* EMPAT
Tak
seorang pun pernah diberikan kehormatan atas apa yang diterimanya. Kehormatan
diberikan atas apa yang diberikannya.
Calvin Coolidge, Presiden
ke-30 Amerika Serikat, 1923-1929
KENDATI
lahir di sebuah desa nan terpencil, Tumbang Manjul, Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan, tapi
sosok Sudarsono lebih merasakan Pembuang Hulu (Kecamatan Hanau, masih wilayah Kabupaten Seruyan)
sebagai kampung halamannya.
Dapatlah dimaklumi,
Sudarsono yang bukan keturunan orang Jawa ini hanya melewatkan masa balita di
kampung yang berada di ujung hulu Sungai Seruyan itu. Dia memang lahir di
Tumbang Manjul pada tanggal 17 November 1964 dari rahim ibunda Hj. Masni sebagai
buah kasih dengan ayahanda H. Darman. Dan, kedua orang-tuanya memang asli
Tumbang Manjul.
Namun, sejumlah jejak kehidupan
di Tumbang Manjul ketika itu belum menggores di benak dan memori Sudarsono yang
asli Dayak ini. Ketika itu memorinya belum mampu merekam jejak perjalanan
keseharian desa yang tergolong terpencil di wilayah perbatasan Kalimantan
Tengah dan Kalimantan Barat itu. Memori di otaknya belum secara lekat mencatat
setiap irama dan ritme kehidupan di desa yang berada dekat hulu Sungai Seruyan
itu.
Pada usia awal-awal
kehidupan, sosok manusia belumlah mampu berbuat dan mengingat gores kehidupan
yang melintas di garis waktu yang dilaluinya. Buat kelangsungan hidup, manusia
kecil ini masih sangat bergantung kepada orang-tuanya. Saat mereka lapar, orang
tua memberinya makan. Saat mereka kotor, orang tua yang membersihkan dan
menggantikan baju. Daya ingat dan daya akal anak yang dalam bahasa umum
termasuk balita itu masih relatif amat terbatas.
Pun demikian sosok
Sudarsono selama menjalani kehidupan sejak dilahirkan ibunya sampai sekitar
akhir tahun 1960-an di Tumbang Manjul. Dia masih belum mengerti dan memahami
apa saja peristiwa yang terjadi di sekitar Tumbang Manjul saat itu. Nyaris belum
ada goresan kehidupan yang melekat pada benak memorinya yang kemudian bisa
dijadikan bahan cerita di masa dewasa kelak. Dan, hati dan pikiran Sudarsono
pun tidak lekat dengan kehidupan kampung Tumbang Manjul. Tak ada rasa rindu
pada Tumbang Manjul ketika berlama-lama meninggalkan kehidupan bersahaja di
perkampungan pedalaman Seruyan itu.
Meminjam istilah dari
pakar psikologi perkembangan anak Jean Piaget, selama menjalani kehidupan di
Tumbang Manjul (usia sekitar 0 tahun sampai 6 tahun), sosok Sudarsono belum
memiliki kemampuan representasi mental, yakni kemampuan untuk menghadirkan
suatu pengalaman-pengalaman diri sendiri ataupun orang lain dalam konteks
interaksi sosial sehingga dapat dipahami oleh diri sendiri dan juga orang lain.
Seorang anak yang memiliki representasi mental telah mampu mengembangkan
kapasitas kognitifnya dengan membayangkan suatu obyek benda walaupun benda itu
tidak ada di depannya. Dengan kemampuan representasi mental, seorang anak akan mampu
melakukan suatu proses imajinasi terhadap pengalaman-pengalaman perilaku masa
lalu maupun rencana pengalaman perilaku di masa yang akan datang. Selain itu,
anak juga dapat melakukan imitasi pengalaman perilaku orang lain.
