Gotong Royong merupakan salah satu prinsip BPJS Kesehatan yang implementasinya dilaksanakan lewat iuran. Oleh karenanya, iuran sangat berpengaruh terhadap kelancaran berjalannya BPJS Kesehatan. Menurut Presidium Komite Politik Buruh Indonesia (KPBI), Timboel Siregar, jika pembayaran iuran peserta terhambat maka BPJS Kesehatan berpotensi defisit sehingga terancam tidak dapat membayar klaim.
Timboel menjelaskan untuk peserta penerima upah, terdiri dari pekerja sektor formal yang iurannya dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja. PNS, Polri dan TNI sebagian iurannya dibayar oleh pemerintah. Sedangkan pekerja sektor informal dan mandiri iurannya dibayar oleh masing-masing individu sesuai kelas ruang perawatan kesehatan yang diambil.
Jika pemberi kerja melanggar ketentuan, Timboel menandaskan, terutama terkait dengan kewajiban membayar iuran maka ada sanksi pidana yang dapat dijatuhkan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 55 UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Sayangnya, ketentuan itu tidak dituangkan oleh pemerintah secara jelas lewatPP No.86 Tahun 2013 Tentang Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Sebab, sanksi yang diatur dalam regulasi itu sekedar administratif dan tidak berlaku untuk pemerintah selaku pemberi kerja terhadap PNS, Polri dan TNI.
Bagi Timboel, hal itu memunculkan diskriminasi dan berpotensi menghambat pembayaran iuran kepada BPJS Kesehatan. Sebab, tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang lalai membayar iuran BPJS Kesehatan.
“Harus ada sanksi bagi pemerintah daerah yang lalai kalau tidak membayar iuran,” katanya dalam diskusi yang digelar KPBI dan Lembaga Analis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape), di Jakarta, Jumat (8/8).
Timboel mengusulkan sanksi yang patut dijatuhkan untuk pimpinan daerah yang lalai membayar iuran kepada BPJS Kesehatan seperti sanksi administratif. Misalnya, menunda kenaikan pangkat atau memecat pejabat pemerintah daerah yang bersangkutan.
Selain itu, Timboel mengingatkan agar BPJS Kesehatan menjalin komunikasi yang baik dengan BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu dibutuhkan dalam rangka mendorong agar iuran dari pekerja sektor formal dibayar tepat waktu oleh pemberi kerja. Sebagaimana diketahui sejak 1 Januari 2014 program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek telah dialihkan ke BPJS Kesehatan. Dengan begitu diharapkan BPJS Kesehatan dapat menarik iuran pekerja formal dengan maksimal.
Untuk menarik iuran peserta mandiri, Timboel mengakui ada kendala dalam membayar iuran. Karena biasanya, peserta mandiri setelah membayar iuran langsung menggunakan manfaat yang diperoleh sebagai peserta BPJS Kesehatan. Misalnya, hari ini mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, besoknya langsung ke fasilitas kesehatan untuk mendapat pelayanan.
“Hari ini jadi peserta BPJS Kesehatan, besoknya langsung operasi yang menghabiskan biaya besar,” ujarnya.
Timboel menilai persoalan itu terjadi bukan karena kesalahan peserta mandiri, tapi lemahnya kemauan pemerintah memperluas cakupan agar masyarakat golongan tidak mampu masuk dalam peserta penerima bantuan iuran (PBI). Sehingga, mereka menjadi peserta BPJS Kesehatan lewat jalur peserta mandiri. Untuk itu kedepan, pemerintah harus menambah anggaran PBI agar cakupan kepesertaan semakin diperluas.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar, mengingatkan pada saat pembahasan PP No.86 Tahun 2013 itu pihaknya telah mengusulkan agar ada sanksi yang bisa dijatuhkan kepada pemerintah. Namun, ketika regulasi itu terbit usulan tersebut tidak dimasukan.
“Padahal kedudukan semua orang harus sama dihadapan hukum,” katanya.
Mengenai kewajiban pemerintah daerah membayar iuran BPJS Kesehatan bagi aparaturnya, Indra mencatat sampai saat ini baru tiga provinsi yang sudah melaksanakan. Ketiga provinsi itu adalah Naggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta dan Surabaya. Jika kewajiban membayar iuran tersebut tidak segera ditunaikan pemerintah daerah lainnya, maka berpotensi membuat defisit BPJS Kesehatan.
Direktur TURC, Surya Tjandra, berpendapat salah satu upaya yang harus dilakukan BPJS Kesehatan untuk mencegah defisit yaitu melakukan efisiensi. Namun, efisiensi itu jangan sampai mengurangi manfaat yang diterima peserta. Caranya, dapat dilakukan dengan mengurangi gaji direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan. Sebab dari informasi yang diperolehnya, Surya mencatat gaji direksi BPJS Kesehatan lebih dari Rp100 juta sedangkan dan dewan pengawas 56 persen dari gaji direksi.
“Yang penting manfaat yang diterima peserta jangan berkurang,” ujarnya. (dari www.hukumonline.com)
Timboel menjelaskan untuk peserta penerima upah, terdiri dari pekerja sektor formal yang iurannya dibayar oleh pemberi kerja dan pekerja. PNS, Polri dan TNI sebagian iurannya dibayar oleh pemerintah. Sedangkan pekerja sektor informal dan mandiri iurannya dibayar oleh masing-masing individu sesuai kelas ruang perawatan kesehatan yang diambil.
Jika pemberi kerja melanggar ketentuan, Timboel menandaskan, terutama terkait dengan kewajiban membayar iuran maka ada sanksi pidana yang dapat dijatuhkan. Hal tersebut diatur dalam Pasal 55 UU No.24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Sayangnya, ketentuan itu tidak dituangkan oleh pemerintah secara jelas lewatPP No.86 Tahun 2013 Tentang Sanksi Administratif Kepada Pemberi Kerja Selain Penyelenggara Negara Dan Setiap Orang, Selain Pemberi Kerja, Pekerja, Dan Penerima Bantuan Iuran Dalam Penyelenggaraan Jaminan Sosial. Sebab, sanksi yang diatur dalam regulasi itu sekedar administratif dan tidak berlaku untuk pemerintah selaku pemberi kerja terhadap PNS, Polri dan TNI.
Bagi Timboel, hal itu memunculkan diskriminasi dan berpotensi menghambat pembayaran iuran kepada BPJS Kesehatan. Sebab, tidak ada sanksi yang dapat dijatuhkan kepada pemerintah, khususnya pemerintah daerah yang lalai membayar iuran BPJS Kesehatan.
“Harus ada sanksi bagi pemerintah daerah yang lalai kalau tidak membayar iuran,” katanya dalam diskusi yang digelar KPBI dan Lembaga Analis Kebijakan dan Advokasi Perburuhan (Elkape), di Jakarta, Jumat (8/8).
Timboel mengusulkan sanksi yang patut dijatuhkan untuk pimpinan daerah yang lalai membayar iuran kepada BPJS Kesehatan seperti sanksi administratif. Misalnya, menunda kenaikan pangkat atau memecat pejabat pemerintah daerah yang bersangkutan.
Selain itu, Timboel mengingatkan agar BPJS Kesehatan menjalin komunikasi yang baik dengan BPJS Ketenagakerjaan. Hal itu dibutuhkan dalam rangka mendorong agar iuran dari pekerja sektor formal dibayar tepat waktu oleh pemberi kerja. Sebagaimana diketahui sejak 1 Januari 2014 program Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek telah dialihkan ke BPJS Kesehatan. Dengan begitu diharapkan BPJS Kesehatan dapat menarik iuran pekerja formal dengan maksimal.
Untuk menarik iuran peserta mandiri, Timboel mengakui ada kendala dalam membayar iuran. Karena biasanya, peserta mandiri setelah membayar iuran langsung menggunakan manfaat yang diperoleh sebagai peserta BPJS Kesehatan. Misalnya, hari ini mendaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, besoknya langsung ke fasilitas kesehatan untuk mendapat pelayanan.
“Hari ini jadi peserta BPJS Kesehatan, besoknya langsung operasi yang menghabiskan biaya besar,” ujarnya.
Timboel menilai persoalan itu terjadi bukan karena kesalahan peserta mandiri, tapi lemahnya kemauan pemerintah memperluas cakupan agar masyarakat golongan tidak mampu masuk dalam peserta penerima bantuan iuran (PBI). Sehingga, mereka menjadi peserta BPJS Kesehatan lewat jalur peserta mandiri. Untuk itu kedepan, pemerintah harus menambah anggaran PBI agar cakupan kepesertaan semakin diperluas.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator BPJS Watch, Indra Munaswar, mengingatkan pada saat pembahasan PP No.86 Tahun 2013 itu pihaknya telah mengusulkan agar ada sanksi yang bisa dijatuhkan kepada pemerintah. Namun, ketika regulasi itu terbit usulan tersebut tidak dimasukan.
“Padahal kedudukan semua orang harus sama dihadapan hukum,” katanya.
Mengenai kewajiban pemerintah daerah membayar iuran BPJS Kesehatan bagi aparaturnya, Indra mencatat sampai saat ini baru tiga provinsi yang sudah melaksanakan. Ketiga provinsi itu adalah Naggroe Aceh Darussalam, DKI Jakarta dan Surabaya. Jika kewajiban membayar iuran tersebut tidak segera ditunaikan pemerintah daerah lainnya, maka berpotensi membuat defisit BPJS Kesehatan.
Direktur TURC, Surya Tjandra, berpendapat salah satu upaya yang harus dilakukan BPJS Kesehatan untuk mencegah defisit yaitu melakukan efisiensi. Namun, efisiensi itu jangan sampai mengurangi manfaat yang diterima peserta. Caranya, dapat dilakukan dengan mengurangi gaji direksi dan dewan pengawas BPJS Kesehatan. Sebab dari informasi yang diperolehnya, Surya mencatat gaji direksi BPJS Kesehatan lebih dari Rp100 juta sedangkan dan dewan pengawas 56 persen dari gaji direksi.
“Yang penting manfaat yang diterima peserta jangan berkurang,” ujarnya. (dari www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment