Berusahalah untuk tidak menjadi
manusia yang berhasil tapi berupayalah menjadi manusia yang berguna.
Albert
Einstein, penerima Nobel Fisika tahun 1921
Kehidupan
memang penuh dengan perjuangan untuk mencapai suatu cita-cita, angan dan asa. Sampai-sampai
terkadang kita menjadi manusia yang rakus harta, kita menjaga harta bagai
harimau menjaga santapan di kala kelaparan. Apalagi bila si anak manusia itu semula
hidup dalam kepapaan.
Dalam
kepapan, acapkali si anak manusia menjadi beringas, menjadi serigala bagi
manusia yang lain. Dalam keserba-kekurangan, banyak orang menjadi liar dan
sampai-sampai berkubang dalam perilaku serba boleh (permisif). Serba boleh
memalak, serba boleh mengutip, serba boleh menumpahkan darah.
Barangkali
inilah sepenggal episode perjalanan kehidupan si anak manusia bernama Semuel
Haning yang akrab disapa Sam. Lahir dengan 10 bersaudara dari pasangan John
Haning – Elizabeth di Ibukota Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), Kupang, bukanlah
perkara mudah buat menjalani kehidupan yang layak. Terlebih sang ayah John
Haning cuma seorang sopir yang pegawai kecil-kecilan di Dinas Peternakan
Provinsi NTT. Terbayang betapa sukar kehidupan keluarga besar ini.
Lantaran
kesulitan dalam kepapaan itulah, Semuel Haning sempat terperosok ke jalanan lembah
hitam dan dunia gemerlap malam nan kelam. Bersama Geng Scorpion, Sam sempat
malang-melintang di jalanan utama Kota Kupang –ditakuti banyak orang, dijadikan
bumper anak-anak orang kaya, dan dekat
dengan dunia yang menyimpang. Sam memasuki dunia yang serba boleh karena takut
tidak bisa hidup sebagaimana layaknya kehidupan anak pada umumnya. Dia takut
berkubang dalam rantai kemiskinan dan serba kekurangan dalam memenuhi kebutuhan
pokok sehari-hari.
Padahal,
kehidupan bagaikan air sumur, air sumur kehidupan, di mana setiap orang sudah
mempunyai sumur masing-masing, di mana besar sumur setiap orang sudah barang
tentu berbeda-beda, dan bahkan besar mata airnya pun pasti tidak sama --ada
yang cuma berupa rembesan dan ada pula yang memancar deras. Kita paham bahwa setiap
sumur mempunyai level tertentu, dia mempunyai batas tertinggi dan batas
terendah. Hal ini akan silih berganti di antara musim hujan dan musim kemarau.
Air
sumur bilamana hanya dipakai oleh satu orang, airnya tidak akan meluber sampai
ke atas. Dan apabila dipakai oleh satu kampung, barangkali dia memang akan
menurun namun pada pagi harinya sumur telah kembali seperti semula, bagaikan
tidak pernah dipakai. Pun demikian dengan air kehidupan, jikalau kita memakai
sendiri kekayaan kita akan tetap segitu, tidak akan mungkin sampai meluber,
kecuali yang mempunyai sumber air kehidupan melimpah, yang sudah pasti mengalir
seperti sungai, di mana darma sosialnya mengalir ke mana-mana tanpa terbendung.
Sam
menyadari air sumur kehidupannya di jalanan dan dunia malam memang mengalir
tapi sulit mengalir bagai sungai yang amat berguna dan bermanfaat bagi banyak
orang. Dia hendak mengubah sumurnya menjadi sumur kehidupan yang mengalir pada
sungai yang jernih yang bermanfaat bagi khalayak, bukan sungai dengan air keruh
yang dibenci dan disumpahi banyak orang.
A. Petrus yang Membuka Hati
Kehidupan
jalanan dan dunia gemerlap malam jelas penuh risiko. Selain dibenci dan
disumpahi banyak orang, dunia yang satu ini sangat rentan dihabisi para aparatur
penegak keadilan hukum –baik dengan cara kekerasan maupun melalui proses meja
hijau. Kendati hidup di dunia yang keras, Sam rupanya sedikit ciut nyali kalau sampai-sampai
dirinya dihabisi aparatur penegak keadilan hukum secara kekerasan sebagaimana
terjadi terhadap banyak pentolan preman dan Gabungan Anak Liar (Gali) pada awal
sampai pertengahan dekade 1980-an di beberapa kota, antara lain Yogyakarta,
Semarang dan Jakarta. Sungguh mencekam dan membuat banyak preman tiarap,
termasuk seorang Sam Haning.
Gambarannya
secara sekilas, pada awal dekade 1980-an suasana Kota Yogyakarta sekonyong-konyong
berubah mencekam. Para preman yang di masa-masa itu mengelompokkan diri sebagai
Gabungan Anak Liar (Gali) dan menguasai berbagai wilayah operasi tiba-tiba
diburu oleh Tim Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) yang di kemudian hari populer
sebagai fenomena Penembak Misterius (Petrus). Ketika Petrus beraksi, tidak
jarang suara letusan senjata api mereka terdengar dan terasa meneror warga masyarakat
sehingga suasana bertambah mencekam. Mayat para korban penembakan atau
pembunuhan misterius itu pada umumnya mengalami luka di kepala serta leher dan
dibuang di lokasi-lokasi yang gampang dijumpai penduduk. Saat ditemukan, si mayat
biasanya langsung dikerumuni penduduk dan menjadi berita utama media massa yang
terbit di Kota Pelajar itu.
Berita
ihwal terbunuhnya para pentolan Gali itu pun sontak heboh dan menjadi bahan
pembicaraan hangat di semua wilayah DIY hingga ke pelosok-pelosok kampung. Kendati
merupakan fenomena pembunuhan misterius, hampir semua warga Yogya saat itu
paham bahwa pelaku atau eksekutornya adalah aparat militer dan sasarannya para Gali
terkenal. Disebut sebagai Gali terkenal lantaran mereka merupakan pentolan di jagat
kejahatan yang secara terang-terangan menguasai satu lokasi, memungut uang dari
lokasi yang menjadi kekuasaannya, bisa seenak hati menganiaya orang yang
dianggap melawan, merampok atau melakukan kejahatan lainnya secara terang-terangan,
dan kadang-kadang polisi setempat tidak berani bertindak mengingat pengaruh si pentolan
Gali yang begitu besar. Terbunuhnya para pentolan Gali secara misterius sebetulnya
membuat warga masyarakat senang tapi para Gali yang cuma memakai status itu
sebagai ajang gagah-gagahan menjadi sangat ketakutan.
Aparat
keamanan di Yogya memang mengakui bahwa pihaknya waktu itu melakukan OPK
(Operasi Pemberantasan Kejahatan) terhadap para Gali. Tapi, siapa anggota Tim
OPK yang menjalankan tugas tersebut tidak pernah diungkap ke permukaan dan
hingga sekarang masih tetap saja gelap. Aparat militer di Yogya saat itu
terpaksa turun tangan untuk melakukan pembersihan mengingat tindak kejahatan
para Gali sudah keterlaluan --bahkan sebagian besar warga masyarakat cenderung
lebih takut kepada para Gali dibandingkan aparat kepolisian. Turunnya pasukan
militer dalam operasi OPK itu diakui sendiri oleh Letkol M. Hasbi yang ketika
itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 yang juga merangkap Kepala Staf Garnisun
Yogyakarta. Walaupun cara kerja Tim OPK itu tidak pernah diumumkan, modus
operandinya gampang ditebak. Tim OPK melakukan briefing terlebih dulu, menentukan sasaran yang akan disikat,
melaksanakan penyergapan pada saat yang paling tepat, dan saat korban berhasil
ditemukan langsung ditembak mati atau dibawa ke suatu tempat lantas dieksekusi.
Mayat korban yang tewas biasanya langsung dimasukkan ke dalam karung atau
dilempar ke lokasi-lokasi yang mudah ditemukan. Hari berikutnya Tim OPK bisa
dipastikan akan mengecek hasil operasinya lewat surat kabar yang terbit hari
itu sambil memberikan penilaian terhadap kehebohan yang berlangsung di tengah-tengah
masyarakat.
Aksi
OPK melalui modus Petrus itu secara cepat menimbulkan ketegangan dan teror bagi
para pelaku kejahatan secara nasional lantaran korban OPK di kota-kota lain
juga mulai berjatuhan. OPK yang berlangsung secara rahasia itu secara
psikologis rupanya mampu menekan angka kriminalitas yang dilaksanakan
terang-terangan. Di tingkat nasional, operasi rahasia untuk menumpas para
bromocorah itu sebenarnya dapat dirunut secara jelas meski pelakunya tetap
misterius. Pada tahun 1982 misalkan, Presiden (waktu itu) Soeharto memberikan
penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya (saat itu) Mayor Jenderal Pol Anton
Soedjarwo berkat keberhasilannya membongkar sejumlah aksi perampokan yang
meresahkan warga masyarakat. Selain mampu membongkar aksi perampokan, Anton
Soedjarwo juga dinilai sukses dalam menjalankan aksi OPK.
Pada
bulan Maret tahun yang sama, pada acara khusus yang membahas masalah pertahanan
dan keamanan, Rapat Pimpinan (Rapim) ABRI, Presiden Soeharto bahkan meminta
kepada Polri (waktu itu masih menjadi bagian dari ABRI) untuk mengambil langkah
pemberantasan yang efektif dalam upaya menekan angka kriminalitas. Keseriusan
Soeharto agar Polri/ABRI menggencarkan operasi yang efektif untuk menekan angka
kriminalitas sampai-sampai kembali diulangi dalam pidato kenegaraan yang
berlangsung pada tanggal 16 Agustus 1982. Karena permintaan atau perintah
Soeharto disampaikan pada acara kenegaraan yang istimewa, sambutan yang
dilaksanakan oleh petinggi aparat keamanan pun sangat serius. Permintaan
Soeharto itu sontak disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Soedomo melalui rapat
koordinasi bersama Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI
Jakarta yang berlangsung di Markas Komdak Metro Jaya 19 Januari 1983. Dalam
rapat yang membahas tentang keamanan di Ibukota itu lalu diputuskan untuk
melaksanakan operasi guna menumpas kejahatan bersandi “Operasi Celurit” di
Jakarta dan sekitarnya. Operasi Celurit itu selanjutnya diikuti oleh Polri/ABRI
di masing-masing kota serta provinsi yang lain. Tak pelak, para korban Operasi
Celurit pun berjatuhan.
Operasi di Yogyakarta. Selama
sebulan OPK di Yogyakarta, paling tidak enam pentolan penjahat tewas terbunuh.
Para korban OPK yang ditemukan tewas itu rata-rata dengan luka tembak mematikan
di kepala dan leher. Dua di antara korban OPK yang berhasil diidentifikasi
adalah mavat Budi alias Tentrem (29) dan Samudi Blekok alias Black Sam (28).
Mayat Budi yang dulu ditakuti dan dikenal lewat Geng Mawar Ireng ditemukan
dalam parit di tepi jalan di daerah Bantul, selatan Yogyakarta, tepat pada awal
tahun 1985. Sedangkan mayat Black Sam diketemukan tergeletak di semak belukar
di kawasan Kotagede yang tidak jauh dari pusat kota Yogyakarta. Dari cara
membuang mayatnya, jelas ada semacam pesan yang ditujukan kepada para
bromocorah di Yogya, agar segera menyerahkan diri atau menemui ajal seperti
rekan-rekan mereka. Selama OPK, minimal ada 60 orang bromocorah Yogya yang
menjadi korban Petrus. Sebagian besar tewas tertembak dan beberapa di antaranya
terbunuh oleh senjata tajam. Sejumlah korban (ironinya) diumumkan oleh aparat
keamanan tewas akibat dikeroyok massa. Salah satu korban yang diklaim aparat
keamanan tewas akibat dikeroyok massa adalah bromocorah bernama Ismoyo.
Salah
satu modus untuk melumpuhkan penjahat yang dilaksanakan oleh Tim OPK adalah
menyuruh preman yang sudah ditangkap untuk lari dan kemudian baru ditembak.
Preman yang lari kadang diteriaki “maling” sehingga otomatis menjadi sasaran
amuk massa.
Selama
hidupnya Ismoyo dikenal sebagai Gali elit lantaran dia adalah sarjana lulusan
Fakultas Sosial Politik UGM dan berstatus PNS. Sebagai ketua kelompok preman
yang sering memalak angkutan kota di daerah kekuasaannya, Gali elit ini lalu
diambil oleh aparat keamanan untuk diinterogasi. Namun, menurut versi aparat,
Ismoyo mencoba lari dan kemudian tewas dikeroyok massa. Modus menyuruh
bromocorah lari lantas diteriaki maling atau kemudian malah dihujani tembakan
merupakan cara standar bagi tim OPK untuk menuntaskan tugas membereskan
buruannya. Cara lain untuk memberikan shock
therapy kepada kaum bromocorah adalah dengan menembak korbannya puluhan
kali. Cara ini diterapkan tim OPK saat menghabisi pentolan Gali Yogya, Slamet
Gaplek. Berdasarkan informasi, Slamet konon kebal peluru. Slamet Gaplek sempat
mencoba melarikan diri dengan cara mematahkan borgol namun akhirnya tersungkur
setelah diterjang lebih dari 20 peluru di tubuhnya. Korban yang tewas dengan
cara mengenaskan itu kemudian dibuang di tempat yang mudah ditemukan dan esok
harinya langsung menjadi berita besar di surat kabar sehingga efek shock therapy-nya dapat berpengaruh
secara maksimal.
OPK di Semarang. Operasi
Pemberantasan Kejahatan yang berlangsung di Semarang (1983) dapat menunjukkan
bahwa para preman yang dulu pernah diorganisir untuk kepentingan politik,
seperti sebagai pendukung partai politik tertentu, ternyata tetap menjadi
sasaran Petrus ketika dianggap sudah tidak berguna. Salah satu contoh adalah pentolan
preman bernama Bathi Mulyono. Di dunia hitam, mantan preman yang pernah
malang-melintang di Kota Semarang ini sudah sangat populer dan saat keluar dari
penjara, Bathi langsung menduduki jabatan Ketua Yayasan Fajar Menyingsing.
Organisasi massa itu menghimpun ribuan residivis dan pemuda yang berada di wilayah
Jawa Tengah. Yayasan Fajar Menyingsing (secara politik) cukup berpengaruh dan
di-beking oleh para pejabat tinggi
Jawa Tengah waktu itu seperti Gubernur Supardjo Rustam, Ketua DPRD Jawa Tengah
Widarto dan pengusaha Soetikno Widjojo. Berkat restu para elit penguasa daerah
itu Bathi bisa menjalankan bisnisnya secara lancar mulai dari jasa broker
keamanan sampai menguasai lahan parkir di wilayah Jawa Tengah. Walau mantan
bromocorah, Bathi bisa hidup makmur dan sehari-hari mengendarai mobil jip
Toyota Hardtop.
Hubungan
yang dibangun antara elit dan para preman pun bergerak lebih jauh dan tidak
sekadar relasi bisnis. Para elit politik mulai menggunakan jasa para preman
yang sudah terbiasa berkecimpung di dunia kekerasan. Para preman dari Fajar
Menyingsing pun mulai dimanfaatkan sebagai kelompok-kelompok milisi yang diberdayakan
pada saat musim kampanye pemilu tiba. Golongan Karya (Golkar) sebagai generator
politik Orde Baru (Orba) banyak menggunakan jasa para preman buat menggalang
massa dan mengamankan jalannya kampanye. Peran Bathi dan kawan-kawan terutama
terlihat dalam kampanye Pemilu 1982. Tugas Bathi dan rekannya adalah
memprovokasi massa Partai Persatuan Pembangunan (PPP) yang sedang berkampanye
di Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, agar muncul kerusuhan. Insiden kekerasan
pun pecah dan sejumlah korban berjatuhan. Beberapa orang yang dianggap sebagai
perusuh ditangkap namun Bathi dan sejumlah rekannya berhasil lolos. Insiden itu
sampai-sampai membuat Presiden Soeharto marah dan menyalahkan petinggi Badan
Koordinasi Intelijen Negara (Bakin) waktu itu, Ali Moertopo.
Modus
untuk melumpuhkan pentolan Gali kadang dilaksanakan di tempat, misalkan
eksekusi saat si "Gali" sedang nongkrong di warung. Eksekusi semacam
itu cuma bisa dilakukan oleh penembak terlatih dan berpengalaman.
Berkat
perlindungan para elit politik, Bathi merasa aman, bahkan ketika OPK mulai
berlangsung di Kota Semarang. Namun, rasa aman Bathi mulai memudar tatkala OPK
yang digelar di Kota Lumpia itu ternyata menyasar pada rekan-rekan dekatnya sesama
pengurus Yayasan Fajar Menyingsing. Rekan-rekan Bathi yang kemudian hilang
secara misterius dan diyakini sebagai korban Petrus antara lain Edy Menpor dan
Agus TGW. Rasa aman Bathi betul-betul buyar pada suatu malam di bulan Juli
1983, ketika sedang mengemudikan mobilnya melintas di Jalan Kawi, Semarang, tiba-tiba
dua sepeda motor mendahului sambil melepaskan tembakan. Dua peluru yang
berhasil menembus mobil tak sampai mengenai tubuh Bathi. Sadar bahwa dirinya
telah menjadi target OPK, Bathi segera tancap gas melarikan diri dan kemudian
bersembunyi di kawasan Gunung Lawu. Bathi baru berani turun gunung setelah OPK
mereda. Bathi menjadi salah satu target OPK yang masih hidup hingga sekarang.
Selama
dalam pelariannya, Bathi sempat mengalami kejadian konyol yang berkaitan erat
dengan OPK. Suatu kali Bathi menyetop kendaraan pick-up terbuka dan kemudian duduk di antara sejumlah karung yang
tergeletak di lantai bak mobil. Sejumlah orang tampak duduk di belakang dan
dalam diam. Secara tak sengaja Bathi sempat duduk di salah satu karung dan betapa
kaget setengah mati gara-gara mendengar suara mengaduh dari dalam karung itu.
Bathi mulai berpikir tentang suara mengaduh dari dalam karung dan merasa yakin
bahwa mobil pick-up sedang membawa
korban yang menjadi target OPK. Bathi merasa mujur lantaran orang-orang yang
berada di dalam pick-up tak mengenali
dirinya. Sebelum jati dirinya terungkap, Bathi minta turun lalu menghilang ke
dalam hutan sambil sesekali melihat pergerakan mobil pick-up tersebut. Tak lama berselang Bathi mendengar serentetan tembakan
dan merasa yakin para eksekutor tengah menghabisi sasarannya.
Jakarta dan kola lainnya. Korban
OPK di kota Jakarta tidak kalah banyak dibandingkan kota-kota lain karena mayat-mayat
korban pembunuhan yang ditemukan di berbagai tempat terus saja menjadi berita utama
surat kabar dan buah bibir warga Ibukota. Mayat yang tewas dalam kondisi kepala
atau dada ditembus peluru itu memiliki tanda khusus berupa sejumlah tato di
tubuhnya. Ciri khas mayat yang ditemukan di Jakarta adalah mengambang di dalam
karung yang hanyut di sungai dan saat dibuka korban pasti terikat tangannya
serta memiliki tato di tubuhnya. Penemuan mayat-mayat korban OPK terjadi pula di
kota-kota besar lainnya dan fakta ini menunjukkan bahwa OPK memang dilancarkan
secara nasional. Dilihat jejak dari para korban OPK yang ada, dapat dikatakan
Operasi Celurit untuk menumpas angka kejahatan relatif berhasil.
Dari
segi jumlah, Operasi Celurit yang notabene merupakan aksi Petrus itu, pada
tahun 1983 berhasil menumbangkan 532 orang yang dituduh sebagai pelaku
kriminal. Dari semua korban yang terbunuh, 367 orang di antaranya tewas akibat
luka tembak. Tahun 1984 korban OPK yang tewas sebanyak 107 orang, namun hanya
15 orang yang tewas dengan luka tembak. Kemudian tahun 1985, tercatat 74 korban
OPK tewas dan 28 di antaranya tewas karena tembakan. Secara umum para korban
Petrus saat ditemukan dalam kondisi tangan dan leher terikat. Kebanyakan korban
dimasukkan ke dalam karung dan ditinggal di tepi jalan, di depan rumah, dibuang
ke sungai, hutan dan kebun. Yang pasti pelaku Petrus terkesan tidak mau
bersusah-payah membuang korbannya lantaran bila mudah ditemukan efek shock therapy yang disampaikan akan
lebih efektif. Sedangkan pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh
orang tak dikenal atau dijemput aparat keamanan. Akibat berita yang begitu
gencar ihwal OPK yang berhasil membereskan ratusan penjahat, para petinggi
negara akhirnya angkat bicara. Kendati sejumlah petingi negara telah
melontarkan pendapatnya, toh Petrus yang beraksi secara rahasia itu tetap saja tidak
tersibak misterinya.
Ketika
pada 3 Mei 1983 di Jalan Sunan Kalijaga, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan,
terdengar suara letusan pistol pertama disusul tumbangnya dua penjahat Sulisno
(23) dan Baginda Siregar (26) lalu disusul tewasnya Solichin di daerah Ciputat
akibat tembakan orang tak dikenal, berita yang esoknya terpapar di surat kabar
belum begitu mengejutkan massa. Tapi manakala berita serupa hampir tiap hari
muncul di seantero Jakarta dan massa mulai membicarakan masalah penembakan
misterius, Benny Moerdani sebagai Panglima Kopkamtib (seusai menghadap Presiden
Soeharto) lalu memberi pernyataan kepada pers bahwa penembakan gelap yang terjadi
mungkin timbul akibat perkelahiaan antar-geng bandit. “Sejauh ini belum pernah
ada perintah tembak di tempat terhadap penjahat yang ditangkap,” ujar Jenderal Benny.
Dan tak ada seorang pun wartawan yang saat itu berani melanjutkan pertanyaan
kepada Jenderal yang dikenal sangat tegas dan garang itu.
Kepala
Bakin saat itu, Yoga Soegama, pun memberikan pernyataan yang bernada enteng
bahwa masyarakat tidak perlu mempersoalkan para penjahat yang mati secara
misterius. Tapi, pernyataan yang dilontarkan mantan Wapres H. Adam Malik justru
bertolak belakang sehingga membuat kasus penembakan misterius tetap merupakan
peristiwa serius dan harus diperhatikan oleh Pemerintah RI yang senantiasa menjunjung
tinggi supremasi hukum. “Jangan mentang-mentang penjahat dekil langsung
ditembak, bila perlu diadili hari ini langsung besoknya dieksekusi mati. Jadi
syarat sebagai negara hukum sudah terpenuhi,” kecam Adam Malik sambil
menekankan, “Setiap usaha yang bertentangan dengan hukum akan membawa negara
ini pada kehancuran.”
Tindakan
tegas OPK pada akhirnya memang menyulut pro dan kontra di tengah masyarakat.
Pendapat yang pro, OPK pantas diterapkan kepada target yang memang jelas-jelas
penjahat. Sebaliknya, pendapat yang kontra menyatakan keberatannya jika sasaran
OPK cuma penjahat kelas teri atau mereka yang hanya memiliki tato namun bukan
penjahat beneran. Pendapat atau komentar yang cukup kontroversial datang dari
Menteri Luar Negeri Belanda, Hans van den Broek, yang secara kebetulan sedang
berkunjung ke Jakarta pada awal Januari tahun 1984. Setelah bertemu dengan
Menlu Mochtar Kusumaatmadja, Broek secara mengejutkan berharap bahwa pembunuhan
yang telah memakan korban jiwa sebanyak 3.000 orang itu pada waktu mendatang harus
diakhiri dan Indonesia diharapkan pula dapat melaksanakan konstitusi dengan
tertib hukum. Menlu Mochtar sendiri menjawab bahwa peristiwa pembunuhan
misterius itu terjadi akibat meningkatnya angka kejahatan yang mendekati
tingkat terorisme sehingga masyarakat merasa tidak aman dan main hakim sendiri.
Atas
pernyataan Menlu Belanda itu, Benny Moerdani yang merasa kebakaran jenggot
sekali lagi harus tampil untuk meluruskan tuduhan tadi. Dia kembali menegaskan
bahwa pembunuhan yang terjadi karena perkelahian antar-geng. “Ada orang-orang
yang mati dengan luka peluru, tapi itu gara-gara melawan petugas. Yang berbuat
itu bukan pemerintah. Pembunuhan itu bukan kebijaksanaan pemerintah,” tegasnya.
Namun persoalan penembakan itu akhirnya tidak lagi misterius meskipun para
pelakunya hingga saat ini tetap misterius dan tidak terungkap. Beberapa tahun
kemudian Presiden Soeharto justru memberikan uraian tentang latar belakang
permasalahannya.
Tindakan
keamanan tersebut memang terpaksa dilakukan setelah aksi kejahatan yang terjadi
di kota-kota besar Indonesia semakin brutal dan makin meluas. Seperti tertulis
dalam bukunya Benny Moerdani halaman 512-513, Pak Harto berujar, “Dengan
sendirinya kita harus mengadakan treatment
therapy, tindakan yang tegas. Tindakan tegas bagaimana? Ya harus dengan
kekerasan. Tetapi kekerasan itu bukan lantas dengan tembakan, dor-dor! Begitu
saja. Bukan! Tetapi yang melawan, ya mau tidak mau harus ditembak. Karena
melawan, maka mereka ditembak. Lalu ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja.
Itu untuk shock therapy, terapi
goncangan. Supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih
ada yang bisa bertindak dan mengatasinya. Tindakan itu dilakukan supaya bisa
menumpas semua kejahatan yang sudah melampui batas perikemanusiaan. Maka
kemudian redalah kejahatan-kejahatan yang menjijikkan itu.”
Betul-betul
sebuah shock therapy yang membuat seorang
Semual Haning pun ikut ciut nyali, berpikir ulang untuk tetap menjalani
kehidupan jalanan dan dunia gemerlap malam yang penuh risiko dan penyimpangan.
Semuel tak ingin mati sia-sia di tangan penembak misterius yang datang
sewaktu-waktu tanpa permisi.
B. Petrus Sebagai Titik Balik
Ada
banyak pengalaman hidup yang membuat anak manusia bertekad kuat melepaskan diri
dari dunia hitam yang telah lama diselami. Ada sebuah titik balik di mana
seseorang berbalik arah ke sisi putih si anak manusia. Mantan preman Anton
Medan (Muhammad Ramdan Efendi) sekadar contoh, merasa memperoleh bimbingan dari
Tuhan ketika menikmati siraman rohani di balik jeruji besi nan dingin mencekam.
Jalan bimbingan mencari Tuhan, baik dari rohaniwan yang didatangkan dari luar
penjara maupun teman sesama narapidana (terutama narapidana politik-agama).
“Selama tujuh tahun saya mempelajari agama yang membuat batin saya tenang.
Pengembaraan saya mencari Tuhan, tak lepas dari peran teman-teman sesama
tahanan, misalkan teman-teman yang terkena kasus Cicendo. Tanpa terasa, hukuman
yang begitu panjang dapat saya lalui. Akhirnya, saya menghirup udara segar
kembali di tengah-tengah masyarakat. Tekad saya sudah bulat. Saya ingin berbuat
kebaikan bagi sesama,” tutur Anton Medan suatu waktu setelah keluar dari
penjara. Kasus Cicendo cukup populer di tahun 1980-an karena melibatkan Komando
Jihad pimpinan Imran bin Muhammad Zein dan keterkaitannya dengan kasus pembajakan
Garuda (Peristiwa Woyla) di Bangkok, Thailand, 28-31 Maret 1981.
Kembali
ke Semual Haning. Dalam perjalanan hidupnya yang sempat berada di lembah hitam dunia
preman jalanan Kota Kupang, Sam tidak sampai harus melewatkan sebagian alur
hidupnya di balik hotel prodeo. “Kalau satu atau dua malam menginap di Garnisun
Kupang lalu harus berjalan di hamparan kacang hijau itu biasa sebagai
pembinaan. Di tahun 1970-an, itulah bentuk pertanggung-jawaban saya. Pada
prinsipnya kami melakukan tindakan-tindakan yang tidak selalu menumpahkan darah
orang lain yang tidak bersalah. Memang terkadang kami tidak segan-segan
menumpahkan darah, tapi secara umum kami tidak boleh melakukan pencurian dan
perbuatan-perbuatan asusila. Tetap ada rambu-rambu yang mesti dipatuhi oleh semua
anggota geng,” ujar Sam mengenang perannya sebagai pentolan Geng Scorpion di
Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dunia
gangster –sekecil apapun gangster-- tetap saja hitam-kelam. Namun, sekejam-kejamnya
penjahat rupanya tetap saja memiliki rasa takut –terutama takut mati. Takut
mati kalau-kalau tidak sempat bertobat. Takut mati kalau-kalau jadi korban
penembakan penuh misteri. Kematian tragis pentolan-pentolan Gali (preman) di
berbagai kota di Indonesia pada dekade 1980-an itu pula yang kemudian memantik
rasa takut seorang Semuel (Sam) Haning. Sam merasa resah. Rasanya tinggal
menunggu giliran waktu untuk menjadi sasaran Petrus yang boleh jadi segera
datang ke Kota Kupang. “Wah, saya pikir, saya dan kawan-kawan pasti kena. Terus
terang saya merasa khawatir dan was-was melihat perkembangan fenomena Petrus
yang menasional,” kata Semuel Haning. Dia tidak ingin menemui kematian sia-sia
seperti jalan kematian pentolan-pentolan Gali di Yogya, Semarang dan Jakarta.
Tak
mau berkubang pada rasa was-was yang terus-menerus, Sam diam-diam mengumpulkan seluruh
anggota Geng Scorpion yang sempat merajai jalanan Kota Kupang sejak awal
1970-an sampai akhir 1980-an. Kepada segenap anggota gengnya, selaku pentolan
geng, Sam menyatakan secara sadar dirinya segera membubarkan Geng Scorpion yang
selama ini dikenal sebagai “bumper”
anak-anak orang kaya.
Sam
memberi kebebasan pilihan kepada bekas anak buahnya di Geng Scorpion. Setelah
keputusan itu, bekas anak buah Sam yang berjumlah puluhan orang itu berpencar
mencari jalan hidup sendiri-sendiri. Ada yang melanjutkan sekolah formal, ada
pula yang bekerja serabutan, dan ada lagi yang tetap memilih hidup di jalanan
Kota Kupang.
“Saya
bersyukur, banyak di antara anggota Geng Scorpion yang kini bisa jadi orang,
bahkan ada yang jadi polisi dan Pegawai
Negeri Sipil (PNS),” kata Sam.
Sam
sendiri ketika itu masih berada di jalanan Kota Kupang. Namun, dia tidak lagi
menjalankan aktivitas kepremanan. Selama masih memimpin Geng Scorpion, Sam
banyak berkenalan dengan sopir-sopir angkutan kota di jalanan Kota Kupang. Dari
perkenalan itu, Sam acap coba-coba belajar menyetir kendaraan angkutan kota.
“Di
luaran kehidupan geng jalanan, saya banyak berkenalan dengan sopir angkutan
kota, saya mulai ikut belajar setir mobil di jalanan. Jadi, saya bisa setir
mobil karena belajar di jalan-jalan dari para sopir angkutan kota. Meskipun
bapak saya juga sopir, namun saya bisa nyetir bukan belajar dari bapak saya.
Setelah bisa nyetir, banyak sopir angkutan kota mempercayai sebagai menjadi
sopir lepas atau sopir tembak,” papar Sam Haning.
Selain
sebagai sopir lepas, Sam terkadang juga menjadi kondektur mobil-mobil angkutan
kota, terutama Oto Lampu-1 yang melayani trayek dari Terminal Kupang, kawasan
Oepura, Jalan Sudirman, Jalan Soeharto, lalu kembali ke Terminal Kupang.
Di
luar aktivitas kehidupan angkutan kota yang teramat keras, Sam juga mencoba
peruntungan dengan bekerja memungut ikan-ikan kecil di pantai Kota Kupang.
Hasil perburuan ikan itu kemudian dijual ke pasar. Kadang pula Sam membantu
berjualan kue-kue bikinan ibunya. “Kadangkala ibu saya resah, kue-kuenya habis
sementara tidak ada uang masuk karena kuenya habis saya makan,” ujar Sam
setengah berseloroh.
Sam
terus berusaha betul-betul lepas dari dunia preman jalanan. Terutama setelah
berkeluarga, isteri menjadi pendorong utama dirinya untuk kembali ke jalan yang
benar. Selain isteri, orang yang juga turut membimbing Sam memasuki kembali
jalan kehidupan yang normal adalah rohaniwan –Kristen dan Islam.
Setelah
membubarkan Geng Scopion, Sam aktif pula menjalin pertamanan dengan kalangan
rohaniwan. “Ada seorang habib di Kupang yang tahu betul bagaimana temperamen
keras saya, namun beliau begitu lembut menyapa saya. Dia tahu masa lalu saya.
Dari pertemanan dengan beliau, saya tergerak untuk terus memperbaiki diri. Terlebih
lagi saat memasuki dunia kampus, banyak teman-teman baik mewarnai perjalanan
hidup saya berikutnya,” aku Semuel Haning.
C. Merajut Mimpi Membangun Masa Depan
Perjalanan
nan pahit membuat Sam Haning berusaha menggapai kehidupan masa depan yang harus
lebih baik. Rasanya tak mungkin Sam berlama-lama dalam kubangan kehidupan dunia
angkutan kota yang keras dan cenderung membentuk pribadi yang sulit diatur. Dia
ingin melanjutkan sekolahnya yang sempat tersendat di bangku kelas tiga SMP
Negeri 1 Kupang. Karena banyak menjalani kehidupan malam dan panasnya kehidupan
jalanan, kendati sekolah terus berjalan, Sam sempat dua kali gagal lulus dari SMP
Negeri 1 Kupang di awal tahun 1980-an. Dia terpaksa pindah sekolah ke SMP
Negeri yang lain dan baru lulus pada tahun ajaran 1982-1983.
Selepas
SMP yang sempat tersendat, Sam memasuki SMA dengan mendaftarkan diri ke SMA
PGRI Kupang. Di sini, berkat tempaan kerasnya kehidupan jalanan, Sam sempat
dipercaya menjadi Ketua Organisasi Siswa Intra Sekolah (OSIS). Bukan sesuatu
yang tanpa alasan, karena di masa itu tawuran antar-pelajar juga sudah kerap
terjadi. “Kalau sampai terjadi tawuran antar-sekolah, kami sebagai pengurus
OSIS biasa dilibatkan sebagai bumper,
untuk menengahi agar tawuran tidak berkembang lebih luas,” jelas anak lelaki
dari pasangan John Haning – Elizabeth ini. Sam lulus dari SMA PGRI pada tahun
ajaran 1986-1987.
Anak
ketiga dari 10 bersaudara ini berkisah lebih jauh bahwa di masa-masa SMA itu,
dia pun kemudian menekuni olahraga keras, terutama tinju dan karate. Sampai
kemudian dia memperoleh berbagai apresiasi dari ring tinju saat mengikuti
berbagai even olah raga yang mengandalkan kekuatan pukulan tangan itu. Namun,
Sam tidak ingin terlampau lama berada di ring tinju. Ketika masih duduk di
bangku SMA, tahun 1986, dia telah memilih mengundurkan diri dari ring tinju
(sebagai petinju) lalu menekuni kepelatihan tinju.
Nama
Sam sebagai petinju sempat cukup populer di mata masyarakat Kota Kupang.
Setamat SMA itu, Sam kadang-kadang masih suka hidup bebas di jalanan. “Bayangkan
saja, bilamana seorang Sam Haning masuk diskotik-diskotik di Kota Kupang,
petugas sekuriti sudah pada tahu dan tidak perlu membayar sendiri,” kenang Sam
ihwal sepenggal jalan hidupnya menjelang akhir 1980-an itu.
Sam
tak hendak berlama-lama lagi hidup bebas di jalanan dan dunia gemerlap malam. Dia
menyadari hidup betapa terus-menerus di dunia yang keras seperti ini tidak
bakal menguntungkan. Sam merasa dirinya harus cepat-cepat mengubah citra diri
untuk menjadi pribadi yang lebih ramah sosial, jauh dari kebencian masyarakat.
“Jujur
saya katakan, bahwa hidup di dunia yang keras begini tidak menguntungkan bagi
kami. Yang ada justru dibenci banyak orang. Sebab itu, kira-kira dua tahun usai
tamat SMA, saya minta kawan-kawan agar kami mengubah citra yang dulu cenderung
di luar karakter sosial, menjadi orang baik-baik, silakan kalian mau kuliah,
mau jadi polisi, atau mau jadi pengusaha. Yang penting jangan lagi masuk ke
jalanan dan dunia gemerlap malam yang keras dan cenderung dibenci orang,” papar
lelaki kelahiran Kota Kupang tanggal 9 September 1964 ini.
Sam
Haning memilih melamar menjadi calon Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Universitas
Nusa Cendana (Undana) –satu-satunya perguruan tinggi negeri di Kota Kupang. Di
penghujung dasawarsa 1980-an itu, Sam pun diterima menjadi PNS di Undana. Dia
ditempatkan sebagai sopir kendaraan dinas universitas kebanggaan warga masyarakat
Nusa Tenggara Timur ini.
Sebagai
sopir kendaraan dinas Undana, Semuel Haning bertugas mendistribusikan beras
buat para PNS universitas yang berkampus di Jalan Adisucipto, Penfui, Kota Kupang,
tersebut. Dia mesti mengirimkan beras kepada sekitar 800 dosen dan ratusan PNS
non-dosen yang tinggal tersebar di Kota Kupang dan sekitarnya.
Setelah
mengabdi sekitar delapan tahun, Sam dipercaya sebagai Pelaksana Harian (Plh)
Kepala Seksi dan terakhir ditugaskan di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Undana. Sebagai PNS kecil-kecilan yang rasanya sudah mentok karir, benak Sam
terpantik untuk memperbaiki diri agar mampu berkiprah lebih luas lagi di dunia
pendidikan. Untuk itu dia memutuskan melanjutkan kuliah dengan bekal ijazah SMA
PGRI Kupang.
Untuk
itu, Sam mengundurkan diri dari Undana. Padahal, di Undana, Sam bersua dengan
orang-orang yang demikian mengasihi dan seakan menjadi pelita bagi kecerahan
perjalanan hidup selanjutnya. “Ada teman-teman yang selalu mendukung saya. Ada
mantan dekan saya, pimpinan saya di Undana. Beliau selalu memberi motivasi ke
saya. Saya keluar dari Undana, beliau ini meneteskan air mata,” ujar Semuel
Haning penuh kenangan.
Untuk
melanjutkan kuliah, Sam tidak memilih mendaftarkan diri ke Undana, perguruan
tinggi negeri (PTN) di Kupang, karena biasanya PTN membatasi diri tahun lulusan
SMA yang bisa diterima. Sekitar tahun 1996, di saat usianya telah mencapai 32
tahun, Sam mendaftarkan diri sebagai calon mahasiswa Fakultas Hukum (FH)
Universitas PGRI NTT. Tanpa banyak aral, dia langsung diterima di Universitas
PGRI yang baru berdiri tanggal 18 Juli 1996 itu. Kemampuan intelektual Sam
cukup bagus. Terbukti, tahun 2002, sebagai mahasiswa angkatan pertama, dia
telah berhasil menyelesaikan studi Strata-1 dan berhak menyandang gelar Sarjana
Hukum (SH).
Repotnya,
banyak orang tidak percaya kalau Sam Haning berhasil menuntaskan kuliahnya di
FH Universitas PGRI NTT. Terutama orang-orang yang mengenal betul sepak terjang
Sam di jalanan Kota Kupang. “Oh ...kapan itu Sam kuliah? Hidup di jalanan kok
bisa selesai kuliah. Terus terang saya sedih mengingat masa lalu,” ucap Sam
menirukan sejumlah komentar warga Kota Kupang sembari sedikit terisak dan
meneteskan air mata haru.
Ibarat
anjing menggonggong kafilah tetap berlalu, Sam tak terlalu hirau pada komentar
miring dari sebagian besar warga Kota Kupang. Tekadnya cuma satu: memperbaiki
citra diri tahap demi tahap. Dari kampus, Sam berusaha belajar bagaimana
mengubah citra diri dengan dukungan dunia akademis dan masyarakat ilmiah.
Usai
menamatkan pendidikan S-1 di FH Universitas PGRI NTT, Sam mengundurkan diri
dari Universitas Nusa Cendana. Dia memilih untuk mengabdikan dirinya di bekas
almamaternya, FH Universitas PGRI. Gayung bersambut, pimpinan Universitas yang
berdiri pada tanggal 18 Juli 1996 itu dengan tangan terbuka menerima kehadiran
Semuel Haning guna memperkuat jajaran staf pengajar, sebagai calon staf
pengajar (dosen). Usaha Sam untuk terus memperbaiki citra diri semakin terbuka lebar.
Langkah Sam untuk dapat lebih bermanfaat bagi banyak orang bertambah meluas. ***
No comments:
Post a Comment