Alasannya, payung hukum yang mengatur JKN tumpang tindih sehingga praktik di lapangan menjadi amburadul.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Provinsi Jatim, dr Harsono membernarkan, bahwa persoalan BPJS tak kunjung reda disebabkan adanya perbedaan peraturan, khususnya antara Perpres No.12 tahun 2013 tentang Jaminan Kesehatan dengan Permenkes No.71 tahun 2013 tentang JKN.
Akibatnya, banyak peserta BPJS yang merasa dirugikan oleh pelayanan BPJS. Sementara pihak Rumah Sakit selaku pembeli layanan kesehatan juga tak mau merugi karena klaimnya tidak dibayar oleh BPJS. "Karena itu kami mendesak supaya dilakukan revisi baik Perpres maupun Permenkes yang mengatur tentang JKN," ujar Harsono usai rapat hearing dengan Komisi E DPRD Jatim, Rabu (3/6/2015).
Dia mencontohkan, dalam aturan Permenkes dinyatakan bahwa anak yang dilahirkan dari ibu penerima bantuan iuran dari pemerintah (BPJS) gratis hanya cukup didata saja. Sehingga, kalau anak tersebut sakit biayanya tidak ditanggung oleh BPJS.
"Penerima BPJS yang iurannya dibayari pemerintah itu kan orang miskin, masak ibunya ditanggung tapi anaknya tidak. Lantas mereka harus membayar uang dari mana?" dalih mantan Bupati Ngawi ini.
Ironisnya lagi, pihak rumah sakit selaku penyedia layanan kesehatan, dilarang menolak pasien. Namun kalau ditangani, klaimnya ditolak BPJS, karena tak masuk ketentuan yang sudah diatur. "Tentu pihak rumah sakit akan merugi karena tak dibayar. Untungnya di Jatim ada Jamkesda, sehingga pasien yang tidak tercover BPJS bisa dibiayai Jamkesda," imbuhnya.
Kasus lain yang banyak dilaporkan ke Dinkes Jatim adalah penghentian pelayanan kesehatan secara sepihak oleh rumah sakit karena pasien sudah melebihi batas limit biaya yang ditanggung BPJS. "Ini jelas tidak manusiawi, tapi kami tak segan menegur bahkan memberikan sanksi tegas pada rumah sakit yang melakukan tindakan seperti itu," tegas Harsono.
Diakui Harsono, keluhan tersebut sudah diutarakan kepada Komisi IX DPR RI saat kunjungan ke Jatim terkait evaluasi pelaksanaan BPJS. "Mudah-mudahan Komisi IX segera mendesak pemerintah pusat dan kementerian kesehatan unuk segera merevisi peraturan tentang JKN," imbuhnya.
Masih di tempat yang sama, wakil ketua Komisi E DPRD Jatim, Suli Daim mengatakan bahwa penyebab amburadulnya pelaksanaan BPJS adalah regulasi (peraturan) yang dibuat pemerintah tidak jelas, sehingga pelaksanaan di lapangan menjadi kacau. "Pemerintah masih setengah hati, masak antara Perpres dan Permenkes berbeda, sehingga peserta dan penyedia layanan kesehatan BPJS banyak dirugikan," jelas politisi asal F-PAN ini. (http://beritajatim.com)
No comments:
Post a Comment