Sunday, January 5, 2014

Detik-detik Kematian Thalhah bin Ubaidillah


Qais bin Abi Hazim mengatakan, “Aku melihat Marwan bin Hakam saat Thalhah terkena panah di bagian lututnya dalam perang Jamal. Darahnya terus mengucur dan mengalir dari lukanya. Jika luka tersebut ditahan, maka darahnya akan berhenti. Bila dibiarkan darah tersebut akan terus bercucuran keluar.” Ia melanjutkan, “Sungguh tidak pernah lagi sampai padaku anak panah yang bentuknya demikian.” Ia menambahi perkataannya, “Tinggalkan saja anak panah itu, sungguh itu merupakan anak panah yang langsung dikirim Allah kepada Thalhah.” Kemudian beliau wafat dan kami menguburkannya di tepian tanah yang sedang tumbuh rerumputan.[1]
Setelah Marwan bin Hakam melemparkan anak panahnya pada Thalhah, ia berkata pada Abban bin Utsman, “Telah cukup bagi kami membunuh salah satu orang-tuamu.”[2]
Thalhah terbunuh saat perang Jamal sedang berkecamuk. Wafatnya Thalhah bertepatan pada hari Kamis, 10 hari terakhir bulan Jumadil Akhir pada tahun 36 Hijriah. Beliau kemudian dimakamkan di kota Basrah.
Seseorang pernah datang kepada putri Thalhah, Aisyah , dan berkata padanya, “Aku melihat Thalhah dalam tidurku. Beliau berkata padaku, Katakan pada Aisyah supaya ia memindahkan aku dari tempat ini, karena air yang mengalir dalam tempat ini telah menyakitiku. Kemudian aku mengikuti keluarganya dalam pemindahan jasadnya serta membuatkan pemakamannya yang baru. Lalu salah satu keluarganya menyalakan api obor di atas kuburannya.
Orang tersebut berkata, “Jasad Thalhah tidak sedikitpun berubah kecuali hanya beberapa helai rambut yang terlepas dari jenggotnya. Padahal waktu pemindahan itu diperkirakan sudah 30 tahun dari kematiannya.”[3]

Zubair bin Awwam Menjelang Ajal
Dalam perang Jamal, Zubair bertemu dengan Shafwan yang berasal dari Basrah. Ia juga berhadapan dengan seorang dari kota Majasi’ yang diberi julukan al-Na’ru.[4] Lalu al-Na’ru berkata pada Zubair, “Ke mana engkau akan pergi wahai juru bicara Rasulullah? Sekarang engkau berada dalam jaminanku. Tidak ada yang bisa menjaminmu kecuali aku.”  Tetapi setelah ia berkata demikian, ia bergabung bersama Zubair. Berita bergabungnya Shafwan ini kemudian sampai pada Ahnaf. Lalu Al-Na’ru berkata pada Zubair, “Apa yang engkau perintahkan wahai putra Awwam?” Zubair menjawab, “Bergabunglah dengan orang-orang Muslim hingga perang berkecamuk. Setelah itu temuilah aku di tendaku!” Tak disangka berita ini sampai pula ke telinga Umair bin Jarmuz, Fadhalah bin Habis dan Nafi’ yang ketiganya adalah musuh Zubair. Ketiganya lantas menghadang al-Na’ru. Umair menghadangnya dari belakang dengan menaiki kudanya yang lemah, sedangkan dua lainnya menghadang dari depan. Ketika al-Na’ru belum siap, Umair menikamnya dengan tikaman ringan. Mereka kemudian membawanya ke tempat singgah yang sudah disepakati antara Zubair dengan al-Na’ru. Mereka memanggil-manggil Zubair, “Wahai pemilik otak seperti keledai.”[5] Mendengar teriakan itu, Zubair akhirnya keluar. Dengan tanggap Umair langsung memanggil kedua rekannya, “Ayo Nafi’.. Ayo Fadhalah..” Mereka tiba-tiba dengan cepat menyerang Zubair kemudian membunuhnya.[6]
Lantas, di mana Zubair tahu bahwa mereka itu ingin membunuhnya?
Dikisahkan bahwa sebelum peristiwa pembunuhan itu terjadi, Jawan bin Qatadah berkata, “Saat terjadi perang Jamal, aku sedang bersama Zubair. Banyak sahabat datang dan menyalaminya diiringi dengan suara yang keras. Salah seorang yang bernama Faris tiba-tiba lewat seraya berkata, Assalamu alaikum, wahai Amirul Mukminin. Ia kemudian membisikkan sesuatu pada telinga Zubair. Setelah ia pergi, datang pula seseorang yang tidak aku kenal melakukan hal yang sama. Dan setelah itu, ada orang lagi dengan melakukan hal yang sama.
Ketika sekelompok musuh datang dan Zubair melihat mereka dengan mata kepalanya sendiri, ia berkata padaku, “Tebaslah hidung pemimpin itu! Ia adalah orang yang hanya berani main dari belakang.” Setelah pemimpin itu terbunuh, Zubair mengambil potongan daging hidungnya dengan tangan gemetaran. Saking gemetarnya, pedangnya juga ikut bergetar.
Aku lalu berkata padanya, “Ibuku telah meninggal, dan aku ingin meninggal bersamamu. Aku berani bersumpah, aku tidak pernah melihat perkara semacam ini melainkan perkara-perkara itu telah engkau dengar dan engkau lihat. Sungguh engkau adalah pahlawan Rasulullah Saw.”
Saat orang-orang tengah sibuk berperang, Zubair pergi dengan menggunakan tunggangannya. Aku juga menaiki tungganganku lalu pergi sendiri tanpa menemani Zubair. Kemudian aku bertemu dengan al-Ahnaf. Di saat yang sama, Ahnaf didatangi dua orang penunggang kuda. Mereka turun dari tunggangannya seraya meminta tolong kepadanya. Ahnaf mengangkat kepalanya waktu mendengar suara mereka. Ia kemudian berkata pada mereka, “Ada apa denganmu wahai Amru bin Jarmuz? Dan ada apa dengan kamu wahai fulan?” Melihat apa yang terjadi pada mereka, ia langsung mendekat untuk menolong mereka. Setelah dibantu selang beberapa waktu, mereka akhirnya pergi. Sesaat setelah melangkahkan kaki, Amru bin Jarmuz kembali ke Ahnaf lalu berucap padanya, Wahai Ahnaf, tadi aku melihat Zubair di lembah Siba’. Dan setelah itu aku membunuhnya.”[7]
Zubair bin Awwam dibunuh di saat perang Jamal sedang berkecamuk. Saat itu, ia berumur 75 tahun. Ibn Abbas mendatangi Ali bin Abi Thalib dan berkata, “Tempat mana yang cocok untuk pembunuh putra Shafiyah (ibu Zubair)?” Ali spontan menjawab,  “Di neraka.”[8]
Akan tetapi pembunuh Zubair, Amru bin Jarmuz, lalu merasa menyesal dengan perbuatannya dan ia memutuskan bertaubat. Tidak seperti pembunuh-pembunuh lainnya yang membunuh Thalhah, Khalifah Utsman ataupun Sayyidina Ali bin Abi Thalib.
Urwah bin Zubair pernah meriwayatkan bahwa pernah datang seorang bernama Umair bin Jarmuz untuk mengambil-alih kepemimpinan Mus’ab bin Umair secara paksa. Namun usaha Umair gagal dan kemudian ia dipenjarakan. Ia akhirnya mengirim surat kepada saudaranya perihal perkara yang dihadapinya. Saudaranya justru membalas dengan menasehatinya supaya ia kuat dengan hukuman yang diterimanya. Tapi Umair menjawab lagi, ”Kamu kira aku ini mau membunuh orang Arab terhormat seperti Zubair?” Tapi saudaranya pun akhirnya tetap mengabaikannya.
Lalu dalam peristiwa lain, suatu hari, Umair berjalan-jalan dan melihat ada rumah tua. Dalam perkiraannya, rumah itu tanpa penghuni. Ia lalu menyuruh anak buahnya untuk membantunya masuk ke dalam rumah tua itu. Ternyata rumah tua itu masih ada penghuninya. Tanpa berpikir panjang, ia lantas membunuh penghuni rumah itu yang notabene tak ada urusan dengannya. Setelah pembunuhan itu, ia tidak pernah merasakan kenyamanan dalam hidupnya. Karena setiap tidur, ia selalu didatangi orang yang dibunuhnya dengan wajah yang sangat menyeramkan.[9]
Abdullah bin Zubair juga berkata, “Ketika ayahku beristirahat saat berkecamuknya perang Jamal, beliau memanggilku. Aku langsung mendatanginya seraya berdiri di sampingnya. Beliau lalu berkata padaku, ‘Wahai putraku, sungguh tidak ada yang terbunuh hari ini kecuali mereka yang dzalim ataupun terdzalimi. Dan ayah merasa hari ini akan terbunuh dengan keadaan terdzalimi. Sungguh selama ini yang sangat ayah pikirkan adalah utang. Apakah kita masih memiliki harta untuk membayar utang-utangku? Wahai putraku, jual lah barang-barang kita! Kemudian lunasilah utang-utang ayah. Ayah akan mewasiatkan sebuah harta kepadamu. Bagilah harta ayah itu. Sepertiga untuk sadaqah dan sepertiga lagi untukmu. Jika ada sisa dari harta pembayaran utang ayah, maka kasihkanlah kepada anakmu’.”[10]
Semoga Allah selalu meridhai Zubair bin Awwam dan menempatkannya di tempat yang paling tinggi. Aamiin.


[1]HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqat al-Kubra’, Juz III, hlm. 223, Imam al-Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz III, hlm. 370. Hadits ini telah ditashih dan ditakrir oleh Imam al-Dzahabi dengan sanad yang shahih.
[2]HR Khalifah bin Khiyat dalam ‘Tarikh’,  hlm.18 dan Imam al-Hakim dalam ‘Al-Mustadrak ala al-Shahîhain’, Juz IIIm hlm. 371 dengan sanad yang tidak dipermasalahkan.
[3]HR Imam Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lami al-Nubalâ’, Juz X, hlm. 40.
[4]Sebutan untuk orang yang mempunyai suara sengau atau suara yang keluar dari hidung.
[5] Sebutan untuk menghina dengan membodohkan orang tersebut.
[6]HR Al-Fasawi dalam ‘al-Ma’rifah wa al-Târikh’, Juz III, hlm. 311, Imam Thabari dalam ‘Târikh al-Thabari’, Juz IV, hlm. 498-499 dan Imam Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz I, hlm. 60.
[7]HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubrâ’, Juz III, hlm. 111. Darinya pula,  Imam al-Dzahabi menyebutkan hadits ini dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz I, hlm. 61  melalui sanad yang shahih.
[8]Hadits shahih, HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubrâ’, Juz III, hlm. 110-111.
[9]Imam Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz I, hlm. 64-65.
[10]HR Ibn Sa’ad dalam ‘Tabaqât al-Kubrâ’, Juz I, bab 3, hlm. 77 dan Imam al-Dzahabi dalam ‘Siyaru A’lâmi al-Nubalâ’, Juz I, hlm. 65.

No comments:

Post a Comment