Sunday, May 4, 2014

Petualangan ke Puncak Mahameru



Kaki yang akan melangkah lebih jauh dari biasannya.
Tangan yang akan lebih banyak berbuat dari biasanya.
Mata yang akan lebih banyak melihat dari biasanya
Kepala yang akan lebih banyak mendongak ke atas.
Tekad hati setebal baja
Dan mulut yang banyak berdoa
(cuplikan prolog film 5 CM)

Indonesia memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif. Salah satu yang sangat populer di kalangan pendaki adalah Gunung Semeru. Gunung Semeru atau Sumeru merupakan gunung berapi tertinggi di Pulau Jawa, dengan puncaknya Mahameru, 3.676 meter di atas permukaan laut (dpl).
Gunung ini masuk dalam kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru (TNBTS). Taman nasional ini terdiri dari pegunungan dan lembah seluas 50.273 hektar. Dari puncak Mahameru, kita bisa melihat gunung-gunung lain, seperti Bromo, Batok, Watangan, Kursi, dan Widodaren.
Dibutuhkan waktu sekitar empat hari untuk mendaki sampai puncak Gunung Semeru pergi-pulang. Untuk mendaki Gunung Semeru, perjalanan dapat ditempuh lewat Kota Malang atau Lumajang.
Mari kita ikuti petualangan M. Bayu Andhika, seorang pemuda dari Jakarta. Dia memulai petualangan ini dari stasiun kereta rakyat di Pasar Senen pada suatu sore di tahun 2013 lalu. Semalam penuh Bayu dan kawan-kawan merasa terperangkap dalam kereta terkutuk, melintasi jalur Jakarta-Surabaya. Pagi keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan menggunakan bus antar-kota menuju Kota Apel Malang. Kemudian mereka pindah ke angkutan kota untuk sampai ke Tumpang. Dari sana, mereka menumpang jip yang sudah dimodifikasi mesinnya, mendaki jalan sempit dan terjal menuju pintu masuk ke Gunung Semeru.
Perjalanan jip itu seperti terbang di atas jalan terjal berdebu. Di kiri-kanan jurang-jurang berkedalaman ratusan meter menganga, siap menelan mereka semua yang hanya bisa terdiam, pucat, dan kehilangan senyum kegembiraan. Nasib mereka semua, saat itu, berada di ujung jemari dan kaki supir jip, yang seolah tak pernah sedikit pun takut mati.
Pada keheningan embun dinihari, tibalah di Ranu Pani, danau vulkanik di ketinggian 2.200 m dpl, yang diselimuti kabut tebal. Hari pertama pendakian, benar-benar sempurna. Matahari, ketika akhirnya menampakkan diri, bersinar cerah. Embun dan udara dingin segera berlalu. Setelah sarapan dan berbenah, mereka mulai menapakkan kaki menuju target pertama siang itu: Ranu Kumbolo.
Antara Ranu Pani dan Ranu Kumbolo terbentang jarak kurang lebih 9 km. Tentu saja tidak dalam bentuk jalan datar, tapi jalan setapak menembus semak dan hutan yang mendaki dan penuh kelokan. Kendati begitu, perjalanan yang memakan waktu nyaris 4 jam penuh itu rasanya tidak sepadan dengan keringat yang mengucur deras, karena mereka cuma menambah ketinggian sebesar 200 m dpl. Ranu Kumbolo, sejauh apapun jaraknya dari gerbang masuk pendakian Gunung Semeru, ternyata “hanya” berada di ketinggian 2.400 m dpl.
Setelah cukup lelah menembus hutan dan terpanggang matahari, mereka melintasi semak dan jalan menurun. Di balik kelokan tajam, seolah muncul dari dalam bumi, terbentang danau vulkanik yang besar nan indah, Ranu Kumbolo. Permukaan airnya beriak tatkala terkena angin gunung dan memantulkan bayangan bukit-bukit, pohon dan langit. Menapaki jalan menuruni bukit terasa luar biasa indah, dengan Ranu Kumbolo terhampar di bawah. Membisu. Seolah tertidur dengan nyaman dalam belaian matahari Semeru yang semakin menyengat.
Sebagian besar pendaki biasanya memutuskan untuk menikmati keindahan Ranu Kumbolo dengan bermalam di tepiannya. Tapi Bayu dkk sudah memutuskan sejak awal bahwa mereka akan istirahat makan siang saja di sana dan melanjutkan pendakian ke wilayah Gunung Kepolo.
Tepat setelah Ranu Kumbolo terdapat sebuah tanjakan panjang yang disebut Tanjakan Cinta. Ya, betul! Legenda pendakian menyebutkan bahwa jika seorang pendaki berhasil melewati tanjakan ini tanpa berhenti sekalipun, maka cintanya pada siapa saja yang saat itu tengah disasar akan kesampaian. Namanya legenda, ya tak terbukti, sekadar mitos.
Di balik Tanjakan Cinta terdapat hamparan padang rumput dan perbukitan raksasa penuh pesona yang akrab di telingan penduduk setempat sebagai Oro-oro Ombo. Hamparan padang rumput yang luar biasa luas, sehingga si pendaki merasa sebagai satu jarum dalam tumpukan jerami, ketika melintasinya dari badan bukit yang rebah di sisinya.
Oro-oro Ombo adalah nama yang terdengar seksi untuk sebuah pemandangan alam liar Indonesia yang memang sesungguhnya terlihat dan terasa luar biasa seksi. Oro-oro Ombo. Oh!
