedangkan pembayaran untuk fasilitas kesehatan tingkat rujukan atau RS, dilakukan paling lambat 15 hari sejak dokumen klaim diterima lengkap.
Terkait tuntutan organisasi profesi agar tenaga medis diberikan insentif dalam besaran yang tetap, Fajri mengatakan hal itu masih dibahas pemerintah beserta pihak terkait. Pembahasan itu salah satunya menyinggung bagaimana pola pembayaran insentif dilakukan. Sebagaimana amanat Presiden SBY dalam rapat kabinet beberapa waktu lalu, hal tersebut harus dituangkan dalam regulasi. Peraturan itu ditargetkan dua pekan ke depan sudah ditetapkan.
Terpisah, koordinator advokasi BPJS Watch merangkap anggota Presidium KAJS, Timboel Siregar, mengatakan penetapan pemerintah terhadap kapitasi ke penyedia pelayanan kesehatan tergolong rendah. Pasalnya, pemerintah hanya mau menanggung iuran peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebesar Rp19.225 per orang setap bulan. Dengan besaran itu Timboel melihat kompensasi yang diberikan untuk tenaga medis seperti dokter, sangat kecil. Akibatnya, muncul protes di kalangan tenaga medis dan penyedia pelayanan kesehatan yang bermitra dengan BPJS Kesehatan.
Saking rendahnya kapitasi itu Timboel memantau peserta Kartu Jakarta Sehat (KJS) yang sekarang beralih menjadi BPJS Kesehatan terpaksa harus membeli obat sendiri. Baginya hal itu merugikan mantan peserta KJS. Persoalan itu semakin bertambah karena sampai sekarang regulasi tentang harga obat belum diketahui secara jelas. Menurutnya, dalam menetapkan harga obat, pemerintah tidak boleh memberatkan peserta. “BPJS Kesehatan juga harus meng-cover obat bagi peserta,” ujarnya. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment