Sunday, November 24, 2013

KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA NOMOR 609 TAHUN 2012 TENTANG PEDOMAN PENYELESAIAN KASUS KECELAKAAN KERJA DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA

 
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 609 TAHUN 2012
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN KASUS KECELAKAAN KERJA DAN
PENYAKIT AKIBAT KERJA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa untuk memberikan pemahaman dan acuan dalam penyelesaian kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja perlu ditetapkan pedoman mengenai penyelesaian kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja dalam Keputusan Menteri;
Mengingat :
  1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (Lembaran Negara  Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 39, Tambahan Lembaran Negara  Republik Indonesia Nomor 4279);
   
  1. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 14, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3468);
     
  1. Peraturan Pemerintah Nomor  14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1993 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3520) sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5312);
     
  1. Keputusan Presiden Nomor  22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja;
     
  1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER.04/MEN/1993 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja
     

  1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: PER. 12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
   
  1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: PER. 17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan Tata Kerja Dokter Penasehat;
     
  1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: PER. 25/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat Karena Kecelakaan dan Penyakit Akibat Kerja;
     
  1. Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor: KEP.218/MEN/1994 tentang Pelimpahan Kewenangan Menetapkan Suatu Kecelakaan Sebagai Kecelakaan Kerja atau Bukan Kecelakaan Kerja.
MEMUTUSKAN:
Menetapkan :  
KESATU : Pedoman penyelesaian kasus kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Menteri ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam Keputusan Menteri.
KEDUA : Pedoman sebagaimana dimaksud dalam Diktum KESATU digunakan sebagai acuan bagi pengawas ketenagakerjaan pada Instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan, PT. Jamsostek (Persero) dan Dokter Penasehat dalam menyelesaikan kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja.
KETIGA : Dengan ditetapkannya Keputusan Menteri ini maka Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor: SE 238/MEN/PPK-NK/XI/2010 tentang Penyempurnaan Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi.
KEEMPAT : Keputusan Menteri ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

    Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 September 2012
                            MENTERI
TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI
REPUBLIK INDONESIA,
TTD
   Drs. H. A. MUHAIMIN ISKANDAR, M.Si.



LAMPIRAN
KEPUTUSAN MENTERI TENAGA KERJA DAN TRANSMIGRASI REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 609 TAHUN 2012
TENTANG
PEDOMAN PENYELESAIAN KASUS KECELAKAAN KERJA DAN PENYAKIT AKIBAT KERJA
Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja memuat mengenai:
  1. Latar Belakang
  2. Penjelasan Tentang Pengertian-Pengertian Teknis
  3. Ruang Lingkup Dan Besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja
  4. Mekanisme Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja
  5. Tugas Dan Fungsi Dokter Penasehat Dalam Menyelesaikan Kasus Kecelakaan Kerja  Dan Penyakit Akibat Kerja
  6. Tugas Dan Fungsi Pengawas Ketenagakerjaan Dalam Menyelesaikan Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja
  7. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja
    1. Pihak Yang Berhak Menerima Jaminan Kecelakaan Kerja
    2. Penegakan Hukum
    3. Contoh Formulir Penetapan Pengawas Ketenagakerjaan:
Formulir I : Penetapan Kecelakaan Kerja atau Bukan Kecelakaan Kerja
Formulir II : Penetapan Penyakit Akibat Kerja atau Bukan Penyakit  Akibat Kerja
Formulir III : Penetapan Besarnya Prosentase Cacat Akibat Kecelakaan Kerja dan/atau Penyakit Akibat Kerja
Formulir IV : Penetapan Besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja
Formulir V : Permintaan Pertimbangan Medis kepada Dokter Penasehat
Formulir VI : Bentuk Pertimbangan Medis Dokter Penasehat

  1. Latar Belakang

Dalam menyelesaikan kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja, peranan Pengawas Ketenagakerjaan, Dokter Penasehat dan PT. Jamsostek (Persero) sangat menentukan agar kasus tersebut dapat diselesaikan dengan cepat dan tepat sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, namun dalam pelaksanaan di lapangan masing-masing pihak yang terlibat dalam menafsirkan dan menerapkan peraturan yang ada masih terdapat perbedaan persepsi.

Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja beserta peraturan pelaksanaannya, setiap tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja berhak untuk memperoleh jaminan kecelakaan kerja.

Dalam rangka memberikan pelayanan secara cepat kepada tenaga kerja yang tertimpa kecelakaan, maka pada tingkat pertama Badan Penyelenggara menghitung besarnya jaminan dan segera membayar jaminan kecelakaan kerja kepada yang berhak.

Apabila perhitungan Badan Penyelenggara tidak diterima oleh salah satu pihak atau terjadi perbedaan pendapat antara pihak-pihak maka salah satu pihak dapat meminta penetapan Pengawas Ketenagakerjaan setempat.

Berdasarkan ketentuan Pasal 24 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 16 ayat (3) dan Pasal 17 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, apabila penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tidak diterima oleh salah satu pihak, maka pihak yang tidak menerima penetapan tersebut dapat meminta penetapan kepada Menteri.

Berkaitan dengan  hal tersebut di atas perlu dibuat Pedoman Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja dan Penyakit Akibat Kerja yang dapat digunakan sebagai acuan bagi pihak-pihak terkait dalam menyelesaikan kasus, sehingga penanganan kasus dapat berjalan secara cepat dan tepat sesuai mekanisme peraturan perundang-undangan dan perlindungan terhadap tenaga kerja dapat berjalan sesuai yang diharapkan.

  1. Penjelasan Tentang Pengertian Teknis


1. Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, guna menghasilkan jasa atau barang untuk memenuhi kebutuhan masyarakat.
Termasuk tenaga kerja dalam jaminan kecelakaan kerja adalah:
  1. magang dan murid yang bekerja pada perusahaan baik yang menerima upah maupun tidak;
  2. mereka yang memborong pekerjaan kecuali jika yang memborong adalah perusahaan; dan
  3. narapidana yang dipekerjakan di perusahaan.

2. Perusahaan adalah setiap bentuk badan usaha yang mempekerjakan tenaga kerja dengan tujuan mencari untung atau tidak, baik milik swasta maupun milik negara.

3. Upah adalah suatu penerimaan sebagai imbalan dari pengusaha kepada tenaga kerja untuk sesuatu pekerjaan yang telah atau akan dilakukan yang dinyatakan atau dinilai dalam bentuk uang, ditetapkan menurut suatu perjanjian atau peraturan perundang-undangan dan dibayarkan atas dasar suatu perjanjian kerja antara pengusaha dengan tenaga kerja termasuk tunjangan baik untuk tenaga kerja sendiri maupun keluarganya.



4. Upah yang dijadikan dasar pembayaran iuran program jaminan sosial tenaga kerja setiap bulan adalah didasarkan pada upah bulan yang bersangkutan yang diterima oleh tenaga kerja.

5. Upah yang dijadikan dasar dalam menghitung jaminan kecelakaan kerja adalah upah yang sebenarnya diterima oleh tenaga kerja selama satu bulan terakhir sebelum terjadinya kecelakaan, hal ini didasarkan atas pemikiran bahwa tenaga kerja yang sementara tidak mampu bekerja akibat kecelakaan kerja,  tetap dapat memperoleh penghasilan yang sama besarnya dengan upah yang diterima sebelum terjadi kecelakaan.

Contoh:
  1. tenaga kerja A mendapat kecelakaan kerja pada tanggal 5 Maret 2011, maka upah yang dijadikan dasar dalam menghitung jaminan kecelakaan kerja adalah upah yang diterima pada bulan terakhir sebelum kecelakaan terjadi yaitu upah bulan Februari 2011, karena untuk bulan Maret tenaga kerja belum menerima upah.
  2. tenaga kerja B mendapat kecelakaan kerja pada tanggal 30 Maret  2011, perusahaan membayar upah tenaga kerja pada tanggal 25 setiap bulannya, maka upah yang dijadikan dasar dalam menghitung jaminan kecelakaan kerja adalah upah yang diterima Tenaga Kerja pada bulan terakhir sebelum kecelakaan terjadi yaitu upah bulan Maret 2011, karena untuk bulan Maret tenaga kerja telah menerima upah.

6. Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja yang selanjutnya disingkat  STMB pada hakekatnya merupakan pengganti upah bagi tenaga kerja yang sementara tidak mampu bekerja akibat kecelakaan kerja. Namun dalam menghitung santunan STMB upah yang digunakan adalah upah sebagai dasar dalam menghitung jaminan kecelakaan kerja karena STMB merupakan bagian dari jaminan kecelakaan kerja sehingga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 20 ayat (1) sampai dengan ayat (4) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Jika upah yang dilaporkan kepada Badan Penyelenggara tidak sesuai dengan upah yang sebenarnya, maka Badan Penyelenggara menghitung sesuai dengan upah yang dilaporkan dan selisihnya merupakan tanggung jawab perusahaan.

7. Kecelakaan kerja adalah kecelakaan yang terjadi berhubung dengan hubungan kerja, termasuk penyakit yang timbul karena hubungan kerja, demikian pula kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja dan pulang ke rumah melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui.
Bahwa suatu kasus dinyatakan kasus kecelakaan kerja apabila terdapat unsur ruda paksa yaitu cedera pada tubuh manusia akibat suatu peristiwa atau kejadian (seperti terjatuh, terpukul, tertabrak dan lain-lain) dengan kriteria sebagai berikut:
  1. kecelakaan terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja atau sebaliknya melalui jalan yang biasa dilalui atau wajar dilalui.
Pengertian kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan berangkat dari rumah menuju tempat kerja adalah sejak tenaga kerja tersebut keluar dari halaman rumah dan berada di jalan umum. Sehingga untuk pembuktiannya harus dilengkapi dengan surat keterangan dari pihak kepolisian atau 2 (dua) orang saksi yang mengetahui kejadian.

  1. pengertian kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja mempunyai arti yang luas, sehingga  sulit untuk diberikan batasan secara konkrit. Namun demikian sebagai pedoman dalam menentukan apakah suatu kecelakaan termasuk kecelakaan berhubung dengan hubungan kerja dapat dilihat dari:
1)      Kecelakaan terjadi di tempat kerja;
2)      Adanya perintah kerja dari atasan/pemberi kerja/pengusaha untuk melakukan pekerjaan;
3)      Melakukan pekerjaan yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan; dan/atau

4)      Melakukan hal-hal lain yang sangat penting dan mendesak dalam jam kerja atas izin atau sepengetahuan perusahaan.

  1. Penyakit Akibat Kerja yang selanjutnya disingkat PAK (Occupational Disease) yaitu penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan atau lingkungan kerja yang dalam Keputusan Presiden Nomor  22 Tahun 1993 disebut Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja.
Sebagai bahan pertimbangan dalam menganalisis dan menetapkan apakah  PAK (Occupational Disease) atau penyakit akibat hubungan kerja (Work Related Disease) diperlukan data pendukung antara lain:
1)      Data hasil pemeriksaan kesehatan awal (sebelum tenaga kerja di pekerjakan di perusahaan yang bersangkutan);
2)   Data hasil pemeriksaan kesehatan berkala (pemeriksaan yang di lakukan secara periodik selama tenaga kerja bekerja di perusahaan yang bersangkutan);
3)   Data hasil pemeriksaan khusus (pemeriksaan dokter yang merawat tenaga kerja tentang riwayat penyakit yang di deritanya);
4)      Data hasil pengujian lingkungan kerja oleh Pusat Keselamatan dan Kesehatan Kerja beserta balai-balainya, atau lembaga-lembaga lain yang ditunjuk oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi;
5)   Data hasil pemeriksaan kesehatan tenaga kerja secara umum di bagian tersebut;
6)   Riwayat pekerjaan tenaga kerja;
7)   Riwayat kesehatan tenaga kerja;
8)   Data medis/rekam medis tenaga kerja;
9)      Analisis hasil pemeriksaan lapangan oleh Pengawas Ketenagakerjaan; dan/atau
10)    Pertimbangan medis dokter penasehat.




Kondisi lain yang dapat dikategorikan sebagai kecelakaan kerja diluar ketentuan sebagaimana dimaksud pada  huruf a, huruf b, dan huruf c yaitu:
a)    Pada hari kerja:
1)   Kecelakaan yang terjadi pada waktu melakukan perjalanan dinas sepanjang kegiatan yang dilakukan ada kaitannya dengan pekerjaan dan/atau dinas untuk kepentingan perusahaan yang dibuktikan dengan surat perintah tugas.
2)   Kecelakaan yang terjadi pada waktu melakukan kerja lembur yang harus dibuktikan dengan surat perintah lembur.

b)      Di luar waktu/jam kerja:
1)      Kecelakaan yang terjadi pada waktu melaksanakan aktivitas lain yang berkaitan dengan kepentingan perusahaan dan harus dibuktikan dengan surat tugas dari perusahaan.
Contoh:       melaksanakan kegiatan olahraga untuk menghadapi pertandingan 17 Agustus, pelatihan/diklat, darmawisata dan outbond yang dilaksanakan perusahaan sebagai kegiatan yang telah diagendakan oleh perusahaan.
2)   Kecelakaan yang terjadi pada waktu yang bersangkutan sedang menjalankan cuti mendapat panggilan atau tugas dari perusahaan, maka perlindungannya adalah dalam perjalanan pergi dan pulang  untuk memenuhi panggilan tersebut.

c)       Kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pergi dan pulang dari Base Camp atau anjungan yang berada di tempat kerja menuju ke tempat tinggalnya untuk menjalani istirahat (dibuktikan dengan keterangan perusahaan dan jadwal kerja).

d)      Kecelakaan yang terjadi dalam perjalanan pergi dan pulang melalui jalan yang biasa dilalui atau wajar bagi tenaga kerja yang setiap akhir pekan kembali ke rumah tempat tinggal yang sebenarnya (untuk tenaga kerja yang sehari-hari bertempat tinggal di rumah kost/mess/asrama dll).

8. Penyakit Akibat Hubungan Kerja/Penyakit Terkait Kerja (work related disease) adalah penyakit yang dicetuskan atau diperberat oleh pekerjaan atau lingkungan kerja tidak termasuk PAK, namun yang bersangkutan memperoleh Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK).
Contoh: penyakit asma yang diakibatkan keturunan, penyakit hernia yang ada faktor bawaan.

9. Tempat kerja adalah tiap ruangan atau lapangan tertutup atau terbuka, bergerak atau tetap, dimana tenaga kerja bekerja, atau yang sering dimasuki tenaga kerja untuk keperluan suatu usaha dan dimana terdapat sumber atau sumber-sumber bahaya sebagaimana dirinci dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Termasuk tempat kerja adalah semua ruangan, lapangan, halaman dan sekelilingnya yang merupakan bagian-bagian yang berhubungan dengan tempat kerja tersebut.

Tempat kerja harus memenuhi 3 (tiga) unsur yang merupakan satu kesatuan:
  1. adanya tenaga kerja yang bekerja disana;
  2. adanya bahaya kerja di tempat itu; dan
  3. tempat dimana dilakukan pekerjaan bagi suatu usaha.

  1. Meninggal mendadak di tempat kerja pada hakekatnya bukan kecelakaan kerja, namun karena kejadiannya sedang bekerja di tempat kerja, maka pemerintah memberikan suatu kebijakan perluasan perlindungan sehingga meninggal mendadak di tempat kerja dianggap sebagai kecelakaan kerja. Kepada yang bersangkutan diberikan jaminan kecelakaan kerja sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
Untuk memperoleh jaminan kecelakaan kerja akibat meninggal mendadak di tempat kerja harus memenuhi kriteria sebagai berikut:
  1. tenaga kerja pada saat bekerja di tempat kerja tiba-tiba meninggal dunia tanpa melihat penyebab dari penyakit yang dideritanya.
  2. tenaga kerja pada saat bekerja di tempat kerja mendapat serangan penyakit kemudian langsung dibawa ke dokter/unit pelayanan kesehatan/rumah sakit dan tidak lebih dari 24 (dua puluh empat) jam kemudian meninggal dunia.

  1. Kecacatan
Pengertian cacat adalah keadaan hilang atau berkurangnya fungsi anggota badan yang secara langsung atau tidak langsung mengakibatkan hilang atau berkurangnya kemampuan untuk menjalankan pekerjaan.
Kecacatan dapat dibagi dalam 3 jenis:
  1. cacat sebagian untuk selamanya adalah cacat yang mengakibat­kan hilangnya sebagian atau beberapa bagian dari anggota tubuh.
b. cacat kekurangan fungsi adalah cacat yang mengakibatkan berkurangnya fungsi sebagian atau beberapa bagian dari anggota tubuh untuk selama-lamanya.
  1. cacat total untuk selamanya adalah keadaan tenaga kerja tidak mampu bekerja sama sekali untuk selama-lamanya.
Dalam menyatakan cacat total, dokter yang merawat atau dokter penasehat harus melakukan pemeriksaan fisik kepada tenaga kerja yang bersangkutan agar pertimbangan medis dapat diberikan secara akurat dan obyektif.

  1. Dokter penasehat adalah dokter yang ditunjuk oleh Menteri Kesehatan atas usul dan diangkat oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi  untuk keperluan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Ruang Lingkup Dan Besarnya Jaminan Kecelakaan Kerja

Ruang lingkup dan besarnya jaminan kecelakaan kerja meliputi:
  1. Biaya Pengangkutan
Tenaga kerja yang mendapat kecelakaan kerja berhak atas biaya  pengangkutan dari tempat kejadian ke rumah sakit atau ke rumah termasuk biaya pertolongan pertama pada kecelakaan, terdiri dari:
-    angkutan darat/sungai/danau sebesar Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah);
-        angkutan laut sebesar Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah); dan/atau
-            angkutan udara sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
Apabila menggunakan lebih dari 1 (satu) jenis angkutan biaya pengangkutan dibayarkan sesuai dengan angkutan yang digunakan dan dibayarkan maksimal dari total angkutan yang digunakan.
  1. Biaya Pemeriksaan, Pengobatan, dan/atau Perawatan Selama di Rumah Sakit Termasuk Rawat Jalan
Biaya pemeriksaan, perawatan dan/atau pengobatan dibayarkan sesuai dengan biaya yang dikeluarkan, meliputi:
1)     perawatan puskesmas, rumah sakit umum kelas 1 (satu);
2)     dokter;
3)     obat;
4)     operasi;
5)     rontgen, laboratorium;
6)     gigi;
7)     mata; dan
8)     jasa tabib/sinshe/tradisional, yang telah mendapat izin resmi dari instansi yang berwenang.

Biaya perawatan dan pengobatan adalah tarif biaya Kelas 1 (satu) Rumah Sakit Umum Pemerintah tertinggi setempat dimana tenaga kerja tersebut dirawat termasuk perawatan di ICU, biaya operasi, biaya penunjang diagnostik, biaya jasa dokter (visite docter) atau rumah sakit swasta yang memiliki ikatan kerjasama dengan Badan Penyelenggara.

Seluruh biaya yang dikeluarkan untuk satu peristiwa kecelakaan kerja tersebut di atas dibayarkan maksimum Rp20.000.000,00 (dua puluh juta rupiah).

Apabila biaya pemeriksaan, perawatan dan/atau pengobatan melebihi batas maksimal yang ditentukan, maka sesuai ketentuan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja dan peraturan pelaksanaanya, risiko pekerjaan merupakan tanggung jawab perusahaan, sehingga perusahaan tetap berkewajiban untuk membayar kekurangannya dan tidak boleh dibebankan kepada pekerja.

  1. Biaya penggantian gigi tiruan maksimal sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
  2. Biaya rehabilitasi harga berupa penggantian pembelian alat bantu (orthose) dan/atau alat pengganti (prothese) diberikan 1 (satu) kali untuk setiap kasus dengan patokan harga yang ditetapkan oleh pusat rehabilitasi rumah sakit umum pemerintah dan ditambah 40 % (empat puluh perseratus) dari harga tersebut serta biaya rehabilitasi medik maksimum Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).
  3. Santunan berupa uang meliputi:
1)   Santunan Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB) diberikan kepada Tenaga Kerja selama yang bersangkutan tidak mampu bekerja sebagai pengganti dari upah Tenaga Kerja, meliputi:

-          4 (empat) bulan pertama 100 % x upah sebulan;
-      4 (empat) bulan kedua 75 % x upah sebulan; dan
-          bulan seterusnya 50 % x upah sebulan.

2)   Santunan Cacat,  meliputi:
a)     Santunan cacat sebagian (Cacat Anatomis) untuk selamanya yaitu santunan yang diberikan kepada tenaga kerja apabila akibat dari kecelakaan kerja, tenaga kerja mengalami cacat sebagian dimana bagian dari anggota tubuhnya hilang. Santunan cacat sebagian dibayar sekaligus dengan besarnya adalah % sesuai tabel x 80 (delapan puluh) bulan upah;

b)     Santunan cacat total selamanya yaitu santunan cacat yang diberikan kepada tenaga kerja apabila akibat dari kecelakaan kerja tersebut tenaga kerja mengalami cacat total baik fisik/mental sehingga yang bersangkutan tidak dapat lagi melakukan pekerjaan dan untuk keperluan hidupnya selalu membutuhkan bantuan dari    orang lain (cacat total dihitung maksimal 70 % (tujuh puluh perseratus), meliputi:
-    Santunan sekaligus sebesar 70 % x 80 (delapan puluh) bulan upah; dan
-    Santunan berkala sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) perbulan dibayar selama 24 (dua puluh empat) bulan atau dibayar sekaligus sebesar Rp4.800.000,00 (empat juta delapan ratus ribu rupiah) atas pilihan tenaga kerja yang bersangkutan.

c)     Santunan cacat kekurangan fungsi yaitu santunan yang diberikan kepada tenaga kerja apabila akibat kecelakaan kerja tersebut tenaga kerja tidak kehilangan bagian dari anggota tubuh melainkan bagian dari anggota tubuh tersebut berkurang fungsinya bila dibandingkan sebelum terjadi kecelakaan. Cacat fungsi ini dapat dihitung sampai maksimal 100% (seratus perseratus) untuk masing-masing anggota tubuh. Untuk menghitung besarnya santunan masih dikalikan dengan persentase nilai cacat yang ada dalam tabel lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, santunan cacat kekurangan fungsi dibayarkan secara sekaligus (lumpsum) dengan besarnya adalah % berkurangnya fungsi x % sesuai tabel x 80 (delapan puluh) bulan upah.

3)   Santunan kematian yaitu santunan yang diberikan kepada ahli waris dari tenaga kerja apabila akibat dari kecelakaan kerja tersebut tenaga kerja meninggal dunia, meliputi:
-      santunan sekaligus sebesar 60 % x 80 (delapan puluh) bulan upah, sekurang-kurangnya sebesar santunan kematian.
-      santunan berkala dibayar sebesar Rp200.000,00 (dua ratus ribu rupiah) perbulan selama 24 (dua puluh empat) bulan atau dibayarkan dimuka sekaligus sebesar Rp4.800.000,00 (empat juta delapan ratus ribu rupiah) atas pilihan janda atau duda atau anak tenaga kerja yang bersangkutan; dan
-      biaya pemakamaan dibayarkan sekaligus sebesar Rp2.000.000,00 (dua juta rupiah).

  1. Mekanisme Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat  Kerja (PAK)

  1. Mekanisme Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja
    1. Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa tenaga kerja kepada Dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat dan Badan Penyelenggara dengan laporan kecelakaan bentuk KK2 tidak lebih 2 x 24 (dua puluh empat) jam sejak terjadi kecelakaan.
Dasar hukum:
-  Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 18 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
-  Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan, dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Pengusaha wajib melaporkan kepada Dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat dan Badan Penyelenggara dengan laporan kecelakaan bentuk KK3 tidak lebih 2 x 24 (dua puluh empat) jam setelah tenaga kerja dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia berdasarkan surat keterangan Dokter Pemeriksa (KK4).
Dasar hukum:
-  Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
-  Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Laporan KK3 sekaligus merupakan pengajuan jaminan kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan:
1)   Kartu Peserta Jamsostek (KPJ).
2)   Surat Keterangan Dokter  pemeriksa (KK4).
3)   Kuitansi biaya pengangkutan, pengobatan dan perawatan.
4)   Dokumen-dokumen lainnya yang diperlukan.
Dasar hukum:
Pasal 18 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Bila data tidak lengkap, Badan Penyelenggara memberitahu pengusaha selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak KK3 diterima.
Dasar Hukum:
Pasal 10 ayat 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Apabila data lengkap, Badan Penyelenggara pada tingkat pertama membuat perhitungan dan membayar jaminan kecelakaan kerja  berdasarkan surat keterangan dokter pemeriksa.
Dasar Hukum:
-  Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo Pasal 16 Ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
-  Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER-12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.


  1. Apabila Badan Penyelenggara memerlukan pertimbangan medis dari dokter penasehat wilayah dapat meminta melalui Pengawas Ketenagakerjaan.
Dasar Hukum:
Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  PER 17/MEN/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan Tata Kerja Dokter Penasehat.

  1. Apabila terjadi perbedaan pendapat antara para pihak mengenai kecelakaan kerja atau bukan kecelakaan kerja mengenai:
1)   Akibat kecelakaan kerja.
2)   Besarnya prosentase cacat akibat kecelakaan kerja.
3)   Besarnya jaminan.
maka pihak yang tidak menerima dapat meminta penetapan kepada Pengawas Ketenagakerjaan
Dasar Hukum :
-  Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
-  Pasal 12 ayat (1) dan Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Berdasarkan permintaan dimaksud, Pengawas Ketenagakerjaan dapat bersama-sama dengan Badan Penyelenggara mengadakan penelitian dan pemeriksaan ke lapangan atas kejadian kecelakaan dimaksud untuk dianalisis. Apabila Pengawas Ketenagakerjaan memerlukan pertimbangan medis dalam menetapkan besarnya cacat akibat kecelakaan kerja, dapat meminta pertimbangan medis kepada dokter penasehat wilayah dengan melampirkan data-data medis yang berkaitan dengan kasus tersebut (surat keterangan dokter pemeriksa dalam bentuk form KK4, hasil rekam medis dan data penunjang diagnostik lainnya).
Dasar hukum:
Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja..

  1. Berdasarkan hasil penelitian dan pemeriksaan lapangan serta pertimbangan medis dari dokter penasehat wilayah, Pengawas Ketenagakerjaan pada tingkat dua membuat penetapan.

Dasar hukum:
Pasal 12 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Dalam hal penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tidak dapat diterima salah satu pihak, maka pihak yang tidak menerima dapat meminta penetapan Menteri.
Dasar hukum:
-  Pasal 24 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 16 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
-  Pasal 12 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Penetapan Menteri merupakan keputusan akhir dan wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Dasar hukum:
Pasal 14 ayat (5) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Mekanisme Penyelesaian Kasus Penyakit Akibat Kerja (PAK).
    1. Bagi tenaga kerja yang masih dalam hubungan kerja, pengusaha wajib melaporkan penyakit yang timbul karena hubungan kerja ke dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat dan Badan Penyelenggara dalam bentuk form KK2 tidak lebih dari 2 X 24 (dua puluh empat) jam setelah ada hasil diagnosis dari dokter pemeriksa.
Dasar hukum:
Pasal 19 Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 8 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.


  1. Bagi tenaga kerja yang sudah berhenti bekerja pelaporan penyakit akibat kerja dapat dilakukan oleh perusahaan atau tenaga kerja ke Badan Penyelenggara dengan melampirkan hasil diagnosis dokter pemeriksa meskipun hubungan kerja telah berakhir, asalkan penyakit tersebut timbul dalam jangka waktu tidak lebih dari 3 (tiga) tahun sejak hubungan kerja berakhir.
Dasar hukum:
Pasal 10 ayat (3) Undang-Undang Nomor  3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja  jo Pasal 50 ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja beserta penjelasannya.

  1. Pengusaha wajib melaporkan kepada dinas yang membidangi ketenagakerjaan setempat dan Badan Penyelenggara dengan laporan bentuk form KK3 tidak lebih dari 2 x 24 (dua puluh empat) jam setelah tenaga kerja berdasarkan surat keterangan dokter pemeriksa (dalam bentuk KK5) dinyatakan sembuh, cacat, atau meninggal dunia.
Dasar Hukum:
-  Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor  3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo Pasal 18 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja;
-  Pasal 8 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Laporan dalam bentuk form KK3 yang disampaikan ke Badan Penyelenggara berfungsi sebagai pengajuan jaminan kecelakaan kerja kepada Badan Penyelenggara dengan melampirkan:
1)   Copy kartu peserta jamsostek (KPJ);
2)   Surat keterangan dokter pemeriksa (KK5);
3)   Kuitansi biaya pengangkutan, pengobatan dan perawatan;
4)   Dokumen pendukung lain yang diperlukan Badan Penyelenggara.
Dasar hukum:
Pasal 18 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 10 ayat (l) dan (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Bila data tidak lengkap, Badan Penyelenggara memberitahu Pengusaha selambat-lambatnya 7  (tujuh) hari sejak KK3 diterima.
Dasar hukum:
Pasal 10 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Apabila data lengkap, Badan Penyelenggara pada tingkat pertama menghitung dan membayar jaminan kecelakaan kerja berdasarkan surat keterangan dokter pemeriksa.
Dasar hukum:
-  Pasal 24 ayat (1) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja jo. Pasal 16 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
-  Pasal 11 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Apabila Badan Penyelenggara memerlukan pertimbangan medis dokter penasehat wilayah, dapat meminta melalui Pengawas Ketenagakerjaan.
Dasar hukum :
Pasal 15 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan Tata Kerja Dokter Penasehat.

  1. Bila terjadi perbedaan pendapat antara pihak-pihak mengenai:
1)        PAK atau bukan.
2)        akibat dari PAK.
3)        besarnya prosentase cacat akibat PAK.
4)        besarnya jaminan.

Maka pihak yang tidak menerima dapat meminta penetapan kepada Pengawas Ketenagakerjaan.
Dasar Hukum :
-  Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Nomor  3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja  jo. Pasal 16 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
-  Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Berdasarkan permintaan dimaksud, Pengawas Ketenagakerjaan dapat bersama-sama dengan Badan Penyelenggara mengadakan penelitian dan pemeriksaan ke lapangan untuk memperoleh data-data berupa:
1)      Riwayat pekerjaan tenaga kerja.
2)   Riwayat kesehatan tenaga kerja.
3)   Data medis/rekam medis dari tenaga kerja.
Kemudian Pengawas Ketenagakerjaan membuat analisis hasil pemeriksaan lapangan.
Dasar hukum:
Pasal 12 ayat (2) Peraturan Menteri Tenaga Kerja  dan Transmigrasi Nomor  PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Apabila Pengawas Ketenagakerjaan masih ragu dan memerlukan pertimbangan medis dokter penasehat, maka Pengawas Ketenagakerjaan dapat meminta pertimbangan medis kepada dokter penasehat wilayah dengan melampirkan data-data pendukung sebagai berikut:
1)     Riwayat pekerjaan tenaga kerja.
2)     Riwayat kesehatan tenaga kerja.
3)     Data medis/rekam medis dari tenaga kerja.
4)     Data hasil pengujian lingkungan kerja.
5)     Analisa  hasil  pemeriksaan  lapangan  yang  dilakukan  Pengawas Ketenagakerjaan.
Data-data ini diperlukan sebagai bahan masukan bagi dokter penasehat wilayah dalam memberikan pertimbangan medis.
Dasar hukum:
Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  PER.17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan Tata Kerja Dokter Penasehat.

  1. Pertimbangan medis dokter penasehat wilayah bukan merupakan penetapan melainkan hanya sebagai bahan pertimbangan medis bagi Pengawas Ketenagakerjaan dalam membuat penetapan.
Dasar hukum:
Pasal 2 Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  PER.17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan Tata Kerja Dokter Penasehat.

  1. Pengawas Ketenagakerjaan pada tingkat kedua membuat penetapan.
Dalam membuat penetapan Pengawas Ketenagakerjaan mempunyai kewenangan untuk membuat penelitian berdasarkan keyakinannya dengan di dukung data-data berupa:
1)   Pertimbangan medis dokter penasehat wilayah.
2)   Surat keterangan dokter pemeriksa (bentuk KK5).
3)   Riwayat pekerjaan tenaga kerja.
4)   Riwayat kesehatan tenaga kerja.
5)   Rekam medis/data medis tenaga kerja.
6)   Analisis hasil pemeriksaan lapangan.
Dasar Hukum:
Pasal 12 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Apabila penetapan Pengawas Ketenagakerjaan tidak diterima salah  satu  pihak, maka pihak yang tidak menerima dapat meminta penetapan Menteri.
Dasar hukum :
-  Pasal 24 ayat (4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial, Pasal 16 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.
-  Pasal 12 ayat (4) dan pasal 13 ayat (3) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Penetapan Menteri merupakan keputusan akhir dan wajib dilaksanakan oleh para pihak.
Dasar hukum:
Pasal 14 ayat (5) Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor PER.12/MEN/VI/2007 tentang Petunjuk Teknis Pendaftaran Kepesertaan, Pembayaran Iuran, Pembayaran Santunan dan Pelayanan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

o.    Dalam menyelesaikan kasus PAK selain menyelesaikan masalah kompensasinya juga harus ditindaklanjuti dengan tindakan yang dilakukan oleh perusahaan berupa pencegahan PAK agar kasus serupa tidak terjadi lagi.
Dasar hukum:
Pasal 3 dan Pasal 8 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja jo. Pasal 3 Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.02/MEN/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Tenaga Kerja Dalam Penyelenggaraan Keselamatan Kerja, dan Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor Per.01/MEN/1981 tentang Kewajiban Melapor Penyakit akibat Kerja.

  1. Tugas Dan Fungsi Dokter Penasehat Dalam Menyelesaikan Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja.

  1. Tugas Dokter Penasehat
Adapun tugas dokter penasehat antara lain:
  1. melakukan pemeriksaan rekam medis dan bila dipandang perlu melakukan pemeriksaan ulang kepada tenaga kerja. Hal tersebut dilakukan untuk mendapatkan hasil yang optimal dan akurat berkenaan dengan penyelesaian kasus jaminan kecelakaan kerja.
  2. menyatakan berapa besar prosentase cacat fungsi, cacat anatomis dan PAK. Hal tersebut dilakukan apabila terjadi perbedaan pendapat antara Badan Penyelenggara dengan pengusaha dan/atau tenaga kerja atau ahli warisnya berkenaan dengan penyelesaian kasus jaminan kecelakaan kerja.
  3. memberikan pertimbangan medis kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menetapkan besarnya prosentase cacat dan PAK yang belum diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan.
  4. mengadakan konsultasi dengan dokter pemeriksa dan/atau dokter spesialis apabila terdapat keraguan dalam menetapkan PAK atau prosentase cacat.

  1. Fungsi Dokter Penasehat

Dokter penasehat mempunyai fungsi memberikan pertimbangan medis kepada Pengawas Ketenagakerjaan dan/atau Badan Penyelenggara dalam menyelesaikan kasus jaminan kecelakaan kerja. Dalam mengemban fungsi tersebut di atas, dokter penasehat   melaksanakan  tugas  sesuai  dengan mekanisme yang terdapat dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor  PER-17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan Tata Kerja Dokter Penasehat.

  1. Kualifikasi Dokter Penasehat

Selain memiliki kecakapan di bidang medis diharapkan juga dibekali pengetahuan di bidang ketenagakerjaan melalui pelatihan teknis, sehingga dokter penasehat memiliki:
  1. pengetahuan dan kemampuan yang cukup tentang keselamatan dan kesehatan kerja;
b. pengetahuan di bidang ketenagakerjaan, khususnya di bidang norma jaminan sosial tenaga kerja dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
  1. Pengetahuan ilmu kedokteran cukup, terutama yang berhubungan dengan PAK;
d. Kemampuan menentukan diagnosa penyakit yang berhubungan dengan pelaksanaan;
  1. Pengetahuan yang cukup tentang hal-hal yang berhubungan dengan kecelakaan kerja dan akibat yang ditimbulkannya;
  2. Pengetahuan dan kemampuan yang cukup dalam menetapkan tingkat kecacatan yang diakibatkan oleh kecelakaan dan PAK sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
  3. kemampuan berkomunikasi yang baik dengan semua pihak yang terlibat di dalam pelaksanaan program jaminan kecelakaan kerja, sehingga dapat dihindarkan benturan-benturan yang tidak perlu terjadi;
h. kemampuan untuk melaksanakan tugas dan fungsinya secara terbuka, adil dan jujur tanpa melupakan profesi dokter yang berlaku serta tidak menyebabkan kerugian bagi pihak-pihak terkait;
  1. kesediaan untuk memberikan prioritas waktu yang cukup bagi penanganan dan/atau pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai dokter penasehat; dan
  2. kemampuan untuk bertindak tegas di dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dengan tetap berlandaskan ilmu dan pengetahuan yang dimilikinya.

  1. Sikap Dalam Membuat Keputusan

Dalam membuat setiap keputusan, dokter penasehat harus:
  1. mampu dan berani menyimpulkan keputusan berdasarkan kepada kemampuan profesional;
  2. untuk memenuhi objektivitas dan legalitas keputusan maka dokter penasehat harus dapat menghilangkan kepentingan pribadi dan dapat bersikap netral. Tidak merugikan tenaga kerja, pengusaha maupun Badan Penyelenggara;
  3. segala tindakan dengan memperhatikan kode etik kedokteran;
  4. apabila seorang dokter penasehat karena keterbatasan pengetahuannya ragu dalam mengambil keputusan, maka ia dapat merujuk bidang medis kepada dokter spesialis, dokter penasehat pada tingkat pusat atau dokter penasehat yang lebih senior;
  5. dalam keadaan yang memaksa dimana keadaan mendesak dan keterbatasan dalam kesempatan merujuk, maka dokter penasehat harus berani mengambil keputusan berdasarkan kemampuan profesional; dan
  6. sebagaimana bidang kedokteran lainnya maka sifat kerahasiaan medis harus tetap dijaga oleh dokter penasehat.

  1. Tata Cara Pemberian Pertimbangan Medis

Di dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan Tata Kerja Dokter Penasehat telah diatur tentang tata cara dan prosedur pemberian pertimbangan medis yang dibutuhkan. Akan tetapi di dalam pelaksanaannya sangat dirasakan adanya hambatan yang dapat memperpanjang waktu penyelesaian kasus jaminan kecelakaan kerja. Untuk itu, sangat dianjurkan mencari suatu bentuk penyelesaian yang sebaik-baiknya dengan tujuan menciptakan pelayanan yang terbaik, misalnya dengan mengadakan pertemuan koordinasi antara dokter penasehat, Pengawas Ketenagakerjaan dan Badan Penyelenggara secara rutin dan teratur. Dengan demikian semua kasus dapat diselesaikan secara bersamaan dengan catatan semua pihak harus sudah mempersiapkan segala sesuatu berhubungan dengan kasus tersebut sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing.

Adapun mekanisme pemberian pertimbangan medis adalah sebagai berikut:
  1. Badan Penyelenggara harus menyampaikan secara tertulis kepada Pengawas Ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan rekam medis dan data kecelakaan lainnya.
b. Pengawas Ketenagakerjaan selambat-lambatnya dalam waktu 7 (tujuh) hari terhitung sejak menerima permintaan harus menyampaikannya kepada dokter penasehat dengan melampirkan data-data pendukung secara lengkap.
  1. Dokter penasehat setelah menerima surat permintaan segera mempelajari rekam medis dan data lainnya, bila data-data yang ada masih belum mencukupi, maka dokter penasehat dapat melakukan pemeriksaan ulang termasuk data penunjang diagnostik dan konsultasi kepada dokter spesialis atau dokter penasehat yang senior.
  2. Dokter penasehat memberikan pertimbangan medis secara tertulis kepada Pengawas Ketenagakerjaan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak diterimanya surat permintaan dengan menggunakan formulir Dokter Penasehat yang terdapat dalam lampiran Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.17/MEN/XI/2008 tentang Pengangkatan, Pemberhentian dan Tata Kerja Dokter Penasehat.
  3. Pertimbangan medis yang diberikan mengenai besarnya prosentase cacat akibat kecelakaan kerja atau PAK yang telah tercantum dalam ketentuan peraturan perundang-undangan maupun yang belum diatur dalam ketentuan peraturan perundang- undangan.
  4. Pertimbangan medis ini sebagai bahan masukan bagi Pengawas Ketenagakerjaan dalam menetapkan apakah PAK atau bukan, dan besarnya jaminan kecelakaan kerja.
  5. Biaya untuk pemeriksaan rekam medis dan/atau data lainnya atau pemeriksaan ulang dibebankan pada Badan Penyelenggara atau perusahaan.

  1. Teknik Pemberian Pertimbangan Medis

Di dalam pemberian pertimbangan medis, dokter penasehat perlu data-data sebagai pendukung dalam memberikan pertimbangan medis, yaitu:
  1. Kelengkapan Administrasi:
Data administrasi yang diperlukan di dalam memberikan pertimbangan medis antara lain:
1)   Laporan kecelakaan dalam bentuk KK2 dan KK3.
2)   Surat keterangan dokter pemeriksa berupa bentuk KK4 untuk kasus kecelakaan kerja dan bentuk KK5 untuk kasus PAK.
3)   Riwayat penyakit (medical record) tenaga kerja.
4)   Riwayat pekerjaan tenaga kerja.
5)   Hasil pemeriksaan lapangan dari Pengawas Ketenagakerjaan setempat berupa analisis hasil pemeriksaan lapangan.
6)   Data hasil pengujian lingkungan kerja.

  1. Kualitas Rekam Medis
Rekam medis yang lengkap dan berkualitas akan sangat membantu di dalam memberikan pertimbangan yang baik dan “benar”.
Di dalam membaca rekam medis agar diperhatikan:
-      Khusus isian KK4 dan KK5, terutama yang berkaitan dengan aspek medis sebaiknya diperhatikan apakah isian tersebut sudah benar dan lengkap.
-      Hasil rekam medis (medical record) yang lengkap.
-      Hasil pemeriksaan/pengujian yang terakhir.
-      Memperhatikan hal-hal yang terkait dengan diagnosis, pertolongan pertama dan tindakan yang dilakukan serta kesembuhan dari tenaga kerja yang bersangkutan, seperti pencabutan “pen”.

Apabila rekam medis dirasa kurang lengkap, maka dokter penasehat dapat melakukan pemeriksaan ulang atau tambahan terhadap tenaga kerja yang bersangkutan.

  1. Keterkaitannya Dengan Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku
Pertimbangan medis yang dibuat oleh dokter penasehat harus dapat dipertanggungjawabkan secara profesional dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Perlu diingat bahwa penilaian cacat harus dilakukan dengan mengacu kepada:
1)   Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Tabel Prosentase Cacat);
2)   Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja (terdapat 31 golongan PAK);
3)   Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.25/MEN/XII/2008 tentang Pedoman Diagnosis dan Penilaian Cacat karena kecelakaan dan PAK.

  1. Hal-hal Yang Perlu Diperhatikan
Dalam hal memberikan pertimbangan medis harus sesuai dengan keyakinan dan profesi, antara lain:
1)   Hindarkan  hal-hal yang dapat mempengaruhi pertimbangan medis yang akan diberikan;
2)   Jangan memberikan pertimbangan medis dengan data dan pengamatan yang kurang lengkap terhadap kasus yang dihadapi;
3)   Lebih baik melakukan pemeriksaan ulang agar pertimbangan medis yang diberikan lebih baik dan berkualitas;
4)   Apabila dirasa perlu dapat meminta keterangan yang lebih lengkap kepada dokter yang memeriksa;
5)   Hasil pertimbangan medis yang dibuat disampaikan langsung kepada Pengawas Ketenagakerjaan secara tertulis dengan menggunakan Formulir V.

  1. Tugas Dan Fungsi Pengawas Ketenagakerjaan Dalam Menyelesaikan Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, yang dimaksud dengan Pengawas Ketenagakerjaan adalah pegawai teknis berkeahlian khusus dari Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang ditunjuk oleh Menteri dan Peraturan Presiden No. 21 tahun 2010 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan.
1. Tugas dari Pengawas Ketenagakerjaan, antara lain:
  1. melakukan penelitian dan pemeriksaan ke lapangan berdasarkan laporan kecelakaan tahap I.
b. menganalisis hasil temuan yang didapat dilapangan.
  1. meminta pertimbangan medis kepada dokter penasehat.
d. berkoordinasi dengan pihak-pihak yang terkait dalam menyelesaikan kasus kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.
  1. menegakkan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

  1. Fungsi dari Pengawas Ketenagakerjaan dalam menyelesaikan kasus kecelakaan kerja dan PAK adalah menetapkan suatu kasus apakah kasus tersebut masuk kecelakaan kerja dan PAK atau bukan dan menindaklanjuti pelaksanaan penetapan tersebut.


  1. Hal-hal yang harus diperhatikan dalam membuat penetapan, antara lain:
    1. Kasus kecelakaan kerja, antara lain:
1)     Memperhatikan data administrasi
a)  Surat pengaduan dari pihak-pihak yang tidak bisa menerima perhitungan dan/atau surat penolakan dari Badan Penyelenggara.
b)  Laporan kecelakaan tahap I dan tahap II (KK2, KK3).
c)  Surat keterangan dokter yang memeriksa (KK4) atau surat pertimbangan medis dokter penasehat wilayah.
d)  Data-data pendukung antara lain:
-  Kronologis kejadian;
-  Keterangan saksi yang mengetahui kejadian tersebut;
-  Denah lokasi kejadian.
2)     Upah yang dijadikan dasar dalam menghitung jaminan kecelakaan kerja.
3)     Laporan hasil pemeriksaan di lapangan
4)     Memperhatikan ketentuan-ketentuan dan batas kewenangan yang diamanatkan oleh  Undang-Undang.

  1. PAK, antara lain:
1)     Memperhatikan data administrasi
a)     Surat pengaduan dari pihak-pihak yang tidak bisa  menerima perhitungan dan/atau surat penolakan dari Badan Penyelenggara;
b)     Laporan kecelakaan tahap I dan tahap II (KK2, KK3);
c)      Surat keterangan dokter yang memeriksa (KK5) atau surat pertimbangan medis dokter penasehat wilayah;
d)     Data-data pendukung:
-  Riwayat penyakit tenaga kerja;
-  Riwayat pekerjaan tenaga kerja;
-  Rekam medis/data-data medis tenaga kerja;
-  Data hasil pengujian lingkungan kerja;
-  Analisis hasil pemeriksaan  lapangan oleh Pengawas Ketenagakerjaan;
2)     Upah yang dijadikan dasar dalam menghitung jaminan kecelakaan kerja.
3)     Laporan hasil pemeriksaan di lapangan.
4)     Memperhatikan ketentuan-ketentuan dan batas kewenangan yang diamanatkan oleh Undang-Undang.

4. Sikap Pengawas Ketenagakerjaan dalam membuat penetapan harus:
  1. Mampu dan berani menyimpulkan keputusan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan  dengan kemampuan profesional yang dimiliki dan kode etik Pengawas Ketenagakerjaan.
  2. Untuk memenuhi objektivitas keputusan, Pengawas Ketenagakerjaan harus dapat menghilangkan kepentingan pribadi dan harus bersikap netral serta tidak merugikan tenaga kerja, pengusaha, maupun Badan Penyelenggara; dan
  3. Apabila seorang Pengawas Ketenagakerjaan karena keterbatasannya, ragu dalam mengambil keputusan khususnya yang berkaitan dengan bidang medis, maka ia dapat meminta pertimbangan medis kepada dokter penasehat.

  1. Hal-Hal Yang Perlu Diperhatikan Dalam Penyelesaian Kasus Kecelakaan Kerja Dan Penyakit Akibat Kerja

  1. Dalam hal kecelakaan kerja, maka upah sebagai dasar penetapan jaminan kecelakaan kerja bagi magang, murid, pemborong pekerjaan, dan narapidana yang dipekerjakan di perusahaan adalah sebagai berikut:
    1. magang atau murid atau narapidana dianggap menerima upah sebesar upah sebulan tenaga kerja yang melakukan pekerjaan yang sama pada perusahaan yang bersangkutan.
    2. perorangan yang memborong pekerjaan dianggap menerima upah sebesar upah tertinggi dari tenaga kerja pelaksana yang bekerja pada perusahaan yang memborong pekerjaan.

  1. Apabila tenaga kerja mendapat kecelakaan kerja, kemudian akibat dari kecelakaan tersebut tenaga kerja menderita cacat di beberapa bagian tubuh yang apabila kecacatan tersebut dijumlah melebihi 70 % (tujuh puluh perseratus), maka kecacatan yang ditetapkan maksimal 70% (tujuh puluh perseratus) cacat total.

  1. Apabila di suatu instansi yang membidangi ketenagakerjaan pada pemerintah kabupaten/kota tidak terdapat Pengawas Ketenagakerjaan, maka penetapan jaminan kecelakaan kerja dilakukan oleh Pengawas Ketenagakerjaan di dinas yang membidangi ketenagakerjaan provinsi setempat.

  1. Bila terjadi kecelakaan kerja, tetapi perusahaan menunggak iuran maka langkah yang dapat dilakukan adalah:
    1. terhadap tenaga kerja yang mendapat kecelakaan kerja tetap memperoleh hak-haknya sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
    2. terhadap perusahaan yang menunggak iuran agar dilakukan penegakan hukum.

  1. PT. Jamsostek (Persero) tidak diperbolehkan untuk menerima pendaftaran peserta yang upahnya di bawah upah minimum daerah setempat. Bagi perusahaan yang terlanjur menjadi peserta dengan upah di bawah Upah Minimum Provinsi/Upah Minimum Kabupaten/Kota setempat, maka PT. Jamsostek (Persero) segera melaporkan perusahaan tersebut kepada dinas yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan.

  1. Terhadap Perusahaan Daftar Sebagian Upah (PDS Upah) PT. Jamsostek (Persero) menetapkan jaminan kecelakaan kerja berdasarkan upah yang dilaporkan dan segera melaporkan perusahaan tersebut kepada dinas yang membidangi pengawasan ketenagakerjaan setempat.

  1. Dokter penasehat dalam memberikan pertimbangan medis untuk kecacatan total berdasarkan  penilaian dokter pemeriksa, sebaiknya melihat kondisi fisik tenaga kerja karena cacat total hanya dapat diberikan kepada tenaga kerja yang sudah tidak dapat bekerja kembali.

  1. Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja yang memuat 31 penyakit yang timbul karena hubungan kerja bukanlah merupakan jenis penyakit melainkan merupakan golongan-golongan penyakit yang secara klinis terdiri dari banyak penyakit.

  1. Dalam hal suatu penyakit tidak tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja, sepanjang dapat dibuktikan penyakit tersebut akibat dari pekerjaan atau lingkungan kerja, maka penyakit tersebut dapat digolongkan sebagai PAK.

  1. Apabila tenaga kerja masih dalam pengobatan dan atau perawatan maka penetapan besarnya prosentase cacat dan besarnya jaminan kecelakaan kerja belum dapat dilakukan, karena hal ini akan mengakibatkan terjadinya penetapan 2 (dua) kali apabila ternyata kecacatan tersebut mengalami perubahan setelah tenaga kerja dinyatakan sembuh.

  1. Penentuan tingkat cacat di bidang orthopaedi dilakukan setelah menjalani pengobatan sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dan selama-lamanya 24 (dua puluh empat) bulan.

  1. Bila Badan Penyelenggara tidak puas dengan pertimbangan medis dokter penasehat wilayah Badan Penyelenggara tidak boleh meminta pemeriksaan ulang langsung kepada dokter spesialis karena hasil pemeriksaan ulang dari dokter spesialis tersebut tidak dapat dijadikan sebagai dasar bagi Badan Penyelenggara untuk membuat perhitungan. Yang dapat meminta pemeriksaan ulang kepada dokter spesialis adalah dokter penasehat dan pertimbangan medis yang dapat dijadikan dasar dalam membuat penetapan adalah pertimbangan medis dari dokter penasehat.  Bila pertimbangan medis dokter penasehat wilayah dan penetapan Pengawas Ketenagakerjaan setempat tidak diterima oleh Badan Penyelenggara, maka Badan Penyelenggara dapat mengajukan penetapan banding ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

  1. Bilamana tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja telah memperoleh jaminan kecelakaan, baik diterima oleh tenaga kerja atau ahli waris, maka  tidak dapat mengajukan penetapan ke Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi lagi.

  1. Dokter penasehat dalam memberikan pertimbangan medis bukan berupa penetapan, karena dokter penasehat tidak mempunyai kewenangan untuk membuat penetapan tetapi hanya berupa penilaian yang dapat dijadikan sebagai bahan masukan bagi Pengawas Ketenagakerjaan dalam membuat penetapan.

  1. Batas kadaluwarsa untuk mengajukan hak jaminan kecelakaan kerja atas PAK adalah 3 (tiga) tahun sejak hubungan kerja berakhir.

  1. Dalam hal terdapat kasus kecacatan anggota tubuh yang persentase cacatnya tidak tercantum dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka untuk menentukan besarnya persentase kecacatan dan santunannya dapat menggunakan perhitungan hilangnya kemampuan kerja fisik sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah  terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Dalam hal disuatu wilayah tidak memiliki dokter penasehat, maka pegawai pengawas dapat meminta pertimbangan medis kepada dokter penasehat pusat melalui Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan cq Direktur Pengawasan Norma Kerja dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1.  Pihak Yang Berhak Menerima Jaminan Kecelakaan Kerja

Apabila tenaga kerja mendapat kecelakaan kerja maka yang berhak untuk memperoleh jaminan kecelakaan kerja adalah tenaga kerja atau ahli warisnya. Apabila tenaga kerja meninggal dunia maka hak atas jaminan kecelakaan kerja diberikan kepada pihak keluarga atau ahli warisnya yaitu:
  1. Janda atau duda atau anak;
  2. Dalam hal janda atau duda atau anak tidak ada, maka jaminan kecelakaan kerja diberikan sesuai dengan urutan sebagai berikut:
    1. keturunan sedarah tenaga kerja menurut garis lurus kebawah dan ke atas sampai derajat kedua (bapak, ibu, cucu, kakek dan nenek);
    2. saudara kandung dan mertua;
    3. pihak yang ditunjuk dalam wasiatnya oleh tenaga kerja;
    4. bila tidak ada wasiat biaya pemakaman dibayarkan kepada perusahaan atau pihak lain yang mengurus pemakaman, sedangkan santunan kematian, santunan berkala, jaminan hari tua dibayarkan kepada Balai Harta Peninggalan.

  1. Penegakan Hukum

Perusahaan yang telah diberikan pembinaan tentang norma jaminan sosial tenaga kerja tetapi perusahaan tersebut tetap tidak melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja beserta peraturan pelaksanaannya maka Pengawas Ketenagakerjaan dapat melakukan langkah-langkah sebagai berikut:
1.   Melakukan pemeriksaan terhadap perusahaan.
2.   Membuat nota pemeriksaan agar perusahaan melaksanakan kewajibannya sesuai ketentuan dalam batas waktu yang ditentukan.
3.   Melakukan pemeriksaan berkala untuk mengetahui apakah nota pemeriksaan telah dilaksanakan, bila belum dilaksanakan, perusahaan membuat surat pernyataan kesanggupan untuk melaksanakan dalam batas waktu yang ditentukan.
4.   Melakukan monitoring untuk mengetahui apakah surat pernyataan telah dilaksanakan, bila belum dilaksanakan maka perusahaan diproses untuk di Berita Acara Projustitia (BAP).
5.   Melakukan koordinasi dengan pihak Kepolisian dan Badan Penyelenggara dalam hal ini PT. Jamsostek (Persero) untuk kelancaran proses Berita Acara Projustitia (BAP).

  1. Sanksi-Sanksi

Selain sanksi pidana dapat dikenakan sanksi administratif, ganti rugi, dan denda sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedelapan atas Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

  1. Dikenakan sanksi administratifberupa pencabutan izin usahaapabila melanggar ketentuan Pasal sebagai berikut:


Pasal 2 ayat (3) : Pengusaha yang mempekerjakan Tenaga Kerja 10 orang atau lebih atau membayar upah pal­ing sedikit Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah) wajib mengikut sertakan Tenaga Kerja dalam Program Jamsostek.

Pasal 4 : Dalam hal perusahaan belum ikut Program Jamsostek. pengusaha wajib memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja kepada Tenaga Kerjanya.  

Pasal 5 ayat (1) : Pengusaha wajib mendaftarkan perusahaan dan Tenaga Kerja kepada Badan Penyelenggara dalam Program Jamsostek.  

Pasal 6 ayat (2) : Pengusaha menyampaikan kepada masing-masing Tenaga Kerja, kartu peserta dalam waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak diterima dari Badan Penyelenggara.  

Pasal 8 ayat (2) : Laporan perubahan mengenai (alamat perusahaan, kepemilikan, jenis/badan usaha, jumlah Tenaga Kerja dan keluarga, besarnya upah setiap Tenaga Kerja) disampaikan paling lambat 7 (tujuh) hari sejak terjadi perubahan.  

Pasal 18 ayat (1) : Pengusaha wajib memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan bagi Tenaga Kerja.  

Pasal 18 ayat (2) : Pengusaha wajib lapor kecelakaan kerja tahap I tidak boleh lebih dari 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam sejak kecelakaan terjadi kepada Dinas yang membidangi ketenagakerjaan dan Badan Penyelenggara.  

Pasal 18 ayat (3) : Pengusaha wajib lapor akibat kecelakaan kerja kepada Dinas yang membidangi ketenagakerjaan, dan Badan Penyelenggara tidak lebih dari 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat)jam setelah ada surat yang menyatakan STMB, cacat sebagian, cacat total, meninggal dunia.  

Pasal 19 : Pengusaha wajib lapor Penyakit Akibat Kerja tidak boleh lebih dari 2 (dua) kali 24 (dua puluh empat) jam setelah ada hasil diagnosis Dokter Pemeriksa.  

Pasal 20 ayat (1) : Selama Tenaga Kerja yang tertimpa kecelakaan kerja masih belum mampu bekerja, pengusaha tetap membayar upah Tenaga Kerja yang bersangkutan sampai penetapan akibat kecelakaan kerja yang dialami diterima semua pihak atau dilakukan oleh Menteri.  
  1. Dikenakan sanksi denda apabila perusahaan melanggar ketentuan Pasal sebagai berikut:

Pasal 10 ayat (3) : Keterlambatan pembayaran iuran dikenakan denda yang ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha.


Denda keterlambatan sebesar 2 % (dua perseratus) untuk setiap bulan keterlambatan yang di hitung dari iuran yang harus di bayar.

  1. Dikenakan sanksi ganti rugi apabila Badan Penyelenggara melanggar ketentuan Pasal sebagai berikut:

Pasal 26 : Badan Penyelenggara wajib membayar jaminan dalam waktu tidak lebih dari 1 (satu) bulan.

Ganti rugi sebesar 1 % (satu perseratus) dari jumlah jaminan, untuk setiap kali keterlambatan dan dibayarkan kepada tenaga kerja yang bersangkutan.

  1. Dikenakan sanksi pidana apabila melanggar ketentuan Pasal sebagai berikut:

No.
Pasal yang dilanggar
Bunyi Pasal/Ayat
Sanksi
a. Pasal 4 ayat (1)











Program Jamsostek wajib dilakukan oleh setiap perusahaan bagi Tenaga Kerjanya yang melakukan pekerjaan di dalam hubungan kerja. Pasal 29 Undang-Undang No. 3 Tahun 1992 diancam dengan kurungan selama-lamanya 6 bulan atau  denda  setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah). Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana tersebut di atas untuk kedua kalinya atau lebih, setelah putusan akhir memperoleh kekuatan  hukum  tetap, maka dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan. Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.
b. Pasal 10 ayat (1) Pengusaha wajib melaporkan kecelakaan kerja yang menimpa Tenaga Kerja kepada Kantor Depnaker dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 (duapuluh empat) jam
Sda
c. Pasal 10 ayat (2) Pengusaha wajib melaporkan kepada Kantor Depnaker dan Badan Penyelenggara dalam waktu tidak lebih dari 2 x 24 (duapuluh empat) jam setelah Tenaga Kerja yang tertimpa ke­celakaan oleh dokter yang merawatnya dinyatakan sembuh, cacat atau meninggal dunia.
Sda
d. Pasal 19 ayat (2) Dalam hal perusahaan belum ikut serta dalam Program Jamsostek disebabkan adanya pentahapan kepesertaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) maka pengusaha wajib memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja kepada Tenaga Kerjanya sesuai undang-undang ini.
Sda
e. Pasal 22 ayat (1) Pengusaha wajib mem­bayar iuran dan melakukan iuran yang menjadi kewajiban Tenaga Kerja melalui pemotongan upah Tenaga Kerja serta membayarkan kepada Badan Penyelenggara dalam waktu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah

Pasal 29 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 diancam dengan kurungan selama-lamanya 6 (enam) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 50.000.000,-(lima puluh juta rupiah). Dalam hal pengulangan tindak pidana sebagaimana tersebut di atas untuk kedua kalinya atau lebih, setelah putusan akhir memperoleh kekuatan  hukum tetap, maka dipidana kurungan selama-lamanya 8 (delapan) bulan. Tindak pidana tersebut adalah pelanggaran.

  1. Contoh Formulir Penetapan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Formulir Lainnya

Sebagaimana diketahui bahwa yang berwenang untuk membuat penetapan kasus kecelakaan kerja/penyakit akibat kerja/besarnya jaminan dan persentase cacat berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja adalah Pengawas Ketenagakerjaan, apabila terjadi perbedaan pendapat antara tenaga kerja dan pengusaha, maka pada tingkat kedua berdasarkan Pasal 24 ayat (2), Pengawas Ketenagakerjaan membuat penetapan dan menghitung besarnya jaminan. Oleh karena penetapan yang dibuat oleh Pengawas Ketenagakerjaan diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja, maka untuk keseragaman dalam pembuatan penetapan Pengawas Ketenagakerjaan pada tingkat kabupaten/kota dan provinsi, berikut ini disampaikan contoh blanko penetapan dimaksud, terdiri dari:
  1. Penetapan kecelakaan kerja atau bukan kecelakaan kerja, sebagaimana tercantum dalam Formulir I pedoman ini;
  2. Penetapan penyakit akibat kerja atau bukan penyakit akibat kerja, sebagaimana tercantum dalam Formulir II pedoman ini;
  3. Penetapan besarnya persentase cacat akibat kecelakaan kerja dan/atau penyakit akibat kerja, sebagaimana tercantum dalam Formulir III pedoman ini;
  4. Penetapan besarnya jaminan kecelakaan kerja, sebagaimana tercantum dalam Formulir IV pedoman ini;
  5. Permintaan pertimbangan medis kepada dokter penasehat, sebagaimana tercantum dalam Formulir V pedoman ini;
  6. Pertimbangan medis dokter penasehat sebagaimana tercantum dalam Formulir VI pedoman ini.

No comments:

Post a Comment