* Agus
Pramono, Owner Ayam Bakar Mas Mono
Pencinta kuliner Jakarta kini cukup
akrab dengan Ayam Bakar Mas Mono. Bermula dari jualan di kaki lima dengan
gerobak, kini telah beranak-pinak puluhan cabang yang tersebar di berbagai
kota. Siapa sangka brand ayam bakar yang telah mendunia itu dibesut oleh
seorang mantan office boy perusahaan swasta?
APRIL 2012 menjadi tonggak penting bagi
perjalanan bisnis Agus Pramono selaku pemilik (owner) brand “Ayam Bakar Mas Mono” yang kinis semakin akrab di lidah
pencinta kuliner Jakarta. Tepatnya tanggal 2 April 2012, Mas Mono menanda-tangani
nota kesepahaman (memorandum of
understanding) dalam 'event Go Global
Official Signing of Ayam Bakar Mas Mono's launch into Malaysia' di Kuala
Lumpur, Malaysia.
Perjanjian
'Go International' Ayam Bakar Mas
Mono ini sangat menggembirakan dan merupakan salah satu mimpinya setelah kurang
lebih sepuluh tahun menjalankan usaha yang bermula dari kaki lima Jalan Supomo,
Tebet, Jakarta Selaan, ini. "Sejak tahun 2010 saya sudah memimpikan Ayam
Bakar Mas Mono go international di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura
dan Arab Saudi," tutur Mas Mono.
Kerjasama Master Franchise Ayam Bakar Mas Mono di
Malaysia berawal dari ketertarikan seorang pelanggan Malaysia bernama Mr. Mohd.
Lutfi yang suka dengan rasa Ayam Bakar Mas Mono. Pelanggan asal Malaysia ini
menilai rasa ayamnya cocok dengan lidah orang-orang Malaysia. "Saya
memilih kerjasama dengan Ayam Bakar Mas Mono karena menu makanan ini belum ada
di Malaysia dan rasanya enak, satu selera dengan orang Malaysia," ujar Mohd.
Lutfi, Enterpreneur dan pengusaha muda Malaysia.
Lutfi merasa
optimis kerjasama ini bakal sukses. Sebab, ia telah melakukan riset di beberapa
restoran Melayu di Malaysia dan menurutnya rasa 'Ayam Bakar Mas Mono' enak dan
berbeda dibandingkan rasa makanan sejenis di restoran tersebut. Terlebih menu
makan ayam bakar belum ada di restoran-restoran Melayu. "Saya yakin 'Ayam
Bakar Mas Mono' akan berjaya di Malaysia," kata Lutfi.
Kerjasama Master Franchise ini diawali dengan pembukaan
tiga outlet 'Ayam Bakar Mas Mono' di Malaysia pada tahun 2012. Dua di antaranya
dibuka di Kuala Lumpur Internasional Airport (KLIA).
Bukanlah
sukses yang tiba-tiba bila kini Ayam Bakar Mono telah go international. Mas Mono mesti menempuh jalan panjang dan berliku
yang penuh warna.
Tekad kuat
Lahir dari
keluarga yang pas-pasan, selepas lulus SMA di Madiun, Jawa Timur, tahun 1994,
Agus Pramono yang kini beken dengan nama Mas Mono merantau ke Jakarta. Berbekal
selembar ijazah SMA. Dia berharap suatu saat dapat mereguh sukses, setidaknya
dapat hidup berkecukupan. “Jika orang lain bisa sukses, pasti saya juga bisa
mencapainya,” ujar anak kedelapan yang kini menjadi mentor utama Entrepreneur University ini.
Tiba di
Jakarta, lantaran keterbatasan lowongan pekerjaan buat mereka yang berijazah
SMA, Mas Mono rela menerima pekerjaan menjadi tenaga voluntir panitia
pembangunan masjid dengan menenteng-nenteng kotak amal di dalam bis kota. “Di waktu
awal di Jakarta, saya bekerja membawa kotak amal di bus-bus kota menjadi
sukarelawan pembangunan masjid. Itu saya lakukan dengan tulus ihklas, daripada
nganggur,” kenang ayah satu anak ini.
Bekal
ijazah SMA memang menjadikannya amat terbatas untuk memasuki dunia kerja, yang
biasa ada cuma pekerjaan office boy dan Satpam. Usai menjadi voluntir
pembangunan masjid, Mas Mono melamar dan diterima menjadi office boy di
perusahaan swasta. Di sela-sela bekerja office boy, di berusaha mengisi waktu
untuk belajar kepada karyawan lainnya.
“Setidaknya
saya memiliki waktu untuk belajar mengetik komputer, kalau itu diperbolehkan. Sepengetahuan
saya, karyawan yang memiliki keterampilan lebih, gajinya lebih gede. Apalagi
jika keterampilannya ini sangat khusus,” ujarnya.
Perjalanan
sebagai office boy dilaluinya dengan
baik. Sampai kemudian dia memperoleh apresiasi sebagai karyawan yang cepat naik
pangkat dan mencapai jenjang supervisor dalam waktu yang relatif singkat.
Kuncinya, menurut Mas Mono, mau belajar. Suatu waktu batinnya bergolak,
rasa-rasanya mustahil dapat hidup berkecukupan di Jakarta bila dirinya masih saja
seorang karyawan.
Benaknya
terpantik. Dia bertekad menjadi seorang pengusaha. Menjadi pengusaha memiliki
peluang lebih banyak untuk kaya dibandingkan sepanjang hidup sebagai seorang
supervisor di kantornya. Namun bagaimana caranya dan dari mana memulainya. Terlebih
dia tidak punya modal. Dia terus berpikir sampai muncul tekad yang amat kuat
menjadi seorang wirausaha.
Setelah
melalui perenungan dan pertimbangan bersama isterinya, Nunung, awal tahun 2001 Mas
Mono keluar dari pekerjaannya dan berusaha mewujudkan tekadnya menjadi
wirausahawan mandiri. Dia memilih menjadi penjual gorengan. Selain modalnya
kecil, masih banyak orang menyukai gorengan. Penuh suka duka. Kadang habis
terjual, kerap pula tidak habis. Tidak jarang dia berkeliling ke gang-gang
sempit di kawasan Pancoran dan Tebet, Jakarta Selatan, sambil mendorong-dorong
gerobaknya. Peluh dan keringat tak pernah kering, sampai larut malam, hasilnya
juga tak banyak-banyak amat.
“Pernah
dagangan gorengan saya tidak laku. Mau pulang malu, akhirnya saya jajakan ber
jam-jam di pinggir jalan. Begitu dagangan habis saya merasakan kebahagiaan yang
luar biasa. Kalau tidak laku juga, sering dagangan saya umpetin karena malu
dilihat tetangga,” tutur Mas Mono mengenang.
Melihat
nasib Mas Mono yang demikian getir, dari supervisor kantor menjadi pedagang
gorengan, banyak kenalannya, termasuk saudara dan familinya di Jakarta, merasa
prihatin. “Ngapain Mono cari ulah.
Sudah enak-enak kerja kantoran malah keluar,” begitu gerutunya.
Tapi Mas
Mono tetap tegar meretas jalan terjal. Hidup terus berubah. Nasib manusia, dia
meyakini, dapat berubah bila si anak manusia itu memiliki semangat, kemauan dan
langkah untuk berubah “Sepanjang kita sudah melakukan tiga hal tersebut, Tuhan
akan melakukan campur tangan terhadap nasib seseorang. Artinya, jika kita
memiliki keinginan, kemauan dan kita bekerja
keras untuk mencapainya, Tuhan memiliki kehendak untuk mengubahnya ,”
lanjut lelaki muda berperawakan gempal ini.
Dari jualan
gorengan keliling, Mas Mono ingin menetap di satu lokasi yang strategis.
Kemudian dia mendapatkan lokasi yang cukup strategis, yakni sebuah lapak tempat
berjualan di depan Kampus Universitas Sahid, Jalan Supomo, Jakarta Selatan. Lapak
kecil pun mulai berkisah tentang perubahan barang jualan Mas Mono. Dia mencoba
berjualan ayam bakar.
Mengapa
ayam bakar? Saat itu menu ayam bakar banyak digandrungi orang. Dan restoran
yang menyajikan menu ayam bakar selalu dibanjiri pencinta kuliner. “Saya
terinspirasi oleh kesuksesan sebuah restoran nasional yang menjual ayam bakar,”
ujarnya.
Tanpa
pengalaman. Dia tidak pernah berjualan ayam bakar. Tapi Mas Mono tidak ragu memulai
bisnis ini. Nekad saja. Sepanjang orang masih suka makan, dia meyakini dagangan
ayam bakarnya bakal laku.
Yakin
terjun ke usaha ayam bakar, Mono pun mencari modal. Akhirnya, ia mendapatkan
modal Rp500.000 untuk membeli bahan dan bumbu ayam bakar serta perlengkapan
memasak. Dia beli lima ekor ayam yang kemudian dipotong-potong menjadi 20
potong dan dimasak di rumah kontrakannya di kawasan Menteng Pulo, Jakarta
Selatan.
Tetap
memakai gerobak. Namun karena belum mahir mendorong gerobak, pernah suatu
ketika ayam dagangan jatuh ke pasir. Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan terlebih
dulu.
“Kalau
orang lain mungkin sudah mikir macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan
ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah, ini
pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak kanan.
Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Semula Mas
Mono menyajikan ayam bakar, tempe, tahu, dan cah kangkung. Ketika itu, dia
menjual seporsi nasi plus ayam bakar Rp5.000. Dengan 20 potong ayam, hari
pertama itu jualan baru laku 12 potong. Namun Mas Mono tidak patah arang.
Seiring kerja keras dan perjalanan waktu, semakin banyak yang orang menyambangi
gerobak Ayam Bakar Kalasan miliknya, baik mahasiswa, pegawai kantoran, ataupun
orang yang lalu lalang di Jalan Soepomo. Sampai suatu saat dia mampu menjual 80
ekor ayam per hari.
Ihwal rasa,
Mas Mono belajar otodidak dari saran dan kritik para pelanggan. "Ada yang
bilang pakai bumbu ini, pakai kecap itu, nasinya jangan nasi pera,” ungkapnya. Dia
pun mencoba menerima saran dan kritik pembelinya itu hingga benar-benar
menemukan rasa khas Ayam Bakar Kalasan.
Melihat
pengunjung yang makin banyak, dia lantas memperluas tempat usaha. Dengan
bantuan lima karyawan, dia mengubah konsep tempat makan, dengan menempatkan
meja dan kursi berpayung terpal.
Pada tahun
2004, gerai ayam bakar Mas Mono kena gusur. “Ketika itu saya bertanya-tanya
dalam hati, mengapa saya kerap kena gusur?” ungkap Mas Mono.
Dia
merenung dan mentafakuri peristiwa demi peristiwa yang dialami. “Apa hikmah di
balik itu semua?” batinnya berbisik. Perlahan, bersama istri dan karyawannya, dia
mulai bangkit, merintis usaha, dan meretas kembali kepercayaan yang selama ini
telah dibina bersama.
Dia lalu berpindah
ke Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan. "Waktu itu, Tebet sepi, tidak
seramai sekarang. Belum banyak usaha makanan juga," katanya.
Dari
sinilah, Ayam Bakar Kalasan Mas Mono semakin dikenal luas dan punya banyak
penggemar. Mas Mono kemudian membuka cabang di banyak tempat hingga beromzet
ratusan juta rupiah per bulan.
“Setelah
saya renungi, ternyata Allah membuka jalan. Gara-gara digusur, saya bisa
menghajikan ibu saya dan badal almarhum bapak dan mertua saya. Gara-gara waktu
itu digusur, sekarang saya bisa membangunkan rumah orang tua. Gara-gara
digusur, ayam saya tetap bisa beroperasi Sabtu-Minggu. Gara-gara digusur, saya
bisa seperti sekarang,” kenang mas Mono.
Kini, Mas
Mono haqqul yakin soal keadilan Sang
Pencipta. “Allah tidak akan mengubah suatu kaum, jikalau kaum itu nggak mau berubah. Bisa jadi, kalau saya
nggak digusur, saya bakal di situ
terus, berdagang di kaki lima,” ungkapnya.
Bangkit
dari keterpurukan lepas penggusuran, dia mulai merintis usaha di wilayah Tebet,
Jakarta. Secercah harapan mulai tampak terlihat. Hari berganti, ayam bakar
olahan Mas Mono kian digemari.
Dari sana,
rezeki Allah mengalir deras, hingga kini. “Saat jadi PKL dulu, saya sudah laris,
satu hari bisa sampai 80 ekor ayam. Saya dipercaya memberikan makanan untuk
program acara Trans 7, sudah 12 tahun
berjalan. Sampai detik ini tidak ada MoU dan Surat Perjanjian Kerjasama (SPK),
semuanya bermodal kepercayaan,” kata Mas Mono.
Sabar dan syukur
Menurut Mas
Mono, bisnis tak melulu soal uang. Ketika usahanya di kaki lima Jalan Supomo
mulai banyak pelanggan, datanglah sponsor untuk melengkapi kebutuhan di lapak
Mas Mono mulai dari taplak, meja, mangkok, sampai rice cooker. ”Bisnis nggak harus modal kita. Jika kita
mencari keberkahan, uang akan datang, tapi kalau mencari uang, belum tentu uang
didapat,” tuturnya.
Dalam
membangun bisnis, jatuh bangun adalah hal biasa. Hal ini pun dialami Mas Mono.
Pun ketika bisnisnya mulai mapan, saat melakukan ekspansi membuka cabang.
“Waktu itu
isu flu burung merebak, saat saya mulai buka cabang. Kontan, secara materi saya
rugi besar. Semua penjual ayam kena dampak. Namun, saya coba untuk tetap
bersyukur dan bersabar atas kejadian itu. Saya yakin, dengan syukur, Allah beri
nikmat lebih banyak,” Mas Mono, mengenang.
Selain itu,
dia aktif pula menimba ilmu dan pengalaman bergelut di dunia bisnis. Para
pebisnis kenamaan semisal; Sandiaga Uno, Ustadz Yusuf Mansyur, Ciputra, dan Bob
Sadino.
Memelihara rasa malas
Satu hal
yang juga menarik dalam mengembangkan usahanya, Mas Mono memelihara rasa malas.
Pada prinsipnya, menurut Mas Mono, menjadi pengusaha itu harus malas. Malas di
sini bukan berarti malas bekerja, tetapi malas kalau mempunyai usaha hanya
satu. Malas kalau memiliki usaha hanya beromzet ratusan juta. “Karena saya
malas memiliki satu usaha Ayam Bakar Mas Mono dengan hanya satu cabang,
akhirnya saya membuka dua cabang. Malas mempunyai lima cabang akhirnya memiliki
14 cabang seperti sekarang.
Malas hanya
memiliki usaha ayam bakar, kemudian Mas Mono membuka usaha bakso dan pecel lele.
“Bahkan saya akan bermalas-malas lagi supaya dapat membuka lebih banyak usaha
yang lain,” cetusnya.
Untuk
meningkatkan kemalasan, dia menyuruh segenap karyawannya untuk
mengkonsolidasikan diri agar lebih besar lagi. Mas Mono sering mengadakan gathering bersama karyawannya untuk
memberikan semangat dan motivasi kepada seluruh karyawan. Laiknya seperti CEO
sebuah perusahaan besar, Mas Mono juga memiliki cita-cita yang besar untuk
mengembangkan perusahaannya. “Kami akan kepung Jakarta agar lebih dekat dengan
pelanggan,” ujarnya optimis.
Saat ini di
sela-sela waktunya, Mas Mono masih menyempatkan waktunya untuk berbagi
pengalaman dengan para pelaku UKM lainnya dengan menjadi motivator dan Mentor
Nasional Entrepreneur University, Motivator di perusahaan ASTRA Group, Honda, dan
Toyota. Dia selalu mengatakan berbisnis ada seninya, ada ilmunya. (*)
No comments:
Post a Comment