Senja menjelang. Matahari kehilangan kegarangannya. Setelah melewati hamparan rumput yang terang-benderang dan penuh angin, kini mereka kembali ke teduhnya hutan pinus dan pohon-pohon besar. Gunung Kepolo. Di sanalah mereka mendirikan tenda dan bermalam.
Malam itu berlalu dengan tegang karena salah seorang rekan Bayu bercerita tentang binatang buas yang berkeliaran di wilayah ini pada malam hari, mencari air. Bersyukur tidak pernah terbukti menjadi kenyataan.
Keesokan harinya mereka melanjutkan pendakian menuju Kalimati, dataran luas terakhir di ketinggian 2.700 m dpl, sebelum memasuki leher Gunung Semeru yang terjal hingga ke puncak Mahameru. Setelah Kalimati, tidak lagi tersedia tempat bermalam yang luas. Hanya satu dua lokasi sempit tempat kita bisa mendirikan tenda dome berkapasitas 4-6 orang.
Legenda setempat menyebutkan nama Kalimati berasal dari matinya sumber air yang dulu ada di lokasi itu. Medan pendakian memang menjadi terjal dengan jurang-jurang yang cukup dalam, yang tampaknya dulu bisa saja merupakan aliran sungai. Yang jelas, ketika mereka melewatinya, tanah di jalur pendakian demikian rapuh sehingga mudah longsor dan menyebabkan debu hitam beterbangan di udara.
Debu vulkanik yang masuk ke hidung dan nyelip di kelopak mata, longsoran tanah kering dan kerikil, kelelahan yang memuncak, serta sinar mentari yang membakar kepala adalah resep ampuh untuk terus mengobarkan semangat pendakian.
Bagi yang suka bunga, di hamparan pasir Kalimati cukup banyak tumbuh Edelweis berwarna kuning. Bukan bunga terhebat di dunia, bila boleh disebut begitu. Kendati, tentu saja, ribuan pendaki gunung dari golongan kutu kupret cukup sering memetiknya untuk dijadikan oleh-oleh pendakian. Yah, namanya juga kutu kupret!
Mereka mencapai Arcopodo beberapa saat setelah jam makan siang lewat. Kelelahan setengah mati, mereka segera menyiapkan makan dan beristirahat.
Matahari cepat sekali tergelincir. Tanpa buang-buang waktu, mereka mendirikan tenda, menyiapkan perlengkapan untuk summit attack dinihari nanti, dan memasak makan malam.
Dengan jadual summit attack yang ditetapkan akan dilakukan pada pukul 02:00 dinihari, mereka berniat cepat-cepat tidur malam itu. Tapi apa daya, alih-alih tidur cepat, mereka semua tak henti main gaple dari sore hingga larut malam.
Summit attack, sebagaimana direncakan semula, dilangsungkan tepat pukul 02.00 waktu setempat. Jangan ditanya dinginnya udara yang menerpa! Dengkul dan gigi bergemeretak tiada henti. Hanya impian manis untuk menikmati sunrise di puncak tertinggi se-pulau Jawa yang membuat mereka rela menanggung itu semua.
Menuju Puncak Mahameru
Terjal dan mengesalkannya jalur pendakian Kalimati-Arcopodo tidak ada apa-apanya dibanding jalur pendakian Arcopodo-puncak Mahameru.
Di bagian akhir pendakian tersebut, mereka mendaki tanpa membawa ransel (hanya makanan kecil, air, senter, dan perlengkapan P3K), tanah dan kerikil yang mereka pijak nyaris selalu luruh. Mereka harus mendaki secara cepat dan memilih tempat berpijak yang kokoh agar tidak ikut terbawa longsor bersama luruhan kerikil-kerikil itu. Benar-benar melelahkan!
Kelelahan itu semua terbayar ketika akhirnya mereka berhasil mencapai puncak Gunung Semeru (3.676 m dpl) beberapa puluh menit sebelum sunrise. Bersama, dalam dingin dan kebisuan yang mengharukan, mereka berdiri dan menanti kehadiran mentari baru dari titik tertinggi di Pulau Jawa.
Pemandangan dan pengalaman seperti itu, kata mereka, tidak akan pernah bisa diceritakan secara sempurna, baik melalui kata-kata maupun gambar. Sayangnya, mereka tidak bisa berlama-lama menikmati Puncak Semeru. Sebelum jam 10.00 pagi semua pendaki harus turun dan meninggalkan kawasan puncak agar terhindar dari kabut gas beracun yang disemburkan oleh kawahnya. Ya, di balik keindahan Puncak Mahameru, tersembunyi bahaya mematikan.
Setelah dua jam penuh berbagi kegembiraan dalam gigitan udara dingin yang membekukan tulang, mereka bergegas turun. Dari puncak Semeru, mereka bisa melihat jalur pendakian yang terhampar di bawah, yang selama 3 hari terakhir telah menguras keringat, tenaga, dan semangat mereka semua.
Sore hari mereka sudah menapakkan kaki kembali ke Ranu Kumbolo. Kali ini mereka bermalam di tepiannya dan menikmati semua keindahan yang ditawarkan oleh danau vulkanik itu. Semeru, terima kasih atas semua keindahan yang telah kau berikan… (*)

No comments:

Post a Comment