Saturday, May 3, 2014

Dari Kaki Lima Sampai Malaysia



* Agus Pramono, Owner Ayam Bakar Mas Mono

 
Pencinta kuliner Jakarta kini cukup akrab dengan Ayam Bakar Mas Mono. Bermula dari jualan di kaki lima dengan gerobak, kini telah beranak-pinak puluhan cabang yang tersebar di berbagai kota. Siapa sangka brand ayam bakar yang telah mendunia itu dibesut oleh seorang mantan office boy perusahaan swasta?

APRIL 2012 menjadi tonggak penting bagi perjalanan bisnis Agus Pramono selaku pemilik (owner)  brand “Ayam Bakar Mas Mono” yang kinis semakin akrab di lidah pencinta kuliner Jakarta. Tepatnya tanggal 2 April 2012, Mas Mono menanda-tangani nota kesepahaman (memorandum of understanding) dalam 'event Go Global Official Signing of Ayam Bakar Mas Mono's launch into Malaysia' di Kuala Lumpur, Malaysia.
Perjanjian 'Go International' Ayam Bakar Mas Mono ini sangat menggembirakan dan merupakan salah satu mimpinya setelah kurang lebih sepuluh tahun menjalankan usaha yang bermula dari kaki lima Jalan Supomo, Tebet, Jakarta Selaan, ini. "Sejak tahun 2010 saya sudah memimpikan Ayam Bakar Mas Mono go international di beberapa negara seperti Malaysia, Singapura dan Arab Saudi," tutur Mas Mono.
Kerjasama Master Franchise Ayam Bakar Mas Mono di Malaysia berawal dari ketertarikan seorang pelanggan Malaysia bernama Mr. Mohd. Lutfi yang suka dengan rasa Ayam Bakar Mas Mono. Pelanggan asal Malaysia ini menilai rasa ayamnya cocok dengan lidah orang-orang Malaysia. "Saya memilih kerjasama dengan Ayam Bakar Mas Mono karena menu makanan ini belum ada di Malaysia dan rasanya enak, satu selera dengan orang Malaysia," ujar Mohd. Lutfi, Enterpreneur dan pengusaha muda Malaysia.
Lutfi merasa optimis kerjasama ini bakal sukses. Sebab, ia telah melakukan riset di beberapa restoran Melayu di Malaysia dan menurutnya rasa 'Ayam Bakar Mas Mono' enak dan berbeda dibandingkan rasa makanan sejenis di restoran tersebut. Terlebih menu makan ayam bakar belum ada di restoran-restoran Melayu. "Saya yakin 'Ayam Bakar Mas Mono' akan berjaya di Malaysia," kata Lutfi.
Kerjasama Master Franchise ini diawali dengan pembukaan tiga outlet 'Ayam Bakar Mas Mono' di Malaysia pada tahun 2012. Dua di antaranya dibuka di Kuala Lumpur Internasional Airport (KLIA).
Bukanlah sukses yang tiba-tiba bila kini Ayam Bakar Mono telah go international. Mas Mono mesti menempuh jalan panjang dan berliku yang penuh warna.
Tekad kuat
Lahir dari keluarga yang pas-pasan, selepas lulus SMA di Madiun, Jawa Timur, tahun 1994, Agus Pramono yang kini beken dengan nama Mas Mono merantau ke Jakarta. Berbekal selembar ijazah SMA. Dia berharap suatu saat dapat mereguh sukses, setidaknya dapat hidup berkecukupan. “Jika orang lain bisa sukses, pasti saya juga bisa mencapainya,” ujar anak kedelapan yang kini menjadi mentor utama Entrepreneur University ini.
Tiba di Jakarta, lantaran keterbatasan lowongan pekerjaan buat mereka yang berijazah SMA, Mas Mono rela menerima pekerjaan menjadi tenaga voluntir panitia pembangunan masjid dengan menenteng-nenteng kotak amal di dalam bis kota. “Di waktu awal di Jakarta, saya bekerja membawa kotak amal di bus-bus kota menjadi sukarelawan pembangunan masjid. Itu saya lakukan dengan tulus ihklas, daripada nganggur,” kenang ayah satu anak ini.
Bekal ijazah SMA memang menjadikannya amat terbatas untuk memasuki dunia kerja, yang biasa ada cuma pekerjaan office boy dan Satpam. Usai menjadi voluntir pembangunan masjid, Mas Mono melamar dan diterima menjadi office boy di perusahaan swasta. Di sela-sela bekerja office boy, di berusaha mengisi waktu untuk belajar kepada karyawan lainnya.
“Setidaknya saya memiliki waktu untuk belajar mengetik komputer, kalau itu diperbolehkan. Sepengetahuan saya, karyawan yang memiliki keterampilan lebih, gajinya lebih gede. Apalagi jika keterampilannya ini sangat khusus,” ujarnya.
Perjalanan sebagai office boy dilaluinya dengan baik. Sampai kemudian dia memperoleh apresiasi sebagai karyawan yang cepat naik pangkat dan mencapai jenjang supervisor dalam waktu yang relatif singkat. Kuncinya, menurut Mas Mono, mau belajar. Suatu waktu batinnya bergolak, rasa-rasanya mustahil dapat hidup berkecukupan di Jakarta bila dirinya masih saja seorang karyawan.
Benaknya terpantik. Dia bertekad menjadi seorang pengusaha. Menjadi pengusaha memiliki peluang lebih banyak untuk kaya dibandingkan sepanjang hidup sebagai seorang supervisor di kantornya. Namun bagaimana caranya dan dari mana memulainya. Terlebih dia tidak punya modal. Dia terus berpikir sampai muncul tekad yang amat kuat menjadi seorang wirausaha.
Setelah melalui perenungan dan pertimbangan bersama isterinya, Nunung, awal tahun 2001 Mas Mono keluar dari pekerjaannya dan berusaha mewujudkan tekadnya menjadi wirausahawan mandiri. Dia memilih menjadi penjual gorengan. Selain modalnya kecil, masih banyak orang menyukai gorengan. Penuh suka duka. Kadang habis terjual, kerap pula tidak habis. Tidak jarang dia berkeliling ke gang-gang sempit di kawasan Pancoran dan Tebet, Jakarta Selatan, sambil mendorong-dorong gerobaknya. Peluh dan keringat tak pernah kering, sampai larut malam, hasilnya juga tak banyak-banyak amat.
“Pernah dagangan gorengan saya tidak laku. Mau pulang malu, akhirnya saya jajakan ber jam-jam di pinggir jalan. Begitu dagangan habis saya merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Kalau tidak laku juga, sering dagangan saya umpetin karena malu dilihat tetangga,” tutur Mas Mono mengenang.
Melihat nasib Mas Mono yang demikian getir, dari supervisor kantor menjadi pedagang gorengan, banyak kenalannya, termasuk saudara dan familinya di Jakarta, merasa prihatin. “Ngapain Mono cari ulah. Sudah enak-enak kerja kantoran malah keluar,” begitu gerutunya.
Tapi Mas Mono tetap tegar meretas jalan terjal. Hidup terus berubah. Nasib manusia, dia meyakini, dapat berubah bila si anak manusia itu memiliki semangat, kemauan dan langkah untuk berubah “Sepanjang kita sudah melakukan tiga hal tersebut, Tuhan akan melakukan campur tangan terhadap nasib seseorang. Artinya, jika kita memiliki keinginan, kemauan dan kita bekerja  keras untuk mencapainya, Tuhan memiliki kehendak untuk mengubahnya ,” lanjut lelaki muda berperawakan gempal ini.
Dari jualan gorengan keliling, Mas Mono ingin menetap di satu lokasi yang strategis. Kemudian dia mendapatkan lokasi yang cukup strategis, yakni sebuah lapak tempat berjualan di depan Kampus Universitas Sahid, Jalan Supomo, Jakarta Selatan. Lapak kecil pun mulai berkisah tentang perubahan barang jualan Mas Mono. Dia mencoba berjualan ayam bakar.
Mengapa ayam bakar? Saat itu menu ayam bakar banyak digandrungi orang. Dan restoran yang menyajikan menu ayam bakar selalu dibanjiri pencinta kuliner. “Saya terinspirasi oleh kesuksesan sebuah restoran nasional yang menjual ayam bakar,” ujarnya.
Tanpa pengalaman. Dia tidak pernah berjualan ayam bakar. Tapi Mas Mono tidak ragu memulai bisnis ini. Nekad saja. Sepanjang orang masih suka makan, dia meyakini dagangan ayam bakarnya bakal laku.
Yakin terjun ke usaha ayam bakar, Mono pun mencari modal. Akhirnya, ia mendapatkan modal Rp500.000 untuk membeli bahan dan bumbu ayam bakar serta perlengkapan memasak. Dia beli lima ekor ayam yang kemudian dipotong-potong menjadi 20 potong dan dimasak di rumah kontrakannya di kawasan Menteng Pulo, Jakarta Selatan.
Tetap memakai gerobak. Namun karena belum mahir mendorong gerobak, pernah suatu ketika ayam dagangan jatuh ke pasir. Terpaksa ayam tersebut harus dibersihkan terlebih dulu.
“Kalau orang lain mungkin sudah mikir macam-macam. Wah ini tanda sepi, nggak laku, karena baru mau jualan ayamnya sudah jatuh, sial. Namun, kalau saya justru berpikir lain. Wah, ini pertanda bagus, dagangan saya bakal laku. Sebab, saya menggunakan otak kanan. Selalu optimis dan percaya dirt,” tegas Pramono.
Semula Mas Mono menyajikan ayam bakar, tempe, tahu, dan cah kangkung. Ketika itu, dia menjual seporsi nasi plus ayam bakar Rp5.000. Dengan 20 potong ayam, hari pertama itu jualan baru laku 12 potong. Namun Mas Mono tidak patah arang. Seiring kerja keras dan perjalanan waktu, semakin banyak yang orang menyambangi gerobak Ayam Bakar Kalasan miliknya, baik mahasiswa, pegawai kantoran, ataupun orang yang lalu lalang di Jalan Soepomo. Sampai suatu saat dia mampu menjual 80 ekor ayam per hari.
Ihwal rasa, Mas Mono belajar otodidak dari saran dan kritik para pelanggan. "Ada yang bilang pakai bumbu ini, pakai kecap itu, nasinya jangan nasi pera,” ungkapnya. Dia pun mencoba menerima saran dan kritik pembelinya itu hingga benar-benar menemukan rasa khas Ayam Bakar Kalasan.
Melihat pengunjung yang makin banyak, dia lantas memperluas tempat usaha. Dengan bantuan lima karyawan, dia mengubah konsep tempat makan, dengan menempatkan meja dan kursi berpayung terpal.
Pada tahun 2004, gerai ayam bakar Mas Mono kena gusur. “Ketika itu saya bertanya-tanya dalam hati, mengapa saya kerap kena gusur?” ungkap Mas Mono.
Dia merenung dan mentafakuri peristiwa demi peristiwa yang dialami. “Apa hikmah di balik itu semua?” batinnya berbisik. Perlahan, bersama istri dan karyawannya, dia mulai bangkit, merintis usaha, dan meretas kembali kepercayaan yang selama ini telah dibina bersama.
Dia lalu berpindah ke Jalan Tebet Raya, Jakarta Selatan. "Waktu itu, Tebet sepi, tidak seramai sekarang. Belum banyak usaha makanan juga," katanya.
Dari sinilah, Ayam Bakar Kalasan Mas Mono semakin dikenal luas dan punya banyak penggemar. Mas Mono kemudian membuka cabang di banyak tempat hingga beromzet ratusan juta rupiah per bulan.
“Setelah saya renungi, ternyata Allah membuka jalan. Gara-gara digusur, saya bisa menghajikan ibu saya dan badal almarhum bapak dan mertua saya. Gara-gara waktu itu digusur, sekarang saya bisa membangunkan rumah orang tua. Gara-gara digusur, ayam saya tetap bisa beroperasi Sabtu-Minggu. Gara-gara digusur, saya bisa seperti sekarang,” kenang mas Mono.
Kini, Mas Mono haqqul yakin soal keadilan Sang Pencipta. “Allah tidak akan mengubah suatu kaum, jikalau kaum itu nggak mau berubah. Bisa jadi, kalau saya nggak digusur, saya bakal di situ terus, berdagang di kaki lima,” ungkapnya.
Bangkit dari keterpurukan lepas penggusuran, dia mulai merintis usaha di wilayah Tebet, Jakarta. Secercah harapan mulai tampak terlihat. Hari berganti, ayam bakar olahan Mas Mono kian digemari.
Dari sana, rezeki Allah mengalir deras, hingga kini. “Saat jadi PKL dulu, saya sudah laris, satu hari bisa sampai 80 ekor ayam. Saya dipercaya memberikan makanan untuk program acara Trans 7, sudah 12 tahun berjalan. Sampai detik ini tidak ada MoU dan Surat Perjanjian Kerjasama (SPK), semuanya bermodal kepercayaan,” kata Mas Mono.
Sabar dan syukur
Menurut Mas Mono, bisnis tak melulu soal uang. Ketika usahanya di kaki lima Jalan Supomo mulai banyak pelanggan, datanglah sponsor untuk melengkapi kebutuhan di lapak Mas Mono mulai dari taplak, meja, mangkok, sampai rice cooker. ”Bisnis nggak harus modal kita. Jika kita mencari keberkahan, uang akan datang, tapi kalau mencari uang, belum tentu uang didapat,” tuturnya.
Dalam membangun bisnis, jatuh bangun adalah hal biasa. Hal ini pun dialami Mas Mono. Pun ketika bisnisnya mulai mapan, saat melakukan ekspansi membuka cabang.
“Waktu itu isu flu burung merebak, saat saya mulai buka cabang. Kontan, secara materi saya rugi besar. Semua penjual ayam kena dampak. Namun, saya coba untuk tetap bersyukur dan bersabar atas kejadian itu. Saya yakin, dengan syukur, Allah beri nikmat lebih banyak,” Mas Mono, mengenang.
Selain itu, dia aktif pula menimba ilmu dan pengalaman bergelut di dunia bisnis. Para pebisnis kenamaan semisal; Sandiaga Uno, Ustadz Yusuf Mansyur, Ciputra, dan Bob Sadino.
Memelihara rasa malas
Satu hal yang juga menarik dalam mengembangkan usahanya, Mas Mono memelihara rasa malas. Pada prinsipnya, menurut Mas Mono, menjadi pengusaha itu harus malas. Malas di sini bukan berarti malas bekerja, tetapi malas kalau mempunyai usaha hanya satu. Malas kalau memiliki usaha hanya beromzet ratusan juta. “Karena saya malas memiliki satu usaha Ayam Bakar Mas Mono dengan hanya satu cabang, akhirnya saya membuka dua cabang. Malas mempunyai lima cabang akhirnya memiliki 14 cabang seperti sekarang.
Malas hanya memiliki usaha ayam bakar, kemudian Mas Mono membuka usaha bakso dan pecel lele. “Bahkan saya akan bermalas-malas lagi supaya dapat membuka lebih banyak usaha yang lain,” cetusnya.
Untuk meningkatkan kemalasan, dia menyuruh segenap karyawannya untuk mengkonsolidasikan diri agar lebih besar lagi. Mas Mono sering mengadakan gathering bersama karyawannya untuk memberikan semangat dan motivasi kepada seluruh karyawan. Laiknya seperti CEO sebuah perusahaan besar, Mas Mono juga memiliki cita-cita yang besar untuk mengembangkan perusahaannya. “Kami akan kepung Jakarta agar lebih dekat dengan pelanggan,” ujarnya optimis.
Saat ini di sela-sela waktunya, Mas Mono masih menyempatkan waktunya untuk berbagi pengalaman dengan para pelaku UKM lainnya dengan menjadi motivator dan Mentor Nasional Entrepreneur University, Motivator di perusahaan ASTRA Group, Honda, dan Toyota. Dia selalu mengatakan berbisnis ada seninya, ada ilmunya. (*)

No comments:

Post a Comment