Menteri Kesehatan berjanji membenahi pelaksanaan BPJS. Ada usulan tambahan anggaran Rp400 miliar.
Menteri Kesehatan
(Menkes), Nafsiah Mboi, mengakui pemerintah masih menghadapi tantangan dalam
pelaksanaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang digelar lewat BPJS
Kesehatan. Menanggapi berbagai persoalan yang ada, secara umum Nafsiah berjanji
kementerian yang dipimpinnya akan terus melakukan penyempurnaan dengan melibatkan
banyak pihak.
Salah satu langkah
yang ditempuh adalah menerbitkan Surat Edaran yang pada intinya menyebutkan
anak yang baru lahir dari pasangan peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI)
otomatis menjadi peserta BPJS Kesehatan. Mekanisme ini dipakai hingga ada data
jelas dari Kementerian Sosial karena kementerian inilah yang menentukan jumlah
pasti peserta PBI.
Dari sisi
anggaran, Kemenkes telah mengajukan anggaran khusus buat anak panti asuhan,
anak terlantar, penghuni lapas/rutan dan gelandangan, Jumlahnya sekitar Rp400
miliar, yang diusulkan pada APBN Perubahan Tahun 2014. Cuma, Nafsiah mengakui
usulan anggaran itu belum disetujui DPR secara resmi. Untuk mengatasi persoalan
dana ini, Nafsiah mengusulkan solidaritas sosial digalakkan.
Tetapi dukungan
tambahan anggaran sudah datang dari Senayan. “Komisi IX DPR RI mendukung
anggaran sebesar Rp400 milyar untuk membiayai kepesertaan penghuni panti, anak
terlantar, gelandangan dan pengemis, untuk diajukan dalam APBN-P tahun anggaran
2014,” kata Ketua Komisi IX, Ribka Tjiptaning. Dukungan itu salah satu
kesimpulan rapat kerja.
Solidaritas sosial
itu dapat dihimpun lewat dana bantuan sosial yang ada di Rumah Sakit (RS), CSR
(coporate social responsibility) dan zakat mal. Tapi Nafsiah berjanji akan
memperjuangkan agar dana sebesar Rp400 milyar itu dapat disetujui dan segera
dikucurkan. “Kami akan coba ajukan lagi dalam APBN-P,” katanya dalam rapat
kerja dengan Komisi IX DPR, Senin (27/1).
Selagi
mengupayakan anggaran tersebut Nafsiah menekankan kepada RS dan fasilitas
kesehatan lainnya untuk tidak menolak pasien yang membutuhkan pelayanan
kesehatan. “Instruksi kami jelas, RS tidak boleh menolak pasien,” tegasnya.
Soal peserta BPJS
Kesehatan yang dibebani biaya obat, pelayanan darah dan lainnya Nafsiah
menekankan bahwa sesuai ketentuan yang ada peserta tidak dibebani tambahan
biaya. Sebab, iuran yang dibayarkan peserta sudah mencakup berbagai pelayanan
kesehatan yang diberikan. Hal itu telah ditegaskan dalam peraturan yang baru
saja diterbitkan. Jika masih ada peserta yang diminta biaya tambahan maka
fasilitas kesehatan yang bersangkutan akan diberikan teguran.
Nafsiah juga
mengatakan sudah menerbitkan Surat Edaran No. 32 Tahun 2014 untuk mengatasi
masalah rujukan berulang-ulang untuk penyakit yang sama. Peserta hanya sekali
melakukan rujukan sampai dirujuk balik ke fasilitas pelayanan pertama seperti
Puskesmas, dokter keluarga dan klinik. Surat Edaran No. 32 Tahun 2014 itu juga
mengatur agar peserta berpenyakit kronis bisa mendapat obat untuk satu bulan.
Mengenai tarif
INA-CBGs, Nafsiah mengakui masih ada beberapa tarif untuk diagnosis penyakit
tertentu yang belum sesuai dengan biaya sesungguhnya yang dikeluarkan RS. Oleh
karenanya sampai saat ini masih dilakukan rapat secara intensif agar tarif
INA-CBGs disesuaikan dengan standar keekonomian.
Sayang, tarif
INA-CBGs belum dipahami secara baik oleh RS dan tenaga medis. Untuk mengatasi
masalah itu Nafsiah menyebut Kemenkes bersama pihak terkait seperti BPJS
Kesehatan dan organisasi profesi terus-menerus melakukan sosialisasi INA-CBGs.
Nafsiah mendengar tuntutan agar diatur standarisasi jasa pelayanan dari program
JKN. Tuntutan itu sampai saat ini masih dalam proses. Kemenkes sedang
menyiapkan aturan jasa pelayanan di fasilitas kesehatan tingkat pertama sebesar
40-60 persen dari penerimaan, dan tingkat lanjutan jasa pelayanan sebesar 35-45
persen.
Organisasi profesi
medis menurut Nafsiah juga mengharapkan insentif. Sampai sekarang hal tersebut
masih dikaji Kemenkes karena variasinya sangat besar. Misalnya, Bupati di
sebuah kabupaten memberikan insentif yang cukup tinggi kepada dokter umum dan
spesialis. Tapi ada Bupati di suatu wilayah yang tidak memberikan insentif
apa-apa.
RS pun mengeluh
karena belum ada kejelasan tentang tarif dasar ambulan. Menurut Nafsiah hal itu
telah diatur dalam SE yang diterbitkan Januari 2014. Ketentuan itu pada intinya
mengatur penggantian biaya ambulan sesuai dengan standar biaya yang ditetapkan
pemerintah daerah (Pemda). Jika Pemda belum menetapkan tarif dasar ambulan maka
mengacu pada standar biaya yang berlaku pada daerah dengan karakteristik sama.
(www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment