Kaki yang akan melangkah lebih jauh
dari biasannya.
Tangan yang akan lebih banyak
berbuat dari biasanya.
Mata yang akan lebih banyak melihat
dari biasanya
Kepala yang akan lebih banyak
mendongak ke atas.
Tekad hati setebal baja
Dan mulut yang banyak berdoa
(cuplikan prolog film 5 CM)
Indonesia
memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Salah satu yang sangat populer di
kalangan pendaki adalah Gunung Semeru. Gunung Semeru atau Sumeru merupakan
gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru, 3.676 meter
di atas permukaan laut (dpl).
Gunung ini
masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Taman nasional
ini terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273 hektar. Dari puncak Mahameru,
kita bisa melihat gunung-gunung lain, seperti Bromo, Batok, Watangan, Kursi,
dan Widodaren.
Dibutuhkan
waktu sekitar empat hari untuk mendaki sampai puncak Gunung Semeru pergi-pulang.
Untuk mendaki Gunung Semeru, perjalanan dapat ditempuh lewat Kota Malang atau
Lumajang.
Mari kita
ikuti petualangan M. Bayu Andhika, seorang pemuda dari Jakarta. Dia memulai
petualangan ini dari stasiun kereta rakyat di Pasar Senen pada suatu sore di
tahun 2013 lalu. Semalam penuh Bayu dan kawan-kawan merasa terperangkap dalam
kereta terkutuk, melintasi jalur Jakarta-Surabaya. Pagi keesokan harinya mereka
melanjutkan perjalanan menggunakan bus antar-kota menuju Kota Apel Malang. Kemudian
mereka pindah ke angkutan kota untuk sampai ke Tumpang. Dari sana, mereka
menumpang jip yang sudah dimodifikasi mesinnya, mendaki jalan sempit dan terjal
menuju pintu masuk ke Gunung Semeru.
Perjalanan
jip itu seperti terbang di atas jalan terjal berdebu. Di kiri-kanan
jurang-jurang berkedalaman ratusan meter menganga, siap menelan mereka semua
yang hanya bisa terdiam, pucat, dan kehilangan senyum kegembiraan. Nasib mereka
semua, saat itu, berada di ujung jemari dan kaki supir jip, yang seolah tak
pernah sedikit pun takut mati.
Pada
keheningan embun dinihari, tibalah di Ranu Pani, danau vulkanik di ketinggian
2.200 m dpl, yang diselimuti kabut tebal. Hari pertama pendakian, benar-benar
sempurna. Matahari, ketika akhirnya menampakkan diri, bersinar cerah. Embun dan
udara dingin segera berlalu. Setelah sarapan dan berbenah, mereka mulai
menapakkan kaki menuju target pertama siang itu: Ranu Kumbolo.
Antara Ranu
Pani dan Ranu Kumbolo terbentang jarak kurang lebih 9 km. Tentu saja tidak
dalam bentuk jalan datar, tapi jalan setapak menembus semak dan hutan yang
mendaki dan penuh kelokan. Kendati begitu, perjalanan yang memakan waktu nyaris
4 jam penuh itu rasanya tidak sepadan dengan keringat yang mengucur deras,
karena mereka cuma menambah ketinggian sebesar 200 m dpl. Ranu Kumbolo, sejauh
apapun jaraknya dari gerbang masuk pendakian Gunung Semeru, ternyata “hanya”
berada di ketinggian 2.400 m dpl.
Setelah
cukup lelah menembus hutan dan terpanggang matahari, mereka melintasi semak dan
jalan menurun. Di balik kelokan tajam, seolah muncul dari dalam bumi,
terbentang danau vulkanik yang besar nan indah, Ranu Kumbolo. Permukaan airnya
beriak tatkala terkena angin gunung dan memantulkan bayangan bukit-bukit, pohon
dan langit. Menapaki jalan menuruni bukit terasa luar biasa indah, dengan Ranu
Kumbolo terhampar di bawah. Membisu. Seolah tertidur dengan nyaman dalam
belaian matahari Semeru yang semakin menyengat.
Sebagian
besar pendaki biasanya memutuskan untuk menikmati keindahan Ranu Kumbolo dengan
bermalam di tepiannya. Tapi Bayu dkk sudah memutuskan sejak awal bahwa mereka
akan istirahat makan siang saja di sana dan melanjutkan pendakian ke wilayah Gunung
Kepolo.
Tepat
setelah Ranu Kumbolo terdapat sebuah tanjakan panjang yang disebut Tanjakan
Cinta. Ya, betul! Legenda pendakian menyebutkan bahwa jika seorang pendaki
berhasil melewati tanjakan ini tanpa berhenti sekalipun, maka cintanya pada
siapa saja yang saat itu tengah disasar akan kesampaian. Namanya legenda, ya
tak terbukti, sekadar mitos.
Di balik
Tanjakan Cinta terdapat hamparan padang rumput dan perbukitan raksasa penuh
pesona yang akrab di telingan penduduk setempat sebagai Oro-oro Ombo. Hamparan
padang rumput yang luar biasa luas, sehingga si pendaki merasa sebagai satu
jarum dalam tumpukan jerami, ketika melintasinya dari badan bukit yang rebah di
sisinya.
Oro-oro
Ombo adalah nama yang terdengar seksi untuk sebuah pemandangan alam liar
Indonesia yang memang sesungguhnya terlihat dan terasa luar biasa seksi.
Oro-oro Ombo. Oh!
Senja
menjelang. Matahari kehilangan kegarangannya. Setelah melewati hamparan rumput
yang terang-benderang dan penuh angin, kini mereka kembali ke teduhnya hutan
pinus dan pohon-pohon besar. Gunung Kepolo. Di sanalah mereka mendirikan tenda
dan bermalam.
Malam itu
berlalu dengan tegang karena salah seorang rekan Bayu bercerita tentang binatang
buas yang berkeliaran di wilayah ini pada malam hari, mencari air. Bersyukur
tidak pernah terbukti menjadi kenyataan.
Keesokan
harinya mereka melanjutkan pendakian menuju Kalimati, dataran luas terakhir di
ketinggian 2.700 m dpl, sebelum memasuki leher Gunung Semeru yang terjal hingga
ke puncak Mahameru. Setelah Kalimati, tidak lagi tersedia tempat bermalam yang
luas. Hanya satu dua lokasi sempit tempat kita bisa mendirikan tenda dome
berkapasitas 4-6 orang.
Legenda
setempat menyebutkan nama Kalimati berasal dari matinya sumber air yang dulu
ada di lokasi itu. Medan pendakian memang menjadi terjal dengan jurang-jurang
yang cukup dalam, yang tampaknya dulu bisa saja merupakan aliran sungai. Yang
jelas, ketika mereka melewatinya, tanah di jalur pendakian demikian rapuh
sehingga mudah longsor dan menyebabkan debu hitam beterbangan di udara.
Debu vulkanik
yang masuk ke hidung dan nyelip di kelopak mata, longsoran tanah kering dan
kerikil, kelelahan yang memuncak, serta sinar mentari yang membakar kepala
adalah resep ampuh untuk terus mengobarkan semangat pendakian.
Bagi yang
suka bunga, di hamparan pasir Kalimati cukup banyak tumbuh Edelweis berwarna
kuning. Bukan bunga terhebat di dunia, bila boleh disebut begitu. Kendati,
tentu saja, ribuan pendaki gunung dari golongan kutu kupret cukup sering
memetiknya untuk dijadikan oleh-oleh pendakian. Yah, namanya juga kutu kupret!
Mereka mencapai
Arcopodo beberapa saat setelah jam makan siang lewat. Kelelahan setengah mati, mereka
segera menyiapkan makan dan beristirahat.
Matahari
cepat sekali tergelincir. Tanpa buang-buang waktu, mereka mendirikan tenda,
menyiapkan perlengkapan untuk summit
attack dinihari nanti, dan memasak makan malam.
Dengan
jadual summit attack yang ditetapkan
akan dilakukan pada pukul 02:00 dinihari, mereka berniat cepat-cepat tidur
malam itu. Tapi apa daya, alih-alih tidur cepat, mereka semua tak henti main
gaple dari sore hingga larut malam.
Summit attack, sebagaimana direncakan semula, dilangsungkan
tepat pukul 02.00 waktu setempat. Jangan ditanya dinginnya udara yang menerpa!
Dengkul dan gigi bergemeretak tiada henti. Hanya impian manis untuk menikmati sunrise di puncak tertinggi se-pulau
Jawa yang membuat mereka rela menanggung itu semua.
Menuju Puncak Mahameru
Terjal dan
mengesalkannya jalur pendakian Kalimati-Arcopodo tidak ada apa-apanya dibanding
jalur pendakian Arcopodo-puncak Mahameru.
Di bagian
akhir pendakian tersebut, mereka mendaki tanpa membawa ransel (hanya makanan
kecil, air, senter, dan perlengkapan P3K), tanah dan kerikil yang mereka pijak nyaris
selalu luruh. Mereka harus mendaki secara cepat dan memilih tempat berpijak
yang kokoh agar tidak ikut terbawa longsor bersama luruhan kerikil-kerikil itu.
Benar-benar melelahkan!
Kelelahan
itu semua terbayar ketika akhirnya mereka berhasil mencapai puncak Gunung
Semeru (3.676 m dpl) beberapa puluh menit sebelum sunrise. Bersama, dalam dingin dan kebisuan yang mengharukan, mereka
berdiri dan menanti kehadiran mentari baru dari titik tertinggi di Pulau Jawa.
Pemandangan
dan pengalaman seperti itu, kata mereka, tidak akan pernah bisa diceritakan secara
sempurna, baik melalui kata-kata maupun gambar. Sayangnya, mereka tidak bisa
berlama-lama menikmati Puncak Semeru. Sebelum jam 10.00 pagi semua pendaki
harus turun dan meninggalkan kawasan puncak agar terhindar dari kabut gas
beracun yang disemburkan oleh kawahnya. Ya, di balik keindahan Puncak Mahameru,
tersembunyi bahaya mematikan.
Setelah dua
jam penuh berbagi kegembiraan dalam gigitan udara dingin yang membekukan
tulang, mereka bergegas turun. Dari puncak Semeru, mereka bisa melihat jalur
pendakian yang terhampar di bawah, yang selama 3 hari terakhir telah menguras
keringat, tenaga, dan semangat mereka semua.
Sore hari mereka
sudah menapakkan kaki kembali ke Ranu Kumbolo. Kali ini mereka bermalam di
tepiannya dan menikmati semua keindahan yang ditawarkan oleh danau vulkanik
itu. Semeru, terima kasih atas semua keindahan yang telah kau berikan… (*)
No comments:
Post a Comment