Sebagian besar pekerja informal di
negara-negara anggota ASEAN belum mendapat Jaminan Sosial.
Sekretaris
Jenderal Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Muchtar Luthfi, mengatakan
sebagian besar pekerja sektor informal di ASEAN minim mendapatkan perlindungan
Jamsos. Akibatnya, pekerja informal bekerja tanpa perlindungan jaminan
kesehatan dan kecelakaan kerja. Sebaliknya, pekerja sektor formal sudah
berjalan cukup baik. Cuma, cakupan perlindungan Jamsos di beberapa negara hanya
meliputi jaminan kesehatan dan hari tua.
"Sebagian
besar pekerja informal di ASEAN tidak mendapatkan akses perlindungan jaminan
sosial. Oleh karena itu dibutuhkan dorongan agar penerapan jaminan sosial lebih
baik lagi," kata Luthfi dalam
keterangan pers yang diterima hukumonline.
Mengutip
hasil laporan ILO, Lutfhi mencatat hampir di seluruh negara berkembang memiliki
kesamaan bentuk perlindungan sosial, terutama bagi pekerja sektor formal,
berupa jaminan kesehatan dan kecelakaan kerja. “Untuk pekerja informal,
berdasarkan laporan ILO, kondisi dan kesehatan kerja mereka kadang masih
kurang, bahkan kadang tanpa perlindungan sosial atau kesehatan”.
Luthfi
berharap Jamsos bisa lebih baik lewat BPJS. Jamsos bukan hanya memberi
perlindungan bagi pekerja formal atau informal tapi juga masyarakat luas. Skema
perlindungan Jamsos di ASEAN sebagaian besar kontribusi pemerintah, pekerja dan
pengusaha. “Untuk itu sangatlah penting keterlibatan organisasi serikat pekerja
dan pengusaha bersama-sama ikut terlibat dengan pemerintah dalam menyusun
kebijakan maupun program terkait jaring pengaman sosial,“ tuturnya.
Bagi
Lutfhi, dengan menjalin hubungan yang kondusif antar pemangku kepentingan maka
akan memperbaiki iklim usaha dan penerapan Jamsos. Selain itu pengalaman negara
lain dalam menerapkan Jamsos patut dipelajari untuk diadopsi. Misalnya, Jepang
terkenal dalam memberikan proteksi yang baik terhadap para pekerja. “Jepang
mampu memberikan perlindungan lebih baik karena iuran yang dibayarkan juga
lebih tinggi. Dari sini kita dapat belajar," katanya.
Koordinator
advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan berdasarkan data BPS, jumlah pekerja sektor
informal pada Februari 2012 mencapai 70,7 juta orang atau 62,71 persen dari
total pekerja. Jumlah yang tergolong besar itu dapat dinilai sebagai salah satu
bentuk kegagalan pemerintah dalam membangun industri nasional. Sehingga,
terdapat tenaga kerja yang tidak terserap lapangan kerja sektor formal.
Walau
begitu, Timboel melanjutkan, pekerja informal termasuk pemangku kepentingan
dalam pembangunan perekonomian. Karena itu pemerintah perlu memperhatikan
keberadaan pekerja informal melalui perlindungan Jamsos.
Timboel
melihat selama ini pekerja informal belum tersentuh Jamsos. Peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan Jamsos, seperti UU No. 3 Tahun 1992
Tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) menurutnya belum secara penuh
mengakomodir kepesertaan pekerja informal. Padahal, Jamsos bagi pekerja dan
keluarganya sangat penting karena mampu memberi rasa aman dan tenang dalam
bekerja.
Tapi
kondisi itu saat ini mulai diperbaiki lewat UU SJSN dan BPJS karena pekerja
sektor informal tercakup sebagai peserta program Jamsos yang digelar BPJS.
Sehingga dapat dikatakan posisi pekerja formal dan informal setara dalam
mendapatkan Jamsos. Tapi sayang, pemerintah belum fokus melibatkan pekerja
informal menjadi peserta BPJS. Salah satu penyebab yaitu terkait keterbatasan
dan ketidakpastian pendapatan pekerja informal. Tapi bagi Timboel hal itu
mestinya tidak menghambat kepesertaan pekerja informal dalam BPJS, bahkan
pemerintah mestinya mengulurkan bantuan. Salah satu caranya yaitu mensubsidi
iuran Jamsos untuk pekerja informal.
Timboel
mencatat subsidi iuran bagi pekerja informal itu telah dipraktikan oleh
pemerintah daerah Purwakarta dan PT Jamsostek. Yaitu mengikutsertakan pekerja
informal sebagai peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK), Jaminan Kematian
(JKM) dan Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK). Menurutnya praktik itu dapat diadopsi
pemerintah pusat dengan cara menerbitkan regulasi. Sehingga seluruh Pemda
didorong untuk membiayai beberapa program Jamsos.
Untuk
program Jaminan Kesehatan yang digelar BPJS Kesehatan, kata Timboel, lewat
APBN, pemerintah dapat mengikutsertakan pekerja informal sebagai peserta
Penerima Bantuan Iuran (PBI) karena sebagian besar pekerja informal tergolong
miskin dan tidak mampu. Hal itu dapat dilakukan dengan cara menaikan jumlah PBI
yang sekarang jumlahnya hanya 86,4 juta orang. Sedangkan dalam regulasi program
Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Pensiun (JP) BPJS Ketenagakerjaan,
pemerintah harus memasukan ketentuan terkait kepesertaan pekerja informal.
Timboel juga mengingatkan pemerintah agar tidak lupa memperhatikan Jamsos bagi
pekerja rumah tangga (PRT).
Timboel
berharap pemerintah memasukan klausul penerapan Social Protrection Floor (SPF)
yang diterbitkan ILO. Klausul itu merupakan salah satu syarat sebelum
Masyarakat Ekonomi ASEAN pada 2015 diberlakukan. Penerapan klausul itu menurut
Timboel sangat penting dalam rangka melindungi pekerja migran Indonesia yang
bekerja di negara ASEAN. Baik mereka yang bekerja di sektor formal atau
informal.
“Banyak
pekerja migran kita yang berstatus pekerja formal maupun pekerja informal di
Malaysia dan Singapura. Hal ini untuk menutupi kelemahan SJSN dan BPJS yang
tidak meng-cover pekerja migran kita di luar negeri, sementara pekerja asing
yang minimal bekerja 6 bulan di Indonesia berhak atas jaminan sosial di
Indonesia,” urai Timboel.
Dari
pantauannya, Timboel melihat selama ini pemerintah kurang memperhatikan
pentingnya Jamsos bagi pekerja migran Indonesia. Oleh karenanya penerapan
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 dapat dijadikan momentum pemerintah untuk serius
melindungi pekerja migran Indonesia lewat Jamsos.(hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment