Friday, February 7, 2014

Perempuan Mulia yang Bertaubat


            Terkisah dari Imran bin Husain r.a. bahwa perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi Saw. Perempuan itu memohon, “Wahai Rasulullah, saya telah melakukan dosa yang mewajibkan adanya rajam (had). Mohon laksanakanlah rajam tersebut." Kemudian Rasulullah mengundang orang-tuanya dan berkata kepadanya: “Perlakukan anakmu dengan baik. Ketika dia sudah melahirkan, bawalah dia kepadaku.”
Orang tua perempuan tersebut melaksanakan perintah Rasulullah sampai beberapa bulan berelang putrinya melahirkan dan dibawalah ke hadapan Rasulullah. Setelah itu, Rasulullah memerintahkan kepada orang-tuanya agar baju perempuan tersebut dibuka untuk kemudian dirajam.
Usai perajaman, Umar bin Khattab bertanya, “Wahai Nabi, apakah engkau akan menshalatinya, sementara dia telah berzina?"
Rasulullah menjawab, “Perempuan itu telah benar-benar bertaubat. Kalau seandainya taubatnya dibagikan antara tujuh puluh dari penduduk Madinah, maka masih cukup. Apakah kamu pernah menemukan taubat yang lebih utama dari perempuan yang datang dengan sendirinya karena mengharap ridha Allah?”[1]

Bertakwalah dan Bersabarlah
            Rasulullah pernah berjumpa dengan perempuan yang menangis di samping kuburan. Lalu Rasulullah bernasehat kepada perempuan tersebut, “Wahai hamba Allah, bertakwalah dan bersabarlah!”
Perempuan tersebut tidak mengenali Nabi Saw. Oleh karenanya dia mengucap, “Apakah kamu tidak peduli dengan musibah yang menimpa saya. Menjauhlah dari saya, karena kamu tidak tertimpa musibah seperti yang telah menimpa saya.”
Ketika Rasulullah pergi, para sahabat berbicara kepada perempuan tersebut, “Dia yang tadi kamu usir adalah Rasulullah.”
Perempuan tersebut menyesali perilakunya, kemudian dia menjumpai Rasulullah dan berkata, “Wahai Rasulullah, saya tidak mengenalimu!”
Rasulullah menasehati, “Kesabaran dituntut ketika menghadapi cobaan yang pertama.”[2]

Para Perempuan Membaiat Nabi
            Alkisah, bersama sejumlah perempuan, Amimah putri Ruqaiqah, berbondong-bondong mendatangi Nabi Saw untuk membaiatnya dan menyatakan diri masuk Islam. Mereka berkata, “Wahai Rasulullah, kami membaiatmu bahwa kami tidak akan menyekutukan Allah dengan suatu apapun. Begitu pula, kami tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak kami, tidak akan berbuat dusta yang kami ada-adakan antara tangan dan kaki kami,[3] dan kami juga tidak akan durhaka kepadamu dengan meninggalkan kebaikan.”[4]
            Rasulullah berpesan, “Lakukan semampu dan sekuat kalian.”
            Dalam kisah Amimah, mereka berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih berbelas kasih daripada diri kami sendiri, mendekatlah, kami akan membaiatmu wahai Rasulullah.”
            Lantas Rasulullah mengucap, “Sesungguhnya saya tidak berjabat tangan dengan kaum perempuan, tetapi apa yang saya sampaikan kepada seratus perempuan sama dengan yang saya sampaikan kepada satu perempuan.”[5]
            Pembaiatan tersebut terjadi pada waktu penaklukan kota Makkah (fathu Makkah). Setelah Rasulullah selesai membaiat kaum laki-laki, beliau membaiat kaum perempuan. Salah satu dari mereka adalah Hindun bin ‘Utbah yang pada saat itu mengenakan cadar dan menjauh dari pandangan Rasulullah lantaran terbayang dengan apa yang pernah dia perbuat terhadap Hamzah. Hindun khawatir Rasulullah akan menghukumnya. Tatkala mereka mendekat kepada Rasulullah untuk berbaiat, beliau meminta, “Berjanjilah kepada saya untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apapun.”
            Hindun lalu mengucap, “Demi Allah engkau telah mengambil janji atas kami sesuatu yang tidak engkeu ambil dari kaum laki-laki.”
            Kemudian Rasulullah bernasehat, “Janganlah kalian mencuri!”
            Hindun bersaksi, “Demi Allah, dulu saya pernah mengambil harta Abu Sufyan sedikit demi sedikit dan saya tidak tahu apakah harta itu halal bagi kami atau tidak?”[6]
Seketika Abu Sufyan langsung berkata (dia menyaksikan apa yang Hindun katakan),
“Adapun harta yang kamu ambil tempo dulu, statusnya merupakan harta yang halal bagimu.”
Kemudian Rasulullah bertanya, “Benarkah kamu adalah Hindun putri ‘Utbah?”
            “Ya,” jawab Hindun.
“Ya Allah, ampunilah dosa yang telah berlalu. Semoga Allah mengampunimu,” ujar Rasulullah melanjutkan nasehatnya, “Dan mereka tidak melakukan perbuatan berzina.”
            Hindun merespon, “Orang merdeka tidak berzina.”
            Rasulullah melanjutkan pesannya, “Janganlah kalian membunuh anak-anak kalian.”
            Hindun menyatakan, “Sungguh kami telah mendidik anak-anak kami semenjak kecil, hingga kamu dan para sahabatmu membunuh mereka di perang Badar, ketika mereka sudah besar.” Mendengar hal itu, Umar bin Khattab langsung tertawa, sampai dia hanyut terbawa oleh tawanya.
            Pesan lanjut Rasulullah, “Dan mereka tidak berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka. Demi Allah sesungguhnya berbuat dusta adalah hal buruk dan dalam sebagian pengampunan terdapat contoh yang baik.”
            Kemudian Rasulullah bernasehat, “Dan mereka tidak durhaka kepadaku.”
            Hindun berkata, “Dalam kebaikan.”[7]
            Lalu Rasulullah meminta Umar bin Khattab, “Baiatlah mereka dan mintakan ampunan, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Maha Belas kasih.”
            Umar membait mereka. Rasulullah pun tidak berjabat tangan dengan perempuan dan tidak memegang perempuan selain yang telah Allah halalkan kepada beliau atau perempuan mahram.[8]
            Dan benar bahwa Hindun berkata kepada Nabi Saw, “Di muka bumi ini tidak ada keluarga berkemah (ahlu khibâ’) yang lebih saya benci selain keluargamu. Sampai kemudian ketika saya masuk Islam, tidak ada keluarga yang sangat saya muliakan selain keluargamu.”
            Kemudian Rasulullah menimpali, “Dan kepadamu saya juga seperti itu, demi Dzat (Allah SWT) yang memegang kendali diri saya.”[9]


[1]Diriwayatkan oleh Imam Muslim (1696).
[2]Diriwayatkan oleh Imam Bukhari (1283) dan Imam Muslim (627).
[3]Di sini kalimat ‘tangan dan kaki’ digunakan sebagai pengganti dari  diri seseorang. Dikarenakan perbuatan mayoritasnya adalah hasil dari kaki dan tangan, atau kedustaan adalah hasil perbuatan hati yang ada di antara tangan dan kaki, kemudian diungkapkan melalui lisan.
[4]Dari Ummu Salamah al-Anshari, sesungguhnya kaum perempuan bertanya kepada Nabi Saw, “Kebaikan apa yang kami tidak boleh mendurhakainya?” Rasulullah menjawab, “Jangan kalian meratapi kematian.” Abdullah bin Humaid berkata, “Ummu Salamah adalah Asma’ putri Yazid bin al-Sakan. Sunan al-Tirmidzi (3307) dan Ibnu Majah (1579).
[5]Diriwayatkan oleh Imam Ahmad (2874), Ibnu Hibban (4536) dan al-Hakim (4/71).
[6]Dalam Shahih Bukhari dan Muslim disebutkan bahwa Hindun berkata kepada Rasulullah, “Abu Sufyan adalah laki-laki kikir, tidak memberikan saya dan anak-anak nafkah yang mencukupi, kecuali dari harta yang saya ambil tanpa sepengetahuannya. Apakah apa yang saya lakukan ini berdosa?” Rasulullah menjawab, “Ambillah harta dari suamimu secukup nafkah buatmu dan anak-anakmu dengan baik.” Bukhari (5364), Muslim (1714), Abu Daud (3532), al-Nasaî (8/246), Ibnu Majah (2293), al-Darimi (2259) dan Imam Ahmad (6/39, 50, 206), semua hadits ini diriwayatkan dari Aisyah.
[7]Sudah disebutkan sebelumnya.
[8]Bidâyah wa al-Nihayah (4/715).
[9]Dikomentari oleh Imam Bukhari (3825), disambung oleh al-Baihaqi dalam kitab Dalâ’il (5/100). Lihat, Fath  al-Bâri (7/175).

No comments:

Post a Comment