Monday, January 5, 2015

Konflik Kepentingan dan Kolusi Bayangi BPJS Ketenagakerjaan

Terkait dengan penyusunan rencana anggaran tahunan BPJS Ketenagakerjaan.

Konflik Kepentingan dan Kolusi Bayangi BPJS Ketenagakerjaan
Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja (tengah) diapit oleh Menaker, Hanif Dhakiri (kanan) dan Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G. Masassya (kiri) saat jumpa pers, Selasa (16/12). Foto: RES

Konflik kepentingan (conflict of interest) dan kolusi membayangi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS Ketenagakerjaan). Hal tersebut merupakan salah satu kesimpulan yang diperoleh KPK setelah melakukan kajian terhadap enam aspek di BPJS Ketenagakerjaan sejak Februari 2014. Keenam aspek tersebut meliputi regulasi, kelembagaan, kepesertaan, pelayanan, pembiayaan dan pengawasan.

Menurutnya, kajian ini penting untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Terlebih lagi, anggaran yang dikelola dalam BPJS Ketenagakerjaan sangat besar. Pada tahun 2013, PT Jamsostek memiliki total aset lebih dari Rp153 triliun dengan dana investasi hampir Rp150 triliun dan hasil perolehan investasi mencapai Rp15 triliun. Dana tersebut akan terus membesar, bahkan diproyeksikan akan mencapai Rp2 ribu triliun pada 2030.

"Pengelolaan dana yang begitu besar tentu harus dibarengi dengan instrumen pengawasan yang baik, kompetensi serta integritas yang tinggi untuk mencegah terjadinya korupsi," kata Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja di Jakarta, Selasa (16/12).

Dari hasil kajian yang dilakukan KPK, terdapat sejumlah potensi masalah yang ditemukan. Misalnya, pada aspek kelembagaan. KPK menemukan potensi terjadinya konflik kepentingan antara Dewan Pengawas dan Direksi BPJS Ketenagakerjaan. Hal ini berkaitan dengan persetujuan Dewan Pengawas terhadap rencana kerja anggaran tahunan yang disusun oleh Direksi. Potensi conflict of interest dan kolusi muncul lantaran gaji dan operasional Dewan Pengawas juga dibiayai dari anggaran Badan.

"Karena itu, KPK merekomendasikan kepada Direksi dan Dewan Pengawasan BPJS Ketenagakerjaan untuk membuat kebijakan agar melibatkan pihak eksternal dalam melakukan review rencana anggaran tahunan serta kepada pemerintah agar mengajukan revisi UU No. 24 Tahun 2011 tentang BPJS untuk menghilangkan potensi konflik kepentingan Dewan Pengawas dalam mengawasi Direksi BPJS Ketenagakerjaan," ujar Adnan.

Pada aspek regulasi, lanjut Adnan, terjadi ketidakadilan dalam pengenaan sanksi bagi pemberi kerja. Hal itu terlihat dari Pasal 55 UU BPJS yang menyatakan, ancaman pidana selama delapan tahun dan denda Rp1 miliar bagi pemberi kerja yang menunggak iuran. Padahal, bagi pemberi kerja yang tidak melaksanakan kewajiban untuk mendaftarkan dirinya dan pekerjanya dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan hanya akan mendapatkan sanksi administratif berupa tidak mendapatkan layanan publik.

Hal ini dilihat KPK tak memenuhi rasa keadilan sehingga tak mendorong para pemberi kerja yang belum mendaftar untuk mendaftarkan diri dan pekerjanya dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan. "Karena itu, KPK merekomendasikan agar pemerintah mengusulkan revisi UU BPJS kepada DPR terkait ketentuan sanksi pada pemberi kerja atau perusahaan dalam kewajiban mendaftar program jaminan sosial ketenagakerjaan," katanya.

Persoalan lain yang disorot KPK, lanjut Adnan, terkait dengan tidak terlaksananya jaminan sosial tenaga kerja bagi tenaga kerja Indonesia (TKI). Dalam Pasal 26 ayat (2) huruf e UU 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja, disebutkan bahwa syarat penempatan TKI salah satunya adalah mengikutsertakan dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan memiliki polis asuransi.

Hingga saat ini, hampir semua TKI menggunakan perlindungan dengan polis asuransi. Berdasarkan data dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dari seluruh konsorsium asuransi perlindungan TKI, jaminan yang didapatkan TKI hanya berupa perlindungan jiwa dan kerugian saja. Hal ini tak sesuai dengan penjelasan UU bahwa perlindungan asuransi yang dimaksud sedikitnya sama dengan program jaminan sosial ketenagakerjaan.

Atas dasar itu, KPK mendorong Kementerian Ketenagakerjaan untuk merevisi peraturan tentang pemberian asuransi perlindungan TKI yang sekurang-kurangnya sama dengan program jaminan sosial ketenagakerjaan yang diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, mengikutsertakan TKI dalam program BPJS Ketenagakerjaan sebagai perlindungan bagi TKI.

Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menyambut baik kajian yang dihasilkan KPK. Ia berjanji untuk melaksanakan seluruh rekomendasi KPK agar terciptanya tata kelola yang baik di BPJS Ketenagakerjaan. "Sejak menjabat dasarnya kami gelorakan perubahan tata kelola yang jadi tugas dan fungsi yang transparan agar mafaatnya semakin nyata," katanya.

Hanif mengucapkan terima kasih kepada KPK atas seluruh rekomendasi yang diberikan. Ia percaya, rekomendasi ini bisa menguatkan sistem sehingga kemungkinan penyalahgunaan kewenangan tak terjadi. "Tenaga kerja Indonesia apa yang disampaikan KPK, saya lebih dari sekadar setuju. TKI minimal sama, bahkan perlindungan lebih besar karena risiko lebih besar karena di negara lain," katanya.

Hal serupa juga diutarakan Dirut BPJS Ketenagakerjaan Elvyn G. Masassya. Ia berjanji, seluruh rekomendasi KPK tersebut akan ditindaklanjuti sehingga memberikan nilai positif bagi pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan ke depannya.  "Rekomendasi ini bisa segera ditindaklanjuti juga bisa direview apakah rekomendasi ini memberi manfaat dan nilai tambah," pungkasnya. (www.hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment