Warga DKI Jakarta kecewa terhadap layanan Jaminan Kesehatan Nasional. Cakupan layanan itu lebih sedikit dibandingkan dengan layanan yang sebelumnya tersedia melalui Kartu Jakarta Sehat.
Laporan mengenai
kekecewaan ini semakin banyak yang masuk ke DPRD DKI Jakarta. Cinta Mega,
anggota Komisi E (Bidang Kesejahteraan Rakyat) DPRD DKI Jakarta, mengatakan,
keluhan umumnya tentang perbedaan cakupan layanan dan syarat kepesertaan
Jaminan Kesehatan Nasional.
”Keluhan yang
masuk sudah ratusan. Bukan hanya kepada kami, melainkan juga kepada anggota
DPRD lain. Kami minta Dinas Kesehatan DKI menjelaskan masalah ini. Jika tidak
menguntungkan, lebih baik dievaluasi kerja sama dengan pusat,” kata Mega,
Selasa (4/2/2014), di Jakarta.
Menurut Mega, sejak
dileburnya dua program, yaitu Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) dan Kartu
Jakarta Sehat (KJS), kualitas layanan kesehatan untuk orang miskin menurun.
Padahal, Pemprov DKI mampu membiayai layanan itu tanpa kerja sama dengan pusat.
Keluhan seperti itu sebelumnya jarang muncul ketika layanan KJS berjalan.
Di Jakarta,
layanan JKN menjangkau 1,271 juta warga miskin. Masih ada 2,106 juta warga
miskin yang belum terjangkau. Pemprov DKI mendaftarkan mereka yang sebelumnya
menjadi peserta KJS ke Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Theryoto, Kepala
Unit Pelaksana Teknis Jaminan Kesehatan Daerah Dinas Kesehatan DKI, mengakui
adanya perbedaan layanan itu. Kini Dinas Kesehatan mengajukan surat ke pusat
agar tidak mengurangi kualitas layanan. Sayangnya, dasar hukum penambahan
layanan peserta KJS yang dilebur ke JKN kini belum terbit.
Anak balita
ditolak
Dengan
diterapkannya BPJS, warga miskin yang tertimpa banjir makin sulit menjangkau
pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kesulitan ini dialami Agustin (27). Perempuan
ini tak bisa memeriksakan anak balitanya, Kharis Putra Hartanto (20 bulan),
yang tubuhnya panas, ke rumah sakit pada pekan lalu.
Agustin dan
suaminya telah terdaftar sebagai peserta KJS. Namun, anaknya yang masih balita
belum terdaftar. Anaknya saat itu ditolak berobat di RS UKI, salah satu rumah
sakit swasta yang menerima pasien KJS.
Jika ingin dirawat
di rumah sakit, kata Agustin, anaknya harus didaftarkan terlebih dahulu ke
kantor BPJS untuk diikutsertakan dalam BPJS. ”Ini sungguh merepotkan. Saat era
KJS, kami bisa langsung daftar di rumah sakit,” kata Agustin.
Namun, berkat
kebijakan rumah sakit, anak balita itu tetap diperiksa di RS UKI. ”Akhirnya
saya bayar untuk beli obat Rp 80.000. Biaya dokter digratiskan rumah sakit
karena saya tidak mampu,” ujar Agustin. (megapolitan.kompas.com)
No comments:
Post a Comment