Di dalam rumah tangga banyak
sekali kekerasan sebagai alat orang tua guna mendisiplinkan anak-anaknya.
Padahal, kedisiplinan itu bukan hanya bagian bagaimana kesiapan fisik. Tapi,
juga kemampuan melakukan pengendalian (self control). Apalah artinya anak-anak bersikap patuh
di hadapan orang tua, namun di belakangnya mencuri, membohongi, atau melakukan
penyimpangan
Erlangga
Masdiana, kriminolog
Kupang, 1970-an.
Di penghujung 1960-an, tepatnya tahun 1969, dengan landasan Surat Keputusan
Gubernur Kepala Daerah Tingkat I Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) Nomor 17
Tahun 1969 tanggal 12 Mei 1969, lahirlah sebuah wilayah kecamatan yang diberi
nama Kecamatan Kota Kupang. Sebuah wilayah kecamatan yang ketika itu menjadi
bagian dari wilayah Kabupaten Kupang yang terlebih lahir (1958).
Sepanjang
dekade 1970-an, Kecamatan Kota Kupang mengalami perkembangan yang cukup pesat
dari tahun ke tahun. Kemudian pada tahun 1978 status Kecamatan Kota Kupang
ditingkatkan menjadi Kota Administratif (Kotif) berdasarkan Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 22 Tahun 1978, yang peresmiannya dilakukan pada tanggal
18 September 1978. Pada waktu itu Drs. Mesakh Amalo dilantik menjadi Walikota
Administratif yang pertama dan kemudian diganti oleh Letkol Inf. Semuel
Kristian Lerik pada tanggal 26 Mei 1986 sampai dengan perubahan status menjadi
Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang.
Perkembangan
Kota Administratif Kupang sangat pesat selama 18 tahun, baik di bidang fisik
maupun non fisik. Rakyat Kupang pun ingin status kotanya meningkat lagi,
menjadi Kotamadya. Dengan dukungan penuh rakyat, Pemerintah Kota Admnistratif
Kupang mengusulkan perubahan dan peningkatan status tersebut. Setelah melalui
sejumlah persidangan dan pemantauan aspirasi, pada 20 Maret 1996, DPR RI
menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat
II Kupang disahkan menjadi Undang-Undang. Dan Presiden Republik Indonesia lalu
mengesahkan UU Nomor 5 Tahun 1996 tentang Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat
II Kupang sebagaimana tertuang pada Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3632 Tahun 1996. Pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang diresmikan oleh
Mendagri Mohammad Yogi Suardi Memed pada tanggal 25 April 1996. Dengan
diberlakukannya UU Nomor 22 Tahun 1999, maka Kotamadya Daerah Tingkat II Kupang
berubah menjadi Kota Kupang.
Kota
Kupang yang multi-etnis –di dalamnya terdapat suku Timor,
Rote, Sabu, Flores, sebagian kecil Tionghoa, pendatang dari Ambon dan beberapa
suku lain-- itu sepanjang 1970-an memang dapat dikatakan lumayan pesat
perkembangannya. Warna masyarakat multi-etnis menandakan Kota Kupang cukup menarik
minat bagi banyak orang. Jumlah penduduk pun terus bertambah. Tak pelak, wilayah
kota semakin mekar dan tumbuh.
Perkembangan
dan pertumbuhan Kota Kupang di antara tampak dari Pelabuhan Kupang yang pada
dasawarsa 1970-an sudah mampu melayani kapal-kapal barang maupun penumpang. Di
masa itu dermaga pelabuhan ini sering melayani kapal penumpang menuju Pante
Makasar, Ruteng, Baa, Dili, Kalabahi dan lain-lain. Kemudian Pelabuhan Udara
Penfui (sekarang dikenal sebagai Bandara El Tari) di pertengahan 1970-an ditingkatkan
dari Pelabuhan Udara kelas III menjadi Pelabuhan Udara Sipil Kelas II untuk
menampung arus lalu-lintas penumpang dan barang yang terus meningkat dari waktu
ke waktu.
Dari
sisi transportasi darat terlihat pula denyut kota yang terus berderak dan
berdetak. Sistem transportasi darat Kota Kupang mulai dilayani oleh minibus
angkutan kota yang biasa disebut bemo. Ada pula layanan taksi dan beberapa rute
dilayani oleh bus kota. Sebagian besar rute dalam kota dilayani oleh bemo yang
menghubungkan beberapa terminal seperti Terminal Kupang, Terminal Oepura dan
Terminal Oebobo. Untuk keberangkatan jalan darat ke luar kota dilayani di
Terminal Oebobo.
Khusus
untuk angkutan bemo, memiliki ciri khas tersendiri. Rute setiap bemo ditandai
oleh warna dan angka yang terdapat pada bagian atas depan bemo. Aksesoris bemo
yang sangat banyak ditambah dengan dentuman musik yang sangat keras. Selain itu
terdapat juga jasa layanan transportasi roda dua yang lebih dikenal dengan ojek
yang banyak dijumpai di setiap sudut Kota Kupang.
Melalui
jalan darat pula dilayani bus antar-kota dalam provinsi ke SoE, Kefa dan
Atambua, serta antar-negara, yakni ke Dili, Timor Leste. Bus ini disediakan
oleh berbagai penyedia layanan termasuk DAMRI. Layanan imigrasi Indonesia-Timor
Leste dilaksanakan di Tasifeto Timur-Batugade.
A. Menghimpun Anak Jalanan Membentuk
Geng Scorpion
Sebagaimana
umumnya kehidupan kota-kota yang tengah dan terus menggeliat, Kota Kupang pun
tidak terhindar dari problematika sosial perkotaan antara lain kehadiran anak
jalanan, pengemis dan –kadang—gelandangan. Apalagi banyak warga kota yang hanya
hidup pas-pasan dengan tanggung anak yang acap kelewat banyak. Seperti yang
dihadapi pasangan suami-isteri John Haning – Elizabeth, kedua orang tua Semuel
Haning.
John
Haning yang pegawai rendahan di Dinas Peternakan Pemerintah Provinsi NTT terasa
sulit mesti menghidupi 10 orang anak. Untuk menambah penghasilan, di luar
waktu-waktu dinas, John menjadi sopir oto di Kota Kupang. Dunia angkutan umum
(kota) yang serba keras dapat dikatakan berpengaruh terhadap karakter dan
keseharian John Haning dalam mendidik dan memperlakukan anak-anaknya.
Semuel
Haning yang mulai beranjak remaja pun tumbuh dalam tradisi dan kultur pada
dunia yang serba keras. Dimulai dari memasuki hobi olah raga yang mengendalkan
kekerasan otot, antara lain tinju dan karate. Ditambah lagi, di luar pengawasan
kedua orang-tuanya, Semuel ‘lari’ dari rumahnya lalu berkelana di jalan-jalan
utama Kota Kupang. Dari terminal ke terminal, dari satu klub ke klub yang lain.
Kata
Semuel mengenang masa silamnya, “Saya menyukai olah raga keras seperti tinju
dan karate. Selain karena lingkungan pergaulan, juga tidak terlepas dari
didikan orang tua yang demikian keras. Lingkungan pergaulan dan lingkungan
sekolah memberi kesempatan saya untuk menekuni olah raga yang mengandalkan
otot. Terlebih lagi di pertengahan 1970-an itu saya sudah sering hidup
sehari-hari di jalanan, tentu saja --minimal— harus membekali diri dengan ilmu
beladiri.”
Sejak
pertengahan 1970-an, Semuel Haning menghabiskan malam-malamnya di keremangan
jalanan utama Kota Kupang. “Ini sudah saya lakoni sejak usia kelas 1 SMP di
Kupang, menjelang akhir 1970-an. Ayah saya sangat keras dalam mendidik
anak-anaknya. Kalau mereka sudah tidur, saya baru keluar ke dunia malam. Saya
memang kepala batu dan termasuk anak nakal. Saya akui, ayah saya mendidik
secara keras memang untuk kebaikan kami anak-anaknya. Efeknya, saya kerap
berontak seperti keluar malam setelah mereka tidur,” papar lelaki kelahiran
Kota Kupang tahun 1964 ini.
Lantas,
mulai pertengahan 1970-an itu pula, anak ketiga dari 10 bersaudara ini mengenal
teman-teman sebaya yang ‘hidup’ di jalanan Ibukota Provinsi NTT tersebut. Mula-mula
satu, dua, tiga, seterusnya sampai mencapai puluhan anak-anak yang sama-sama
menapak usia remaja. Sudah menjadi kodrat manusia sebagai makhluk sosial, mereka
menjadi saling tergantung dan mengelompok. Saban malam pun mereka
kongkow-kongkow bersama di sudut-sudut Kota Kupang.
Sampailah
pada suatu ketika, Semuel mengajak teman-teman sebaya untuk membentuk kelompok
atau istilah lainnya: geng. Geng yang beranggotakan anak-anak muda jalanan Kota
Kupang. Soal aktivitas yang akan mereka positi ataukah negatif, itu urusan
nanti. Yang penting membentuk geng dulu, geng anak-anak senasib, geng anak-anak
satu kebiasaan.
Di
dekade 1970-an, di mana hitam-putihnya jalannya pemerintan di tangan rezim Orde
Baru, banyak muncul geng anak muda –terutama mereka yang berasal dari barak
militer di Ibukota Jakarta. Geng di Jakarta yang paling ditakuti adalah mereka
yang berada di barak militer ini. Mereka dikenal sangat kuat, paling kompak dan
paling dikenal suka tawuran, belum lagi dengan menggunakan senjata dan mobil
yang dimiliki oleh orang tua mereka yang tentara.
Terlepas
dari sepak terjang mereka yang cenderung negatif, satu hal menarik adalah ihwal
penamaan geng. Sekadar contoh adalah Geng Berlan, sekelompok anak muda yang
ayahnya adalah tentara KNIL berpangkat rendah, mereka berkumpul di kawasan
Matraman, Jakarta Timur, yang dikenal dengan Barenlaan. Daerah ini melahirkan sekelompok anak muda yang disebut
dengan “Bearland Boys” atau disebut pula “Berland Boys”. Hal serupa juga
terjadi pada anak-anak dari tentara berpangkat menengah yang tinggal di asrama
Jalan Siliwangi dekat dengan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat. Mereka menamakan
dirinya sebagai “Siliwangi Boys Complex”. Lalu di Kebayoran Baru, Jakarta
Selatan, terdapat geng yang menamakan diri “Radio Dalam Club” (RDC) yang
merupakan geng berbasis di kawasan kompleks angkatan laut.
Kemudian,
masih di kawasan elit Kebayoran Baru juga ada geng sendiri yang disebut dengan
“Legos” (Lelaku Goyang Senggol). Anggota “Legos” secara terbuka melibatkan
dirinya ke dalam dunia politik praktis. Anggotanya, termasuk Mangara Siahaan,
yang kemudian dikenal sebagai seorang politisi senior PDI-P di bawah
kepemimpinan Megawati. Pada tahun 1970-an dan 1980-an, dia menjadi seorang
aktor film yang mumpuni, dengan berperan sebagai seorang bandit dan gangster di
beberapa film. Menurut Loren Ryter (Pengajar dan Peneliti di Centre for
Southeast Asian Studies, Universitas Michigan) dalam tulisannya yang berjudul Jago, Preman & Negara, Yulius Usman,
yang kemudian dikenal menjadi salah satu pengurus partai politik PUDI --sebuah
partai kecil di akhir periode Orde Baru – juga bergabung dengan para anggota
Legos di kawasan Blok M, Kebayoran Baru. Meskipun, jelas Loren Ryter, Yulius
Usman sempat menolak bahwa dia pernah menjadi anggota aktif di dalamnya.
Masih
dalam paparan Loren Ryter, anggota “Legos” yang lain adalah, Leo Tomasoa, yang
menjadi salah satu tangan kanan komando operasi Ali Moertopo, dan kemudian
menjadi politisi Golkar.
Di
masa awal sampai akhir 1970-an itu, geng yang paling ditakuti di Jakarta adalah
“Siliwangi Boys Complex”, yang bermarkas di kompleks Siliwangi, Jakarta Pusat. Jelas
Loren Ryter, bahwa geng ini menjadi spesial karena dipimpin oleh seorang Yapto
Soerjosoemarno, yang kemudian menjadi seorang pemimpin Pemuda Pancasila (PP),
sebuah posisi yang digenggamnya lebih dari dua kali. Semua anggotanya merokok
Dji Sam Soe, yang berlambang 2-3-4, lalu geng ini dikenal pula sebagai geng
234-SC. Mereka sangat antusias terhadap gelombang komunikasi radio dimana
masing-masing anggotanya mempunyai gelombang radio (handie talkie). Geng ini kemudian dienyahkan oleh Try Sutrisno yang
pada waktu itu memang tidak suka dengan geng-geng berlindung di ketiak tentara.
Kembali
ke kisah perjalanan hidup seorang Semuel Haning yang mulai menghimpun anak-anak
jalanan Kota Kupang. Aksinya memang tidak sekuat geng-geng yang cukup menakit
di Ibukota Jakarta. Aksinya tidak seangker Geng 234-SC pimpinan Yapto atau Geng
Legos yang melahirkan sosok Mangara Siahaan. Satu hal yang menginspirasi adalah
nama-nama yang muncul di balik geng, nama yang seolah asal memberi nama.
Di
benak kemudian Semuel muncul sebuah ide penamaan geng anak-anak jalanan Kota
Kupang yang telah dihimpunnya. Dia mencetuskan sebuah nama Scorpion alias kalajengking. Scorpion dikenal sebagai sebuah grup
musik cadas yang cukup populer di masa itu.
Mengapa
Semuel memilih nama Scorpion atau Kalajengking? “Kalau kita lihat scorpion itu
kan begitu menggigit orang jadi sakit. Scorpion ini satu lambang yang
benar-benar mengayomi dan lambang filosofi bahwa saat sesuatu menyerang kita ya
balas kita serang balik. Pada prinsipnya kita tenang, begitu ada yang menyerang
kita, kita siap serang balik. Dan pada prinsipnya kita membela kebenaran. Jaga
diri dengan cara menggigit. Naluri menggigit dari scorpion ini yang menjadi
filosofi,” jelas Semuel ihwal penamaan geng bentukannya dengan tajuk Scorpion.
Lanjutnya,
“Saya yang punya ide. Waktu kita senang hal yang menyengat dan mengingatkan.
Geng ini anggotanya ratusan anak muda. Mereka terdiri dari berbagai komunitas
pemuda, terutama komunitas olah raga yang mengandalkan kekuatan otot. Ada
aliran tinju, aliran bela diri, pokoknya macam-macam. Anggota itu sampai 275 orang.”
Kendati
mengandalkan naluri menggigit, Semuel tak ingin Geng Scorpion yang dipimpinnya
asal gigit. Dia tidak ingin asal gigit seperti kalajengking dalam kisah Kalajengking & Kura-kura.
Alkisah.
Pada suatu hari, karena tak mampu berenang, seekor kalajengking meminta seekor
kura-kura agar memberinya tumpangan di punggung untuk menyeberangi sungai. "Apa
kamu gila?" teriak kura-kura sambil meneruskan kalimatnya, "Kamu akan
menyengatku pada saat aku berenang dan aku akan tenggelam."
Kalejengking
tertawa sambil manjawab, "Kura-kura yang baik hati, jika aku menyengatmu,
kamu akan tenggelam dan aku juga akan ikut tenggelam bersamamu. Kalau begitu,
apa gunanya? Aku tidak akan menyengatmu karena ini berarti kematianku sendiri."
Beberapa
saat kura-kura itu berpikir tentang logika jawaban sang kalajengking. Kemudian
si kura-kura berkata, "Kamu benar... naiklah!"
Kalajengking
itu lalu naik ke punggung kura-kura tadi. Namun, baru setengah jalan, sang
kalajengking menyengat kura-kura itu dengan sengit. Kura-kura yang kesakitan
dan sekarat mulai perlahan-lahan tenggelam menuju dasar sungai bersama dengan
kalajengking di atas punggungnya. Si kura-kura mengerang pedih, "Kamu kan
sudah berjanji, tapi sekarang kamu menggigitku! Mengapa? Sekarang kita
sama-sama celaka."
Sang
kalajengking yang ikut tenggelam itu menjawab, "Aku tidak dapat menahan
diri. Memang sudah tabiatku untuk menyengat."
Secara
psikologis, dalam kisah Kalajengking
& Kura-kura itu bahwa kalajengking melukiskan bagaimana setiap makhluk hidup
memiliki kekuatan. Sengatan adalah kekuatan alami kalajengking. Walaupun ada
upaya membatasi, kekuatan tak akan hilang begitu saja. Kekuatan itu akan
mencari jalan untuk menampilkan diri. Sebuah kekuatan alami akan mencari
jalannya sendiri.
Semuel
Haning tidak ingin anak-anak muda Geng Scorpion menjadi kalajengking yang tak
tahu diuntung ketika diberi tumpangan oleh kura-kura untuk menyeberangi sungai.
Dia ingin anak-anak muda Geng Scorpion tampil sebagai makhluk yang mampu
menampilkan kekuatan alami dengan jalannya sendiri. Jalan itu adalah penuh
kasih seperti seorang pendeta Budha dari India yang menolong kalajengking yang
akan tenggelam di kolam.
Syahdan.
Seorang pendeta Budha dari India melihat seekor kalajengking mengambang
berputar-putar di sebuah kolam. Lalu dia memutuskan untuk menolong kalajengking
itu keluar dengan mengulurkan jarinya, tapi kalajengking itu justru menyengatnya.
Pendeta itu masih tetap berusaha mengeluarkan kalajengking tersebut keluar dari
air, namun binatang itu lagi-lagi menyengat dia.
Seorang
pejalan kaki yang melihat kejadian itu mendekat dan melarang pendeta Budha itu
menyelamatkan kalajengking yang terus saja menyengat orang yang mencoba
menyelamatkannya. Pendeta Budha India itu berkata, "Secara alamiah
kalajengking itu menyengat. Secara alamiah saya ini mengasihi. Mengapa saya
harus melepaskan naluri alamiah saya untuk mengasihi gara-gara kalajengking itu
secara alamiah menyengat saya? Jangan berhenti mengasihi, jangan menghentikan
kebaikan Anda. Bahkan sekalipun ketika orang-orang lain menyengat Anda."
Ya,
walau memakai nama Scorpion, Semuel menekankan bahwa anggota gengnya adalah
manusia yang dikarunia rasa kasih, kasih kepada sesama manusia, kasih pada
sesama makhluk di muka bumi. “Pada prinsipnya kita tenang, begitu ada yang
menyerang kita, kita siap serang balik. Dan pada prinsipnya kita membela
kebenaran dengan penuh kasih,” ujar lelaki yang di masa-masa 1970-an itu akrab
dengan sopir-sopir angkot Kota Kupang.
B. Jejak-jejak Geng Scorpion di Kota
Kupang
Dengan
mengusung nama Geng Scorpion, Semuel dan kawan-kawan lantas malang-melintang di
keremangan malam dan jalanan Kota Kupang. Satu etika yang tetap dipegang teguh
Semuel dan kawan-kawan adalah menjaga diri jangan sampai ‘menumpahkan darah’
orang-orang yang tidak bersalah. Pendek kata, meski aksinya kerap mengundang
ketakutan warga terhadap kejahatan (fear
of crime) namun Semuel and the gang
berusaha bertindak sopan dan santun pada siapa saja yang mereka jumpai di
jalanan.
Semuel
tidak menampik kalau anggota gengnya mau tak mau terjebur ke dalam aktivitas
yang menumbuhkan fear of crime di
benak khalayak Kota Kupang. “Soal memalak, saya katakan yang wajar-wajar saja.
