Sebenarnya Abdul (sebut saja begitu) tidak sedang
kelebihan uang. Tapi, hatinya tersayat tatkala seorang kawannya bercerita
tentang tiga anaknya sedang sakit: satu anak dirawat di rumah sakit dan dua
anak lainnya cukup dirawat dengan obat warungan. Uang di tangan yang
direncanakan buat menggenapi bayar uang kuliah anaknya kemudian dia berikan
buat berobat anak-anak si kawan. Tanpa pikir panjang, ikhlas saja.
Sebulan berlalu, tiba saatnya Abdul harus melunasi
uang kuliah anaknya. Di tangannya cuma ada beberapa lembar ratusan ribu rupiah yang
tidak cukup untuk membayar lunas uang kuliah anaknya. Dalam kebingungan karena
batas waktu pelunasan yang tinggal satu hari, tiba-tiba ponsel di sakunya
berdering. “Assalamualaikum, benar ini Mas Abdul? Apa kabar?” ujar seorang kenalan
lama dari seberang ponsel.
“Ya, benar. Alhamdulillah sehat dan baik.
Bagaimana dengan kawan?” Abdul menjawab sekaligus bertanya balik.
“Alhamdulillah juga sehat. Kawan, saya bau bagi
rezeqi. Nggak banyak, sekitar satu
juta rupiah buat anakmu, berapa nomor rekeningmu?” jawab kenalan lama.
Abdul sedikit terbengong dan berucap pelan, “Baik,
saya nggak punya rekening, langsung saja ke rekening anakku.”
Abdul benar-benar bingung, mengapa tiba-tiba
seorang kenalan lama yang entah telah berapa tahun tidak bertemu memberinya
uang dalam jumlah yang tepat ia butuhkan buat melunasi uang kuliah anaknya.
Rasanya ia tidak pernah meminjami uang sebegitu besar kepada kenalan atau
siapapun. Dia berprinsip tidak mau meminjami uang kepada siapapun –termasuk
saudara-saudara kandungnya sendiri. Bila ada sedikit uang, ia lebih suka
memberikan daripada meminjami.
Dengan prinsip senantiasa memberikan apa yang ada
di genggaman tangannya kepada orang lain yang lebih membutuhkan itu Abdul
nyaris tidak pernah kesulitan dalam memenuhi kebutuhannya. Kata orang Jawa,
Abdul itu sugih tanpo bondho (kaya
tanpa harta).
Abdul menyelami betul petuah Rasulullah Muhammad
saw yang melukiskan bahwa manusia selalu berkata: “Hartaku, hartaku.” Padahal,
hanya tiga macam dari harta bendanya yang khusus bagi dirinya, yakni apa yang sudah
dimakannya kemudian hancur dan larut, apa yang sudah dipakainya kemudian usang
dan rusak, dan apa yang diberikannya (berupa sedekah, derma wakaf, zakat, dan
sejenisnya) yang kemudian itulah yang menyenangkan hatinya. Selain itu semua
akan hilang dan ditinggalkannya bagi yang lain.
Abdul selalu berusaha ikhlas dalam memegang
prinsipnya senantiasa memberikan atau berbagi dengan orang lain. Lekat dalam
benaknya sehari-hari bahwa Abu Hurairah ra berkata Rasulullah saw bersabda:
“Apabila salah seorang di antara kalian menjalankan agamanya dengan baik maka
setiap kebaikan yang ia lakukan dicatat sepuluh kali lipat hingga tujuh ratus
kali lipat, dan setiap amal keburukan yang dilakukan hanya dicatat semisalnya
(dihitung satu).” (HR Bukhari-Muslim)
Abdul meyakini bahwa pemberian yang telah kita
lakukan, baik berbentuk zakat, infak, sedekah maupun hadiah, benar-benar bisa
ampuh membuka kran rejeki kita. Kran rejeki kita akan terbuka karena pemberian
yang efektif mengaktifkan "hukum imbalan sepuluh kali lipat" atau
"the law of ten-fold return"
sebagaimana hadist Rasulullah tadi. Uang sedikit yang kita berikan, kembali ke
kita berlipat ganda menjadi sumber rejeki baru.
Mari mulai hari ini juga kita menerapkan prinsip
hidup memberi sebelum menerima.
Mulailah dari sesuatu yang Anda merasa nyaman
melepaskannya dari hidup Anda. Keikhlasan dan rasa syukur akan penjagaan dan
karunia Allah lah yang harusnya menjadi motivasi memberi agar bisa efektif.
Mari kita berlatih dengan jumlah yang kita mampu dulu.
Jika kita sudah terbiasa memberi dan ingin merasakan kesuksesan yang lebih besar lagi, maka kita bisa sedikit demi sedikit mulai menambah jumlah pemberian kita. Karena, langkah memberi ini pada gilirannya akan meningkatkan penerimaan dan secara berantai memperbaiki kondisi perekonomian kita.
No comments:
Post a Comment