Sunday, May 4, 2014

Perbudakan Marak di Perkebunan

* LBH Padang Rilis 22 Pelanggaran Buruh

Sepinya aksi demo buruh di Sumatera Barat bukan berarti daerah ini bebas dari pelanggaran hak buruh. Sejak tahun 2013 hingga awal 2014, telah terjadi 22 kasus pelanggaran hak buruh. Pelanggaran hak buruh terbesar terjadi pada Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Data di atas merupakan temuan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang yang disampaikan pada peringatan Hari Buruh Internasional, Kamis (1/5/2014).

Dari 22 kasus itu, rinciannya kasus PHK sepihak sembilan kasus, pelanggaran status dan upah buruh enam kasus, kecelakaan kerja tiga kasus, mutasi dua kasus dan jaminan sosial serta outsourcing masing-masing satu kasus. Jumlah korban mencapai 641 orang.

”Jumlah korban terkait status upah 363 orang, outsourcing 69 orang, PHK 42 orang, mutasi 13 orang, kecelakaan kerja 3 orang dan jaminan sosial 1 orang,” kata Divisi Penanganan Kasus LBH Padang, Yuhendra Rahmat Putra dalam jumpa pers, kemarin (1/5).

LBH juga menyorot adanya praktik perbudakan yang dilakukan salah satu BUMN berkedudukan di Jambi dan memiliki cabang di Kecamatan Kinali Pasaman Barat. ”Mereka memperlakukan buruh bagai sekumpulan budak perusahaan,” terang Yuhendra.

Dia memaparkan, bentuk perbudakan adalah dengan mempekerjakan buruh dengan status buruh harian lepas (BHL) hingga belasan tahun.

Perusahaan tersebut, katanya, tidak mengangkat status BHL menjadi karyawan tetap, hanya menjadi karyawan kontrak (PKWT). Itu pun setelah bertahun-tahun bekerja. Saat ini, jumlah BHL dan PKWT berkisar 300 orang.

”Ini melanggar Pasal 10 dan Pasal 12 Kepmenakertran Nomor 100 Tahun 2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang mensyaratkan status BHL hanya untuk masa kerja 21 hari dalam satu bulan. Jadi, buruh yang bekerja 21 hari atau lebih selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, maka buruh harus diangkat menjadi karyawan tetap atau PKWT,” ujar Yuhendra Rahmat Putra.

Selain ketidakjelasan status selama bertahun-tahun, BUMN perkebunan ini juga tidak pernah memberikan gaji pokok kepada buruh. Upah hanya diberikan berdasarkan jumlah tandan sawit yang terselesaikan oleh buruh. Jika tidak memenuhi target, otomatis upah yang diterima berkurang.

Rata-rata penghasilan buruh saat diakumulasikan per bulan berkisar Rp 800 ribu hingga Rp 900 ribu. Tidak ada jaminan sosial tenaga kerja seperti tunjangan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, THR dan jaminan lainnya.

Karena itu, LBH Padang menilai adanya praktik perbudakan di perusahaan tersebut. Seharusnya, perusahaan itu taat pada ketentuan ketenagakerjaan nasional dan tidak memperlakuan buruh secara diskriminatif.

Politik upah murah perusahaan perkebunan pelat merah itu bertentangan dengan Konvensi ILO Nomor 100 tentang Kesetaraan Pengupahan yang diratifikasi menjadi UU Nomor 80 Tahun 1957. Lalu, Deklarasi CEDAW yang telah diratifikasi menjadi UU Nomor 7 Tahun 1984.

”Untuk itu, LBH Padang mendesak Dinas Ketenagakerjaan menindak tegas perusahaan perkebunan pelat merah yang secara sengaja mengabaikan hak-hak buruh. Bila tidak ditanggapi, LBH Padang mengambil langkah hukum,” tegas Yuhendra Rahmat Putra.

Sekadar diketahui, perusahaan ini mulai beroperasi sekitar tahun 1980 dan melakukan penanaman sawit pada tahun 1986 di Kinali, Pasaman Barat. Lokasinya berada di 3 kecamatan: Kecamatan Pasaman, Luhak Nan Duo dan Kinali. Luas lahannya 8.000 hektare dan terbagi dalam dua bentuk perkebunan, yakni kebun plasma dan kebun inti. (padangekspres.co.id)

No comments:

Post a Comment