Misalkan kalau ada angkot lewat, tolong dulu recehan Rp100 – Rp200 atau Rp1.000
sampai Rp2.000. Dulu, uang segitu kan sudah besar nilainya. Untuk apa uang itu?
Ya, untuk minum-minum dan mabuk di jalanan. Pada tahun 1970-an sampai 1980-an,
kalau rombongan kami lewat jalan-jalan menuju pesisir untuk makan, biasanya
kami tidak bayar alias gratis-gratis saja. Mulai dari Jalan Sudirman sampai
beberapa jalan protokol lainnya yang kami lewati, hampir semua warung tahu
diri. Mereka sudah tahu karakter kami,” papar Semuel Haning penuh kenangan.
Semuel and the gang
lalu menguasai urusan kutip-mengutip orang timer angkot di terminal angkutan
umum. Dari sana lah Semuel dan kawan-kawan memobilisasi dana buat kelangsungan
geng dan terus membesarkan pengaruhnya di jagat premanisme di Kota yang lahir
pada 23 april 1886 tersebut. Tidak hanya premanisme di terminal angkot, sepak
terjang Geng Scorpion merambah pula ke warung-warung kuliner di seputaran Kota
Kupang sampai Pantai Lasiana.
Pantai
Lasiana merupakan destinasi wisata yang mulai dibuka untuk umum sekitar tahun
1970-an. Dan sejak Dinas Pariwisata Provinsi NTT memoles dengan membangun
berbagai fasilitas pada tahun 1986, Pantai Lasiana ramai dikunjungi turis asing
dan uris lokal. Sesuai rencana pengembangan Pemkot Kupang, Pantai Lasiana
dijadikan Taman Budaya Flobamora, yakni sebutan yang mengacu pada keseluruhan
suku bangsa di dekat Pantai Lasiana, antara lain, Flores, Sumba, Timor dan
Alor. Di pantai ini banyak didapati lopo-lopo yang berderet. Lopo-lopo adalah
sebutan lokal untuk pondok yang dibangun menyerupai payung dengan tiang dari batang
pohon kelapa atau kayu dan beratapkan ijuk, pelepah kelapa atau lontar, dan
alang-alang. Bisa juga beratapkan seng yang bagian luarnya dilapisi ijuk,
pelepah kelapa atau lontar dan alang-alang. Dari lopo-lopo ini banyak muncul
warung kuliner dan sejenisnya. Inilah yang juga tidak terlepas dari jamahan
aksi yang kurang terpuji dari Geng Scorpion.
Dengan
cara memalak para sopir angkot dan pemilik warung kuliner seperti itu, Semuel and the gang dapat makan enak dan
mabuk-mabukan. Sesuatu yang mustahil mereka peroleh dalam keseharian di rumah. “Kebanyakan
dari anggota geng kami ini adalah orang-orang susah, orang tua mereka hanya
pegawai rendahan atau sopir angkot yang sudah barang tentu tidak memungkinkan
untuk hidup dengan makan enak,” lanjut Semuel.
Sebagaimana
dunia preman jalanan pada umumnya, kehadiran Semuel dan Geng Scorpio tidak
terlepas dari benturan dan tawuran. Bahkan, kerapkali harus berbenturan dengan
aparatur penegak hukum. Tawuran dengan geng lain yang juga muncul di Kota
Kupang acap tidak terelakkan. Namun, terang Semuel, tawuran atau konflik
antar-geng di Kupang di masa itu tidak sampai memakan korban jiwa pada
pihak-pihak yang terlibat.
C. Romantika Preman Jalanan
Di
mana saja, aksi-aksi premanisme jalanan seringkali menampilkan dua wajah:
menakut-nakuti warga dan memberi perlindungan pada kelompok tertentu yang
membutuhkan perlindungan a la preman.
Pun demikian yang dialami oleh Geng Scorpion di bawah kepemimpinan Semuel
Haning di jalanan Kota Kupang. Cerita tentang Geng Scorpion ditakuti warga
sudah umum melanda warga Kota Kupang di penghujung 1970-an, sepanjang 1980-an
dan awal 1990-an. Geng ini seperti menjadi momok tersendiri bagi warga Ibukota
Provinsi NTT itu.
“Pada
prinsipnya kami tidak melakukan tindakan-tindakan yang menumpahkan darah orang
yang tidak bersalah. Walaupun kadang tidak bisa dihindari, orang tidak bersalah
kami tumpahkan darahnya. Itu tidak terlepas dari keegoisan kami ketika itu.
Kami harus akui, kami memang tidak segan-segan melakukan tindakan yang tidak
manusiawi,” jelas Semuel Haning.
Karakteristik
pelaku kekerasan di jalanan, seperti keberadaan geng di perkotaan, telah jelas.
Para kriminal jalanan in rerata tidak memiliki kekuatan politis, ekonomi dan
hukum, maka dalam merefleksikan sikap individualnya yang peling rendah adalah
dengan ancaman kekerasan secara fisik. Pun demikian kelompok-kelompok yang
berasal dari strata sosial bawah. Puncak kekelaman ekspresi ego kelompok juga
diwujudkan dalam bentuk kekerasan yang bentuk optimalnya adalah kekerasan
kolektif. Wujud kekerasan ini bermacam-macam, mulai dari menyulut tawuran
antar-kelompok, mengeroyok beramai-ramai kelompok lain, sampai kekerasan
kolektif yang sulit didamaikan.
Pada
sisi yang lain, geng atau kelompok kriminal terkadang menjadi sesuatu yang
dibutuhkan oleh kalangan tertentu. Sisi inilah yang ditangkap oleh Semuel
Haning selaku pimpinan Geng Scorpion. Sam
and the geng merasa ada kelompok tertentu yang membutuhkan kehadirannya.
“Sebagai
kelompok yang disegani dan ditakuti, kami biasa menjadi ‘bumper’ anak-anak sekolah yang orang-tuanya kaya raya. Artinya,
kami menjadi sekuriti yang mengamankan mereka dari berbagai ancaman, terutama
kemungkinan ancaman pelajar dari sekolah lain,” papar Semuel Haning.
Dari
jasa menjadi bumper anak-anak orang
kaya, Semuel Haning dan kawan-kawan dapat menikmati berbagai fasilitas yang
biasanya cuma dinikmati oleh anak-anak orang kaya. Sekadar contoh makan di
cafe-cafe yang cukup sohor di Kota Kupang.
Dalam
perjalanan selanjutnya, Semuel menyadari bahwa dirinya tidak bisa selamanya
berkubang dalam dunia hitam preman jalanan. Dia tetap harus melanjutkan
sekolah. Di masa-masa jayanya memimpin Geng Scorpion, Semuel tidak lupa sekolah
dan menjalin hubungan dengan orang-orang yang sekiranya mampu dijadikan batu
loncatan keluar dari lembah hitam preman jalanan.
Pada
sela-sela aktivitas kepremanan, Semuel juga belajar otodidak menyetir mobil.
Diam-diam dia berteman dengan sopir dan kondektur angkutan kota di Kota Kupang.
Dia sempat menjadi kondektur Oto Lampu Satu yang melayani rute Oepura, Jalan
Jenderal Sudirman, Jalan Soeharto dan Terminal Kupang. Bahkan, dia sempat
belajar menyetir dan keterampilannya menyetir ini menjadi modal ketika dirinya
memasuki dunia kerja yang sah.
Semuel
merasa menikmati benar romantika dunia preman jalanan di berbagai sudut Kota
Kupang. Ada kalangan harus berlaku keras mendekati tidak manusiawi, ada kalanya
penuh kasih menjadi bumper anak-anak
orang kaya, dan ada saatnya menampah bekal keterampilan agar tidak tersesat
manakala memansuki dunia kerja yang legal.
Dia
menyadari benar suatu waktu kehadiran preman pasti akan memantik aparatur
penegak hukum untuk bergerak. Dan, benar, di awal sampai pertangahan dekade
1980-an, muncul aksi penembak misterius (Petrus) yang menyasar kalangan Geng
Anak Liar (Gali) dan preman-preman jalanan –terutama di kota-kota besar di
Jawa. ***
No comments:
Post a Comment