Wednesday, February 5, 2014

Menentang Kesewenang-wenangan


            Setelah Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi membunuh Abdullah bin Zubair, dia mengutus seseorang untuk memanggil ibunya (Asma’). Namun, Asma’ menolak datang. Kemudian Hajjaj mengutus kembali seseorang untuk menyampaikan pesannya, “Datanglah kepada saya. Kalau tidak, saya akan mengutus seseorang untuk menyeretmu ke sini.”[1] Asma’ tetap menolak, bahkan dia berkata, “Demi Allah saya tidak akan mendatangimu, sampai kamu mengutus seseorang untuk menyeret saya.”
            Lalu Hajjaj lekas-lekas menghampiri Asma’ dan bertanya, “Bagaimana pendapatmu tentang apa yang telah saya perbuat terhadap musuh Allah?”[2]
            Asma’ menjawab, “Menurut saya, kamu telah menghancurkan kehidupan dunianya dan kamu sendiri telah menghancurkan akhiratmu. Saya mendengar bahwa kamu telah berkata kepadanya, ‘Wahai putra perempuan pemakai dua sarung (dzatu an-nithaqaini).’ Saya, demi Allah, adalah perempuan pemakai dua sarung tersebut. Dua sarung tersebut salah satunya saya gunakan untuk membawa makanan buat Rasulullah dan Abu Bakar. Sementara yang lain adalah sarung yang dibutuhkan setiap perempuan. Tahukah sesungguhnya Rasulullah menceritakan kepada kami bahwa di Tsaqif akan ada seorang pembohong dan pembunuh.[3] Adapun pembohong tersebut, kita telah melihatnya, sementara pembunuh, saya melihat bahwa dia adalah kamu.” Hajjaj lantas pergi meninggalkannya.[4]
            Dalam riwayat lain dikisahkan bahwa sewaktu Abdullah bin Zubair dibunuh, Asma’ r.a. sedang berada di Makkah. Asma’ mendengar putranya disalib, karena itu, dia mendatangi Hajjaj, kemudian dia meminta kepadanya, “Tidakkah orang yang disalib ini sudah waktunya untuk diturunkan?”
            Jawab Hajjaj, “Dia adalah orang munafik.”
            Asma’ mengomentari, “Tidak, demi Allah, dia bukan orang munafik. Di siang hari dia berpuasa, sementara malamnya dia gunakan tahajud.”
            Hajjaj berkata keras, “Enyahlah dari hadapan saya, karena sesungguhnya kamu adalah seorang perempuan tua renta yang tidak berakal.”
            Asma’ menukas, “Tidak, demi Allah, saya masih berakal. Saya mendengar Rasulullah berkata, ‘Akan keluar dari Tsaqif, seorang pembohong dan pembunuh. Adapun pembohong, kami telah menyaksikannya, sementara pembunuh itu adalah kamu.”[5]
            Sebuah riwayat mengungkapkan bahwa Asma’ bertahan hidup sepuluh malam setelah kematian putranya. Ada riwayat lain yang mengatakan dua puluh hari dan ada yang mengatakan lebih dari dua puluh hari, hingga Abdul Malik bin Marwan meminta agar Abdullah diturunkan dari kayu penyalib. Asma’ meninggal pada saat berumur seratus tahun. Semoga Allah meridhainya.
            Dikatakan pula bahwa ketika Hajjaj mendatangi Asma’, dia berkata kepadanya – dengan menampakkan ekspresi cinta, karena merasa takut kepadanya– “Ada apa wahai ibu?” Asma’ menjawab, “Saya bukan ibumu, saya adalah ibu dari laki-laki yang telah kamu salib.”
            Ibnu Umar mendapatkan kabar bahwa Asma’ sedang berada di pinggir masjid (ketika putranya disalib). Ibnu Umar mendatanginya, kemudian menyapa, “Sesungguhnya mayat ini, bukan apa-apa, tetapi ruhnya tetap hidup berada di sisi Allah, karena itu bertakwalah kepada Allah dan bersabarlah.”
`           Asma’ berkomentar, “Adakah yang mencegah saya begini? Sementara kepala Yahya putra Zakaria telah dihadiahkan kepada para pelacur Bani Israil.”
            Asma’ menyambangi putranya dalam keadaan sudah disalib. Lalu dia berdo’a, “Wahai Tuhan, jangan Engkau cabut nyawa saya, hingga Abdullah dikembalikan kepadaku, maka saya akan memandikan dan mengkafaninya.”
            Kemudian Abdullah dikembalikan kepadanya. Asma’ memandikannya sendiri dan mengkafaninya. Pada saat itu penglihatan Asma’ sudah kabur.[6]

Uday bin Hatim dan Bibinya
            Terkisah dari Uday bin Hatim al-Thâi r.a. bahwa Rasulullah mendatangi bibiku dengan menaiki kuda.[7] Pada saat itu, Uday sedang berada di kota Aqrab.[8] Orang-orang berkumpul di sekeliling Rasulullah, dan bibinya[9] berkata kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, para penolong sudah pergi jauh, anak juga telah telah tiada. Sementara saya yang sudah tua tinggal seorang diri dan tidak bisa apa-apa. Sebab itu, tolonglah saya, semoga Allah memberikan pertolongan kepadamu.”
            Rasulullah bertanya, “Siapa yang telah menolongmu?”
            Bibi Uday menjawab, “Uday putra Hatim.”
            Rasulullah melanjutkan pertanyaan, “Laki-laki yang lari dari Allah dan Rasul-Nya?”
            Bibi Uday kembali menjawab, “Tolonglah saya.” Bibi Uday kemudian melihat Ali bin Abu Thalib menghampiri Nabi dan berkata ke bibi Uday, “Mintalah kepada Nabi agar beliau memberikan hewan yang dapat membawamu.”
Uday bin Hatim melanjutkan ceritanya, “Kemudian bibi saya meminta kepada Rasulullah dan beliau pun memberikan.”[10]
            Lalu bibinya mendatangi Uday dan berkata, “Sungguh kamu telah melakukan perbuatan yang tidak pernah dikerjakan oleh ayahmu! Datanglah kepada Rasulullah, baik dengan suka hati atau rasa takut, karena setiap yang mendatanginya pasti bahagia."
            Uday lantas menyambangi Rasulullah. Dia terkejut karena melihat perempuan dan anak-anak kecil di sekeliling beliau. Selang beberapa waktu, ada yang menuturkan kedekatan mereka dengan Nabi Saw. Mulai saat itu Uday menyadari bahwa Rasulullah bukanlah raja Kisra di Persia atau Kaisar di Romawi.[11]
            Rasulullah bertanya kepada Uday, “Wahai Uday putra Hatim, apa yang menyebabkanmu tidak mau mengucapkan lâ ilaha illallah? Ada apa dengan lâ ilaha illa allah? Apa yang menyebabkanmu tidak mau mengucapkan Allahu akbar? Apakah ada sesuatu yang lebih besar dari Allah, Maha Suci dan Agung?”
Ujar Uday, “Kemudian saya memeluk Islam dan melihat wajah beliau berseri-seri.”[12]


[1]Menarik rambut Asma’ untuk diseret ke Hajjaj.
[2]Abdullah bin Zubair, putranya.
[3]Ulama sepakat bahwa yang dimaksud  pembohong di sini adalah Mukhtar bin Abi Ubaid al-Tsaqafi. Dia benar-benar pembohong. Dia juga mengaku bahwa Jibril telah mendatanginya. Lihat, al-Bidâyah wa al-Nihâyah, 8/311-314). Dalam kitab tersebut diuraikan profilnya secara rinci. Ulama juga sepakat bahwa yang dimaksud dengan pembunuh (al-mubir) adalah Hajjaj bin Yusuf al-Tsaqafi.
[4]Diriwayatkan oleh imam Muslim (2545), Hakim (3/553), Tirmidzi (3220, 3944) dan Ahmad (2/26).
[5]Al-Ishâbah (4/230).
[6]Siyar A’lâm an-Nubalâ’ (3/531).
[7]Dalam riwayat al-Thabrani dalam kitab ‘al-Ausath’ disebutkan bahwa peperangan ini dipimpin oleh Khalid bin Walid. Lihat, Majma’ al-Zawâid (5/335).
[8]Salah satu kota di wilayah Syam.
[9]Pada riwayat Ibnu Ishaq dalam Sirah Ibnu Hisyâm disebutkan bahwa perempuan di atas adalah putri Hatim, bukan bibi Uday bin Hatim (saudara Hatim). Sementara dalam kitab Ishâbah disebutkan bahwa perempuan di atas adalah Safanah putri Uday bin Hatim. Tetapi yang lebih mendekati kebenaran, dia adalah bibi Uday, terkhusus ketika melihat bahwa riwayat Ibnu Hisyam sanadnya lemah. Adapun riwayat yang terdapat dalam Musnad Ahmad sanadnya shahih, sebagaimana yang nanti akan dijelaskan.
[10]Dalam riwayat al-Thabrani yang sebelumnya telah disebutkan, sesungguhnya Rasulullah berkata kepadanya, “Sesungguhnya Allah telah memerdekakanmu, maka di sinilah dan jangan pergi, hingga ada sesuatu yang datang kepada kami, maka kami akan mempersiapkannya untukmu.” Dalam riwayat Ibnu Ishaq disebutkan bahwa Rasulullah berkata padanya, “Kamu telah datang ke sini, maka jangan lekas-lekas pergi, hingga kamu menemukan orang yang bisa dipercaya dari kaummu yang dapat mengantarkanmu ke negaramu.”
[11]Penjelasan di atas diterangkan oleh riwayat yang terdapat dalam Sunan al-Tirmidzi (2953). Dalam riwayat tersebut Uday bin Hatim berkata, “Rasulullah bertemu perempuan yang bersama anak kecil. Kemudian keduanya berkata, ‘Kami ada kebutuhan kepadamu.’ Rasulullah berdiri bersama keduanya hingga memenuhi kebutuhannya.”
[12]Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (4/378-379), Thabrani. Perawinya semuanya shahih, kecuali Ubbad bin Habisy. Cerita ini terdapat dalam Sirah Ibnu Hisyâm (4/154-155), al-Ishâbah (94/329).

No comments:

Post a Comment