Dengan disaksikan
Sukarni, Chairul Saleh, Mr. Soebardjo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Sudiro (Mbah),
B.M. Diah, Sayuti Melik, Semaun Bakri, kira-kira jam dua dinihari tanggal 17
Agustus 1945 ditanda-tanganilah naskah Proklamasi itu oleh Soekarno-Hatta atas
nama bangsa Indonesia.
Catatan
Adam Malik dalam buku “Riwayat Proklamasi”
MEMASUKI tahun 1944, tanda-tanda kehancuran
dan kekalahan Jepang dalam Perang Dunia II mulai tampak. Pada tahun itu Saipan
jatuh ke tangan Sekutu. Lalu balatentara Jepang di Papua Nugini, Kepulauan
Solomon dan Kepulauan Marshall, dipukul mundur oleh pasukan Sekutu. Dengan
demikian seluruh garis pertahanan Jepang di Pasifik telah hancur. Selanjutnya
Jepang mengalami serangan udara di kota Ambon, Makasar, Manado dan Surabaya.
Bahkan, pasukan Sekutu telah mendarat di daerah-daerah minyak seperti Tarakan
dan Balikpapan.
Dalam
situasi kritis tersebut, pada tanggal 1 Maret 1945, Letnan Jenderal Kumakici
Harada, pimpinan pemerintah pendudukan Jepang di Tanah Jawa, mengumumkan
pembentukan Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI/Dokuritsu Junbi Cosakai). Pembentukan
badan ini bertujuan untuk menyelidiki hal-hal penting menyangkut pembentukan
negara Indonesia merdeka. Pengangkatan pengurus badan ini diumumkan pada 29
April 1945. Dan dr. K.R.T. Radjiman Wediodiningrat diangkat sebagai Ketua (Kaico). Sedangkan yang duduk sebagai
Ketua Muda (Fuku Kaico) pertama
dijabat oleh seorang Jepang, Shucokan Cirebon yang bernama Icibangase. Kemudian
R.P. Suroso diangkat sebagai Kepala Sekretariat yang dibantu oleh Toyohito
Masuda dan Mr. A.G. Pringgodigdo.
Pada
tanggal 28 Mei 1945 dilangsungkan upacara peresmian BPUPKI di Gedung Cuo Sangi
In, Jalan Pejambon (sekarang Gedung Departemen Luar Negeri), Jakarta. Upacara
peresmian itu dihadiri pula oleh dua pejabat Jepang, Jenderal Itagaki (Panglima
Tentara Ketujuh yang bermarkas di Singapura) dan Letnan Jenderal Nagano
(Panglima Tentara Keenambelas yang baru). Pada kesempatan itu dikibarkan bendera Jepang, Hinomaru, oleh Mr. A.G.
Pringgodigdo yang disusul dengan pengibaran bendera Sang Merah-Putih oleh
Toyohiko Masuda. Peristiwa itu membangkitkan semangat para anggota BPUPKI dalam
upaya mempersiapkan kemerdekaan Indonesia.
Selanjutnya
pada 29 Mei 1945 BPUPKI bersidang yang pertama guna merumuskan Undang-undang
Dasar (UUD) yang diawali dengan pembahasan mengenai persoalan “dasar” bagi
Negara Indonesia Merdeka.
Pada sidang
pertama BPUPKI yang berakhir 1 Juni 1945 itu Ir. Soekarno menyampaikan
pidatonya yang kemudian dikenal sebagai “Lahirnya Pancasila”. Keistimewaan
pidato Ir. Sukarno, selain berisi pandangan mengenai Dasar Negara Indonesia
Merdeka, juga berisi usulan mengenai nama bagi dasar negara, yaitu : Pancasila,
Trisila, atau Ekasila. Sidang pun memilih nama Pancasila sebagai nama dasar
negara. Namun persidangan tersebut belum menghasilkan keputusan akhir mengenai
Dasar Negara Indonesia Merdeka. Selanjutnya diadakan masa “reses” selama satu
bulan lebih.
Pada
tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI membentuk Panitia Kecil yang beranggotakan 9 orang.
Karena itu, panitia ini disebut pula Panitia Sembilan –dengan anggota Ir. Soekarno,
Drs. Moh. Hatta, Moh. Yamin, Mr. Ahmad Soebardjo, Mr. A.A. Maramis, Abdulkadir
Muzakkir, K.H. Wachid Hasyim, K.H. Agus Salim, dan Abikusno Tjokrosujoso.
Musyawarah
dari Panitia Sembilan ini kemudian menghasilkan suatu rumusan yang
menggambarkan maksud dan tujuan pembentukan Negara Indonesia Merdeka. Oleh Moh.Yamin,
rumusan itu diberi nama Jakarta Charter atau Piagam Jakarta. Rumusan draft
dasar negara Indonesia Merdeka itu:
1. Ke-Tuhan-an, dengan kewajiban menjalankan
Syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya;
2. (menurut) dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab;
3. Persatuan Indonesia;
4. (dan) kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan;
5. (serta dengan mewujudkan suatu) keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Selanjutnya,
pada tanggal 10 Juli 1945 dibahas Rencana Undang-undang Dasar, termasuk soal
pembukaan atau preambule-nya oleh sebuah Panitia Perancang Undang-undang Dasar
yang diketuai oleh Ir. Soekarno dan beranggotakan 21 orang. Hari berikut, 11
Juli 1945, Panitia Perancang Undang-undang Dasar dengan suara bulat menyetujui
isi preambule (pembukaan) yang diambil dari Piagam Jakarta.
Kemudian
panitia tersebut membentuk Panitia Kecil Perancang Undang-undang Dasar yang
diketuai oleh Prof. Dr. Mr. Supomo dengan anggota Mr. Wongsonegoro, Mr. Ahmad Soebardjo,
Mr. A.A. Maramis, Mr. R.P. Singgih, H. Agus Salim dan Sukiman. Hasil perumusan
panitia kecil ini lalu disempurnakan bahasanya oleh Panitia Penghalus Bahasa
yang terdiri dari Husein Djajadiningrat, Agus Salim dan Supomo.
Lantas BPUPKI
melaksanakan sidang yang kedua pada 14 Juli 1945 dalam rangka menerima laporan
Panitia Perancang Undang-undang Dasar. Selaku ketua panitia, Soekarno
melaporkan tiga hasil, pertama, Pernyataan
Indonesia Merdeka. Kedua, Pembukaan
Undang-undang Dasar. Dan ketiga, Undang-undang
Dasar (batang tubuh).
Golongan Muda Terus
Mendesak
Sebelum
BPUPKI dibentuk di Bandung pada tanggal 16 Mei 1945 telah diadakan Kongres
Pemuda Seluruh Jawa yang diprakarsai Angkatan Moeda Indonesia. Organisasi itu
sebenarnya dibentuk atas inisitaif Jepang pada pertengahan 1944, namun kemudian
justru berkembang menjadi suatu pergerakan pemuda yang anti-Jepang. Kongres
pemuda itu dihadiri oleh lebih 100 utusan pemuda, pelajar dan mahasiswa seluruh
Jawa di antaranya Djamal Ali, Chairul Saleh, Anwar Tjokroaminoto, Harsono
Tjokroaminoto serta sejumlah mahasiswa Ika Daigaku Jakarta. Kongres mengimbau
para pemuda di Jawa hendaknya bersatu dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan
proklamasi kemerdekaan yang bukan hadiah Jepang. Setelah tiga hari berlangsung
kongres akhirnya memutuskan dua buah resolusi, yaitu:
·
Semua
golongan Indonesia, terutama golongan pemuda, dipersatukan dan dibulatkan
dibawah satu pimpinan nasional.
·
Dipercepatnya
pelaksanaan pernyataan kemerdekaan Indonesia. Walaupun demikian kongres pun
akhirnya menyatakan dukungan sepenuhnya dan kerjasama erat dengan Jepang dalam
usaha mencapai kemerdekaan.
Pernyataan
tersebut tidak memuaskan beberapa tokoh pemuda yang hadir, seperti utusan dari
Jakarta yang dipimpin oleh Sukarni, Harsono Tjokroaminoto dan Chairul Saleh.
Mereka bertekad ingin menyiapkan suatu gerakan pemuda yang lebih radikal. Untuk
itulah pada tanggal 3 Juni 1945 diadakan suatu pertemuan rahasia di Jakarta
untuk membentuk suatu panitia khusus yang diketuai oleh B.M. Diah, dengan
anggota Sukarni, Sudiro, Sjarif Thajeb, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Chairul
Saleh, P. Gultom, Supeno dan Asmara Hadi.
Pertemuan
semacam itu kembali diadakan pada 15 Juni 1945, yang menghasilkan pembentukan
Gerakan Angkatan Baroe Indonesia. Dalam praktiknya kegiatan organisasi itu
banyak dikendalikan oleh para pemuda dari Asrama Menteng 31. Tujuan gerakan
itu, sebagaimana yang tercantum di dalam surat kabar Asia Raja pada pertengahan Juni 1945, menunjukkan sifat gerakan
yang lebih radikal sebagai berikut:
* Mencapai
persatuan kompak di antara seluruh golongan masyarakat Indonesia;
* Menanamkan
semangat revolusioner massa atas dasar kesadaran mereka sebagai rakyat yang
berdaulat;
* Membentuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia;
* Mempersatukan
Indonesia bahu-membahu dengan Jepang, tetapi jika perlu gerakan itu bermaksud
untuk mencapai kemerdekaan dengan kekuatannya sendiri.
Aktivitas
golongan muda terus berlanjut melalui Gerakan Rakyat Baroe yang dibentuk
berdasarkan hasil sidang ke-8 Cuo Sangi
In yang mengusulkan berdirinya suatu gerakan untuk mengobarkan semangat
cinta kepada Tanah Air dan semangat perang. Pembentukan badan ini diperkenankan
oleh Saiko Shikikan yang baru, Letnan Jenderal Y. Nagano, pada 2 Juli 1945.
Susunan pengurus pusat organisasi ini berjumlah 80 orang. Anggotanya terdiri dari
penduduk asli Indonesia dan bangsa Jepang, golongan Cina, golongan Arab dan
golongan peranakan Eropa. Tokoh-tokoh pemuda radikal seperti Chairul Saleh,
Sukarni, B.M. Diah, Asmara Hadi, Harsono Tjokroaminoto, Wikana, Sudiro, Supeno,
Adam Malik, S.K. Trimurti, Sutomo dan Pandu Kartawiguna diikut-sertakan dalam
organisasi tersebut.
Tujuan
pemerintah Jepang mengangkat wakil-wakil golongan muda di dalam organisasi itu
adalah agar pemerintah Jepang dapat mengawasi kegiatan-kegiatan mereka.
Sumobuco Mayor Jenderal Nishimura menegaskan bahwa setiap pemuda yang tergabung
di dalamnya harus tunduk sepenuhnya kepada Gunseikanbu (pemerintah militer
Jepang) dan mereka harus bekerja di bawah pengawasan pejabat-pejabat
pemerintah. Artinya kebebasan bergerak para pemuda dibatasi, sehingga timbullah
rasa tidak puas. Karena itu, tatkala Gerakan Rakyat Baroe ini diresmikan pada
tanggal 28 Juli 1945, tidak seorang pun pemuda radikal yang bersedia duduk
kursi yang telah disediakan. Nampak semakin tajam perselisihan paham antara
golongan tua dan golongan muda tentang cara melaksanakan pembentukan negara
Indonesia Merdeka.
Lalu pada 7
Agustus 1945 BPUPKI dibubarkan. Sebagai gantinya, pemerintah pendudukan Jepang
membentuk PPKI (Dokuritsu Junbi Inkai). Sebanyak 21 anggota PPKI yang terpilih
tidak terbatas pada wakil-wakil dari Jawa yang berada di bawah pemerintahan
Tentara Keenambelas, namun juga dari berbagai pulau, yaitu 12 wakil dari Jawa,
3 wakil dari Sumatera, 2 wakil dari Sulawesi, seorang dari Kalimantan, seorang
dari Sunda Kecil (Nusa Tenggara), seorang dari Maluku dan seorang lagi dari
golongan penduduk Cina. Ir. Soekarno ditunjuk sebagai ketua PPKI dan Drs. Moh.
Hatta menjadi wakil ketua. Sedangkan Mr. Ahmad Soebardjo ditunjuk sebagai
penasehatnya.
Kepada para
anggota PPKI, Gunseikan Mayor Jenderal Yamamoto menegaskan bahwa para anggota
PPKI tidak hanya dipilih oleh pejabat di lingkungan Tentara Keenambelas, tapi
oleh Jenderal Besar Terauci sendiri yang menjadi penguasa perang tertinggi di
Asia Tenggara.
Dalam
rangka pengangkatan itulah, Jenderal Besar Terauci memanggil tiga tokoh
Pergerakan Nasional --Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan dr. Radjiman
Wediodiningrat. Pada 9 Agustus 1945 mereka berangkat menuju markas besar
Terauci di Dalat, Vietnam. Dalam pertemuan di Dalat pada tanggal 12 Agustus 1945 Jenderal Besar Terauci
menyampaikan kepada ketiga tokoh itu bahwa Pemerintah Kemaharajaan telah
memutuskan untuk memberikan kemerdekaan kepada Indonesia. Pelaksanaannya dapat
dilakukan segera setelah persiapannya selesai oleh PPKI. Wilayah Indonesia akan
meliputi seluruh bekas wilayah Hindia Belanda.
Terauci
memberi angin segar kemerdekaan tidak terlepas dari tragedi perang pada tanggal
6 Agustus 1945 ketika sebuah bom atom dijatuhkan di atas kota Hiroshima Jepang.
Tragedi ini mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang di seluruh dunia.
Sehari kemudian Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia BPUPKI (Dokuritsu Junbi Cosakai) dibubarkan lalu
berganti PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) untuk lebih menegaskan
keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Pada tanggal 9 Agustus
1945, bom atom kedua dijatuhkan di atas Nagasaki. Tak pelak, Jepang menyerah
kepada Amerika Serikat dan sekutunya.
Pada 10
Agustus 1945, Sutan Syahrir telah mendengar berita lewat radio bahwa Jepang
telah menyerah kepada Sekutu. Para pejuang bawah tanah bersiap-siap
memproklamasikan kemerdekaan Indoneisa dan menolak bentuk kemerdekaan yang
diberikan sebagai hadiah Jepang. Jepang menginginkan kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 24 Agustus.
Saat
Soekarno, Hatta dan Radjiman kembali ke Tanah Air dari Dalat, Sutan Sjahrir lantas
mendesak agar Soekarno segera memproklamasikan kemerdekaan. Syahrir menganggap
hasil pertemuan di Dalat sebagai tipu muslihat Jepang, karena Jepang setiap
saat sudah harus menyerah kepada Sekutu. Dan demi menghindari perpecahan dalam
kubu nasionalis, antara yang anti dan pro Jepang, proklamasi harus cepat-cepat
dilakukan.
Hatta
menceritakan kepada Sjahrir tentang hasil pertemuan di Dalat. Soekarno belum yakin
sepenuhnya bahwa Jepang memang telah menyerah, dan menganggap proklamasi
kemerdekaan Indonesia saat itu akan menimbulkan pertumpahan darah yang besar
dan dapat berakibat sangat fatal bilamana para pejuang Indonesia belum siap.
Soekarno mengingatkan Hatta bahwa Syahrir tidak berhak memproklamasikan
kemerdekaan lantaran itu menjadi hak Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(PPKI). Sementara itu Syahrir menganggap PPKI merupakan badan buatan Jepang dan
proklamasi kemerdekaan oleh PPKI hanya merupakan “hadiah” dari Jepang.
Pada
tanggal 14 Agustus 1945 Jepang menyerah pada Sekutu. Tentara dan Angkatan Laut
Jepang masih berkuasa di Indonesia karena Jepang telah berjanji akan
mengembalikan kekuasaan di Indonesia ke tangan Sekutu. Sutan Sjahrir, Wikana,
Darwis, dan Chaerul Saleh mendengar kabar ini melalui radio BBC. Lalu golongan muda mendesak
golongan tua agar segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Namun golongan
tua tidak mau terburu-buru. Mereka tidak menginginkan terjadinya pertumpahan
darah pada saat proklamasi. Konsultasi pun dilakukan dalam bentuk rapat PPKI.
Golongan muda tidak menyetujui rapat itu, mengingat PPKI adalah sebuah badan
yang dibentuk oleh Jepang. Mereka menginginkan kemerdekaan atas usaha bangsa
sendiri, bukan pemberian Jepang.
Soekarno
dan Hatta lantas mendatangi penguasa militer Jepang (Gunsei) untuk memperoleh
konfirmasi di kantornya di Koningsplein (Medan Merdeka). Tapi kantor tersebut
kosong.
Soekarno
dan Hatta bersama Soebardjo kemudian ke kantor Bukanfu, Laksamana Muda Maeda,
di Jalan Medan Merdeka Utara (Rumah Maeda di Jl Imam Bonjol 1). Maeda menyambut
kedatangan mereka dengan ucapan selamat atas keberhasilan mereka di Dalat.
Sambil menjawab bahwa dia belum menerima konfirmasi serta masih menunggu
instruksi dari Tokyo. Sepulang dari Maeda, Soekarno dan Hatta segera
mempersiapkan pertemuan PPKI pada pukul 10 pagi tanggal 16 Agustus keesokan
harinya di kantor Jalan Pejambon Nomor 2 guna membicarakan segala sesuatu yang
berhubungan dengan persiapan Proklamasi Kemerdekaan.
Rupanya
tanggal Agustus 1945, gejolak tekanan yang menghendaki pengambil-alihan
kekuasaan oleh bangsa Indonesia makin memuncak dilancarkan oleh para pemuda
dari beberapa golongan. Rapat PPKI pada 16 Agustus yang sedianya
diselenggarakan pukul 10 pagi batal dilaksanakan lantaran Soekarno dan Hatta
tidak muncul. Peserta rapat tidak tahu telah terjadi peristiwa Rengasdengklok.
Samaun Saksi Penyusunan
Naskah Proklamasi
Ceritanya,
para pemuda pejuang --antara lain Chaerul Saleh, Sukarni, dan Wikana-- terbakar
gelora kepahlawanannya setelah berdiskusi dengan Ibrahim gelar Datuk Tan Malaka.
Mereka kehilangan kesabaran. Pada 16 Agustus 1945 dinihari, bersama Shodanco
Singgih (salah seorang anggota PETA) dan pemuda lain, mereka membawa Soekarno
(bersama Fatmawati dan Guntur yang baru berusia 9 bulan) dan Hatta, ke
Rengasdengklok. Tujuannya agar Soekarno dan Hatta tidak terpengaruh oleh
Jepang. Di sini, mereka kembali meyakinkan Soekarno bahwa Jepang telah menyerah
dan para pejuang telah siap melawan Jepang, apa pun risikonya.
Di Jakarta,
golongan muda (Wikana) dan golongan tua (Mr. Ahmad Soebardjo) terus berunding.
Mr. Ahmad Soebardjo menyetujui untuk segera memproklamasikan kemerdekaan
Indonesia di Jakarta. Namun dia mengingatkan agar para pemuda tidak
terburu-buru. Lantas diutuslah Yusuf Kunto guna mengantar Ahmad Soebardjo ke
Rengasdengklok, menjemput Soekarno dan Moh. Hatta balik ke Jakarta. Setelah
tiba di Jakarta, mereka pulang ke rumah masing-masing karena Hotel Des Indes
(sekarang kompleks pertokoan Harmoni) tidak dapat digunakan buat pertemuan
setelah pukul 10 malam. Sebab itu, tawaran Laksamana Muda Maeda untuk
menggunakan rumahnya (sekarang gedung museum perumusan teks proklamasi) sebagai
tempat rapat PPKI diterima oleh para tokoh Indonesia.
Malam
harinya, Mayor Jenderal Moichiro Yamamoto, Kepala Staf Tentara ke XVI (Angkatan
Darat) yang menjadi Kepala pemerintahan militer Jepang (Gunseikan) di Hindia
Belanda tidak bersedia menerima Soekarno-Hatta yang diantar oleh Tadashi Maeda
dan memerintahkan agar Mayor Jenderal Otoshi Nishimura, Kepala Departemen
Urusan Umum pemerintahan militer Jepang, untuk menerima kedatangan rombongan
tersebut. Nishimura mengemukakan bahwa sejak siang hari tanggal 16 Agustus 1945
telah diterima perintah dari Tokyo bahwa Jepang harus menjaga status quo, tidak
dapat memberi izin untuk mempersiapkan proklamasi kemerdekaan Indonesia
sebagaimana telah dijanjikan oleh Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam.
Soekarno
dan Hatta menyesali keputusan itu. Mereka menyindir Nishimura apakah itu sikap
seorang perwira yang bersemangat Bushido, ingkar janji agar dikasihani oleh
Sekutu. Akhirnya Soekarno-Hatta meminta agar Nishimura jangan menghalangi-halangi
kerja PPKI, mungkin dengan cara pura-pura tidak tahu-menahu. Melihat perdebatan
yang panas itu, secara diam-diam Maeda meninggalkan ruangan karena
diperingatkan oleh Nishimura agar dia mematuhi perintah Tokyo. Dan sebagai
perwira penghubung Angkatan Laut (Kaigun) di daerah Angkatan Darat (Rikugun) Maeda
menyadari dia tidak punya wewenang memutuskan.
Setelah
dari rumah Nishimura, Soekarno-Hatta menuju rumah Laksamana Maeda (kini Jalan
Imam Bonjol No.1 Jakarta) diiringi oleh Myoshi guna melakukan rapat dengan
agenda menyiapkan teks Proklamasi. Setelah menyapa Soekarno-Hatta, Maeda
mengundurkan diri menuju kamar tidurnya. Penyusunan teks Proklamasi dilakukan
oleh Soekarno, Hatta, Achmad Soebardjo dan disaksikan oleh tokoh-tokoh nasional
lain masa itu. Sebagaimana diungkapkan oleh Adam Malik dalam bukunya yang
berjudul Wiwayat Proklamasi, tokoh-tokoh tersebut antara lain dr. Radjiman
Widyodiningrat, Mas Sutarjo Kartohadikusumo, Mr. Iwa Kusuma Sumantri, Abikusno
Cokrosuyono, dr. Buntaran Martoatmojo, R. Otto Iskandardinata, Prof. Dr. Mr.
Supomo, Ki Hajar Dewantara, Sukarjo Wiryopranoto, Ki Bagus Hadikusumo, Dr.
G.S.S.J. Ratulangi, K.H. Wachid Hasyim, Mr. J. Latuharhay, Mr. I Gusti Ktut
Puja, dr. Samsi, dr. Amir, Mr. Teuku Moh. Hasan, Mr. Abdul Abbas, Hamidhan,
A.A. Rivai, Andi Pangeran Petta Rani, Andi Sultang Deang Raja, Chaerul Saleh,
Harsono Cokroaminoto, Sayuti Melik, Samaun Bakry, Sukarni, Sudiro (Mbah), BM.
Diah, dan Syarif Al Wahidin Nasution.
Perundingan
antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia berlangsung pukul 02.00-04.00 dini hari. Teks proklamasi
ditulis di ruang makan rumah Laksamana Maeda. Konsep teks proklamasi ditulis
oleh Ir. Soekarno. Di ruang depan, B.M. Diah, Sayuti Melik, Sukarni, dan
Soediro menunggu dengan tekun. Sukarni mengusulkan agar yang menandatangani
teks proklamasi itu adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa
Indonesia.
Setelah
konsep selesai disepakati, Sajuti menyalin dan mengetik naskah tersebut
menggunakan mesin ketik yang diambil dari kantor perwakilan AL Jerman, milik
Mayor (Laut) Dr. Hermann Kandeler. Semula pembacaan proklamasi akan dilakukan
di Lapangan Ikada, namun berhubung alasan keamanan dipindahkan ke kediaman
Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jl. Proklamasi Nomor 1).
Pagi
harinya, 17 Agustus 1945, di kediaman Soekarno, Jalan Pegangsaan Timur 56 telah
hadir antara lain Soewirjo, Wilopo, Gafar Pringgodigdo, Tabrani dan Trimurti.
Acara dimulai pada pukul 10.00 dengan pembacaan teks proklamasi oleh Soekarno
dan disambung pidato singkat tanpa teks.
Pada
awalnya Trimurti diminta untuk menaikkan bendera namun ia menolak dengan alasan
pengerekan bendera sebaiknya dilakukan oleh seorang prajurit. Sebab itu
ditunjuklah Latief Hendraningrat, seorang prajurit PETA, dibantu oleh Soehoed
untuk tugas tersebut. Seorang pemudi muncul dari belakang membawa nampan berisi
bendera Merah-Putih (Sang Saka Merah-Putih), yang dijahit oleh Fatmawati
beberapa hari sebelumnya. Setelah bendera berkibar, hadirin menyanyikan lagu Indonesia Raya. Sampai saat ini, bendera
pusaka tersebut masih disimpan di Museum Tugu Monumen Nasional.
Disusul kemudian
sambutan oleh Soewirjo (Wali Kota Jakarta saat itu) dan Moewardi (pimpinan
Barisan Pelopor). Setelah upacara selesai, sekitar 100 orang anggota Barisan
Pelopor yang dipimpin S. Brata datang terburu-buru lantaran mereka tidak
mengetahui perubahan tempat secara mendadak dari Ikada ke Pegangsaan. Mereka
menuntut Soekarno mengulang pembacaan Proklamasi, namun ditolak. Akhirnya Hatta
memberikan amanat singkat kepada mereka.
Isi Teks Proklamasi
Dari
catatan historis, teks naskah proklamasi mengalami perkembangan sebelum menjadi
naskah yang kita kenal selama ini. Semula berupa naskah Proklamasi Klad yang
merupakan asli tulisan tangan oleh Ir. Soekarno sebagai pencatat –yang kini
naskahnya disimpan di Monumen Nasional (Monas):
Kemudian naskah
klad tersebut digubah oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo
Djojoadisoerjo, yang isinya adalah sebagai berikut :
Proklamasi
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal2 jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam
tempoh jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, 17 - 8 - '05
Wakil2 bangsa Indonesia.
Selanjutnya,
naskah tersebut mengalami penyempurnaan dan menjadi naskah yang selama ini kita
kenal sebagai Naskah "Proklamasi Otentik" dan juga ditempatkan di
Monumen Nasional (Monas). Naskah "Proklamasi Otentik" ini merupakan
hasil ketikan oleh Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut
andil dalam persiapan Proklamasi). Redaksional naskah Proklamasi Otentik sebagai
berikut:
P R O K L A M A S I
Kami bangsa Indonesia dengan ini
menjatakan kemerdekaan Indonesia.
Hal-hal jang mengenai pemindahan
kekoeasaan d.l.l., diselenggarakan
dengan tjara seksama dan dalam tempo
jang sesingkat-singkatnja.
Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05
Atas nama bangsa Indonesia.
Soekarno/Hatta.
Ketika
menulis naskah proklamasi, para pendiri negeri ini tidak memakai kalender
Masehi. Mereka menggunakan kalender Jepang. Tahun pada kedua teks naskah
Proklamasi (baik pada teks naskah Proklamasi Klad maupun pada teks naskah
Proklamasi Otentik) tertulis angka "tahun 05" yang merupakan
kependekan dari angka "tahun 2605". Pada masa pendudukan militer
Jepang, masyarakat bangsa Indonesia harus menggunakan tahun penanggalan yang
dipergunakan pemerintah pendudukan militer Jepang. Dan sesuai dengan tahun
penanggalan yang berlaku di Jepang, kala itu adalah tahun 2605.
Perbedaan
teks naskah Proklamasi Klad dan Proklamasi Otentik. Teks naskah Proklamasi
Otentik sudah mengalami beberapa perubahan, sebagai berikut:
• Kata "Proklamasi" diubah
menjadi "P R O K L A M A S I",
• Kata "Hal2" diubah menjadi
"Hal-hal",
• Kata "tempoh" diubah menjadi
"tempo",
• Kata "Djakarta, 17 - 8 - '05"
diubah menjadi "Djakarta, hari 17 boelan 8 tahoen 05",
• Kata "Wakil2 bangsa Indonesia"
diubah menjadi "Atas nama bangsa Indonesia",
• Isi naskah Proklamasi Klad merupakan
tulisan tangan asli Ir. Soekarno sebagai pencatat, dan adalah merupakan hasil
gubahan (karangan) oleh Drs. Mohammad Hatta dan Mr. Raden Achmad Soebardjo
Djojoadisoerjo. Sedangkan isi naskah Proklamasi Otentik adalah hasil ketikan
Mohamad Ibnu Sayuti Melik (seorang tokoh pemuda yang ikut andil dalam persiapan
Proklamasi),
• Pada naskah Proklamasi Klad memang tidak
ditanda-tangani, sementara pada naskah Proklamasi Otentik sudah ditanda-tangani
oleh Ir. Soekarno dan Drs. Mohammad Hatta.
Cara Penyebaran Teks Proklamasi
Kemerdekaan Indonesia
Wilayah
Indonesia sangatlah luas. Komunikasi dan transportasi sekitar tahun 1945 masih
sangat terbatas. Selain itu, hambatan dan larangan untuk menyebarkan berita
proklamasi oleh pasukan Jepang di Indonesia, menjadi sejumlah faktor yang
menyebabkan berita proklamasi mengalami keterlambatan di sejumlah daerah,
terutama di luar Jawa. Namun dengan penuh tekad dan semangat berjuang, akhirnya
peristiwa proklamasi dapat diketahui oleh segenap rakyat Indonesia.
Penyebaran
proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 di daerah Jakarta dapat dilakukan secara
cepat dan segera menyebar secara luas. Pada hari itu pula, teks proklamasi
telah sampai di tangan Kepala Bagian Radio dari Kantor Domei (sekarang Kantor Berita ANTARA),
Waidan B. Palenewen. Dia menerima teks proklamasi dari seorang wartawan Domei yang bernama Syahruddin. Kemudian dia
memerintahkan F. Wuz (seorang markonis), supaya berita proklamasi disiarkan
tiga kali berturut-turut. Baru dua kali F. Wuz melaksanakan tugasnya, masuklah
orang Jepang ke ruangan radio sambil marah-marah, gara-gara mengetahui berita
proklamasi telah tersiar ke luar melalui udara.
Meskipun
orang Jepang tersebut memerintahkan penghentian siaran berita proklamasi, namun
Waidan Palenewen tetap meminta F. Wuz untuk terus menyiarkan. Berita proklamasi
kemerdekaan diulangi setiap setengah jam sampai pukul 16.00 saat siaran
berhenti. Akibat dari penyiaran tersebut, pimpinan tentara Jepang di Jawa
memerintahkan untuk meralat berita dan menyatakan sebagai kekeliruan. Pada
tanggal 20 Agustus 1945 pemancar tersebut disegel oleh Jepang dan para
pegawainya dilarang masuk. Sekalipun pemancar pada kantor Domei disegel, bersama Jusuf Ronodipuro (seorang pembaca berita di
Radio Domei), para pemuda ternyata
membuat pemancar baru dengan bantuan teknisi radio, di antaranya Sukarman,
Sutamto, Susilahardja, dan Suhandar. Mereka mendirikan pemancar baru di Menteng
31, dengan kode panggilan DJK 1. Dari sinilah selanjutnya berita proklamasi
kemerdekaan disiarkan.
Usaha dan
perjuangan para pemuda dalam penyebar-luasan berita proklamasi juga dilakukan
melalui media pers dan surat selebaran. Hampir seluruh koran harian di Jawa --dalam
penerbitannya tanggal 20 Agustus 1945-- memuat berita proklamasi kemerdekaan
dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia. Harian Suara Asia di Surabaya merupakan koran pertama yang memuat berita
proklamasi. Beberapa tokoh pemuda yang berjuang melalui media pers antara lain
B.M. Diah, Sayuti Melik, dan Sumanang. Proklamasi kemerdekaan pun disebar-luaskan
kepada rakyat Indonesia melalui pemasangan plakat, poster, maupun coretan pada
dinding tembok dan gerbong kereta api, misalnya dengan slogan Respect Our Constitution, August 17!!!
(Hormatilah Konstitusi Kami, 17 Agustus!!!). Melalui berbagai cara dan media
tersebut, akhirnya berita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dapat tersebar luas
di seluruh wilayah Indonesia dan di luar negeri. Di samping melalui media
massa, berita proklamasi disebarkan pula secara langsung oleh para utusan
daerah yang menghadiri sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Utusan
PPKI yang ikut menyebarkan berita proklamasi, antara lain Teuku Mohammad Hassan
dari Aceh, Sam Ratulangi dari Sulawesi, Ketut Pudja dari Sunda Kecil (Bali), dan
A.A. Hamidan dari Kalimantan.
Samaun Bakry Jadi
Anggota KNIP
Tanggal 18
Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil
keputusan, mengesahkan dan menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai dasar
negara Republik Indonesia, yang selanjutnya dikenal sebagai UUD 1945. Dengan
demikian terbentuklah Pemerintahan Negara Kesatuan Indonesia yang berbentuk
Republik (NKRI) dengan kedaulatan di tangan rakyat yang dilakukan sepenuhnya
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang akan dibentuk kemudian.
Setelah itu
Soekarno dan Hatta terpilih atas usul dari Oto Iskandardinata dan persetujuan
PPKI sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia yang pertama.
Presiden dan Wakil Presiden akan dibantu oleh Komite Nasional Indonesia Pusat
(KNIP). Dan Samaun Bakry pun duduk sebagai anggota KNIP mewakili wilayah Jawa
Barat.
Selain pernah
menjadi anggota KNIP mewakili Jawa Barat, Samaun juga sempat menjadi salah
seorang petugas Gubernur Jawa Barat yang pertama Mr. Dt. Djamin dan salah
seorang pembantu terpenting Wali Kota Jakarta (masa itu) Soewirjo.
Pada saat
Samaun Bakry mengemban amanah sebagai staf Gubernur Jawa Barat itu, pecah peristiwa
Bandung Lautan Api. Yakni, peristiwa
kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung, provinsi Jawa Barat, Indonesia
pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk Bandung membakar
rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung.
Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk
dapat menggunakan kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang
Kemerdekaan Indonesia. ***
No comments:
Post a Comment