Baru pada usia sekitar
6-7 tahun, sosok si anak manusia memasuki tahap operasional di mana anak-anak
mulai mampu melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Pemikiran
simbolis melampaui hubungan sederhana antara informasi sensor dan tindakan
fisik. Kendati anak dapat secara simbolis melukiskan dunia, menurut Jean Piaget,
mereka belum mampu melaksanakan apa yang dia sebut “operasi” --tindakan mental
yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan secara mental apa
yang sebelumnya dilakukan secara fisik.
Pada tahap operasional ini
konsep yang stabil dibentuk, penalaran mental muncul, egosentrisme mulai kuat
dan kemudian lemah, serta keyakinan terhadap hal yang magis terbentuk. Anak
mulai memiliki kemampuan untuk merekonstruksi pada tingkat pemikiran apa yang
telah dilakukan di dalam perilaku.
Melalui kemampuan
merekonstruksi tingkat pemikiran itulah, dalam bahasa yang lebih mudah
dipahami, setiap anak manusia mulai berbenak atau berakal. Si anak mulai mampu
mengingat dan mengisahkan apa yang dilihat, diketahui dan dialami dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam bahasa psikolog Erik Erikson, si anak manusia mulai memiliki
rasa percaya diri.
Bangunan dengan otonomi
kepercayaan yang sebelumnya dikembangkan secara diam-diam, dan inisiatif, menjadikan
anak akan mampu mencapai suatu perasaan tentang rasa percaya diri. Pada masa
ini biasanya si anak telah memasuki bangku sekolah formal. Dan di sekolah anak
belajar keterampilan dasar menulis dan kerjasama yang akan memungkinkan dirinya
sendiri menjadi suatu anggota yang produktif di dalam masyarakat, dan kebutuhan
akan prestasi menjadi lebih penting bagi dirinya sendiri. Anak belajar tentang
kepuasan dari melakukan tugas sesuai dengan harapan orang lain dan dirinya
sendiri.
Ketika memasuki bangku
sekolah dan memiliki kemampuan merekonstruksi apa yang dialami dalam keseharian
itu, Sudarsono memasuki pula kehidupan perkampungan yang baru, bukan lagi di
Tumbang Manjul nun jauh di hulu Sungai Seruyan. Tahun 1970, H. Darman memboyong
isteri dan anak-anaknya (termasuk Sudarsono) hijrah dari Tumbang Manjul ke
Pembuang Hulu.
Pembuang Hulu sedikit berbeda
dengan Tumbang Manjul yang sebagian besar warganya masih mempertahankan religi
asli pribumi (Kaharingan). Pembuang
Hulu –sebagaimana pula Kuala Pembuang (Kecamatan Seruyan Hilir) dan Telaga
Pulang (Kecamatan Danau Sembuluh), sebagian besar warganya telah memeluk agama
Islam. Mereka telah akrab dengan kehidupan religius Islam seperti pengajian dan
belajar membaca Al-Quran di surau-surau yang ada.
Tahun 1971, Sudarsono mulai
bersekolah di SD Negeri 3 Pembuang Hulu dan dirampungkannya pada tahun 1976. Di sela-sela masa sekolah dasar ini, Sudarsono
merasakan dan menyaksikan kehidupan di pedalaman Bumi Borneo dengan segala
kekurangan dan keterbelakangan. Dia
biasa dibawa oleh ayahnya pergi ke ladang dan ke tengah hutan belantara sekadar
untuk mendapatkan sesuap nasi.
Rasanya kehidupan
demikian sukar. Namun, dia tidak ingin berhenti sekolah tatkala lulus dari SDN
3 Pembuang Hulu. Dia ingin melanjutkan ke tingkat SMP. Sayangnya, waktu itu
belum ada sekolah setingkat SMP atau madrasah tsanawiyah di kampung halamannya.
Sebab itu, lulus SD dia lantas masuk ke sekolah Arab (istilah kampung) atau
sejenis Pesantren (1976-1979).
Hal ini dilakukan lantaran
pada tahun-tahun itu tidak ada Sekolah Lanjutan Pertama (SMP atau MTs) di
Pembuang Hulu. Tapi dia merasa suka. Selama tiga tahun dia memperoleh pendidikan
Agama Islam sebagai dasar dan modal dari seluruh aktivitasnya di masa depan.
A.
Merantau
Lalu Pulang Kampung ke Pembuang Hulu
Sudarsono tetap belum
puas hanya lulus dari sekolah Arab. Tahun 1979 dia memutuskan merantau ke
Sampit untuk melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Sampit.
Seorang diri dia berangkat ke Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur,
untuk menggapai masa depan yang lebih berpengharapan.
Lulus dari MTsN Sampit
tahun 1982, Sudarsono muda melanjutkan ke sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri
(PGAN) Sampit. Di sini dia merasa mendapatkan gemblengan akademik dan
non-akademik yang cukup buat mematangkan diri dalam menjalani kehidupan. Banyak
pula prestasi yang ditorehkannya di masa-masa ini. Tahun 1983 dia menjadi juara
pertama lomba catur antar-pelajar se-Kalimantan Tengah di Palangka Raya HAB
Depag, mempertahankan gelar juara yang diperolehnya pada tahun 1981. Tahun itu pula Sudarsono dipercaya untuk
menyampaikan ceramah agama di depan seluruh delegasi Kalimantan Tengah (Kalteng)
termasuk di depan para pejabat teras Kanwil Kementerian Agama Kalteng. Ini
pengalaman pertama ceramah di depan forum yang sangat bergengsi dan sekaligus
juga ceramah pertama yang membuatnya gemetaran.
Sudarsono muda rupanya mulai
memiliki nurani keterpanggilan pada dunia politik praktis. Konflik batin (hati)
melihat situasi politik di masa jaya Orde Baru, waktu itu, membuat Sudarsono
sudah didaulat tampil menjadi juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjelang
Pemilu tahun 1982. Dengan masih menyandang status pelajar, tampil di atas
panggung politik adalah sebuah pilihan yang sarat risiko saat itu. Tapi dia
tidak ragu, karena dia merasa mesti berbuat sesuatu untuk rakyat yang tidak
berdaya ketika itu.
Tahun 1985 Sudarsono
keburu lulus dari PGAN Sampit. Hatinya sedikit bimbang antara pulang kampung lalu
ikut andil memperbaiki kualitas sumber daya manusia sesamanya dan tetap di
Sampit terus masuk lebih dalam ke dunia politik praktis. Tahun itu pula lalu dia
memutuskan pulang kampung ke Pembuang Hulu.
Sebagai lulusan PGAN, di
kampung halaman dia diserahi amanah sebagai Kepala Sekolah SMP Wiraswasta,
sebuah SMP swasta yang dikelola Yayasan Pendidikan yang baru ada di kampungnya waktu
itu. Agaknya, amanah sebagai kepala sekolah SMP ini sekadar noktah persinggahan
sementara dalam rangka menuju asanya untuk menjadi orang yang kelak dapat
berbuat sesuatu yang lebih besar, walau dia sesungguhnya tidak tahu hendak
menjadi apa.
Dan lagi-lagi sekadar
berbekal doa restu orang tua dan sedikit tabungan yang dia kumpulkan dari honor
mengajar selama setahun, dia bertekad bulat berangkat kuliah ke Kota “Apel” Malang,
Jawa Timur. Dia sengaja memilih kota Malang, lantaran dia tidak ingin sama
tempat kuliah dengan teman-temannya yang pada kala itu rata-rata memilih daerah
yang terdekat, misalkan Palangka Raya atau Banjarmasin. Jadilah Sudarsono
tercatat sebagai orang Pembuang Hulu yang pertama kali kuliah di kota Malang
tahun 1986.
Berbekal selembar ijazah
PGAN Sampit, Sudarsono mendaftar dan masuk Jurusan Peradilan Islam pada
Fakultas Syari’ah Universitas Muhammadiyah Malang. Dia benar-benar ingin
mendalami keilmuan di dalam agama Islam. Sebagaimana dipahami bahwa Fakultas Syari'ah
bertujuan mengantarkan mahasiswa menjadi ahli di bidang hukum Islam di
Indonesia. Lulusan Fakultas Syari'ah –terutama
Jurusan Peradilan Islam-- berpeluang menjadi hakim agama, pengacara di
lingkungan peradilan agama, panitera, pegawai di KUA, dan pendidik.
Penunjang proses
pembelajaran (belajar-mengajar) di jurusan dan fakultas ini dilengkapi Laboratorium
Syari'ah sebagai tempat pelatihan dalam berbagai bidang seperti penyelenggaraan
haji, perawatan jenazah, praktik menentukan awal bulan Hijriyah dengan metode hisab
ataupun rukyat, praktikum waris, dan peradilan agama. Selain itu, Laboratorium
Syari'ah juga membuka layanan konsultasi agama dan hukum Islam bagi warga masyarakat
umum; seperti konsultasi waris, pernikahan, dan pembayaran/pembagian zakat.
Sangatlah dimaklumi
bilamana jurusan dan fakultas yang dimasuki Sudarsono cukup lengkap dalam
memberikan materi perkuliahan seputar penerapan syari’ah Islam. Hal ini sangat
terkait dengan misi: Menyelenggarakan pendidikan sarjana Muslim yang beriman,
profesional, berwawasan global dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dalam
bidang hukum keluarga Islam. Juga tak terlepas dari tujuan pendidikan di
fakultas ini, yakni membentuk manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT, yang mampu
secara profesional dalam bidang hukum keluarga Islam baik teori maupun praktik,
yang terampil dalam melakukan pendampingan dan penyuluhan hukum keluarga Islam
bagi warga masyarakat melalui lembaga formal, informal dan non-formal, dan dapat
mengaplikasikan ilmu-ilmu kesyaria’ahan dan hukum nasional dengan pendekatan
interdisipliner
Fakultas Syari’ah
Universitas Muhammadiyah Malang memang ingin mencetak sumber daya manusia (SDM)
yang memiliki kompetensi:
·
Memiliki kemampuan penguasaan landasan
hukum Islam.
·
Memiliki keterampilan advokasi hukum dan
kepemimpinan agama bagi warga masyarakat melalui lembaga formal dan non-formal.
·
Dapat mengembangkan ilmu kesyariahan dan
hukum nasional dengan pendekatan interdisipliner untuk reformasi di bidang
hukum.
Dengan kurikulum yang
cukup lengkap di Universitas Muhammadiyah Malang, Sudarsono menemukan banyak sekali
pengalaman hidup yang pada saatnya menjadi bekal di kemudian hari. Ada banyak
hal yang menyenangkan dan ada banyak hal pahit yang dia hadapi seorang diri
dalam masa perantauannya. Kesulitan yang paling dia rasakan adalah tidak ada
sarana komunikasi dengan keluarganya di kampung (Pembuang Hulu), kecuali hanya
ada satu media, yaitu berkirim surat melalui kantor pos yang terkadang memakan
waktu satu bulan baru sampai ke tujuan.
Sudarsono sangat aktif
pada pergerakan organisasi kampus. Dia pernah menjabat sebagai Ketua Umum IMP (Ikatan Mahasiswa Penulis),
Ketua Umum Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM)
Fakultas Ilmu Agama Islam (Fakultas Syari’ah dan Fakultas Tarbiyah). Dia pun sempat menjadi wartawan tetap Majalah
Kampus “BESTARI” dan aktif menulis,
termasuk menulis beberapa cerpen di majalah tersebut.
Setelah kuliah selama
sekitar empat tahun, 1990, Sudarsono lulus dari Fakultas Syari’ah Universitas
Muhammadiyah Malang dengan nilai memuaskan.
B. Bekerja Apa Saja yang Dapat Dilakukan
Sesaat setelah
menyelesaikan semua urusan administrasi kelulusan dari Universitas Muhammadiyah
Malang, tahun 1991, Sudarsono memilih pulang ke Kalimantan Tengah. Ibarat kata
biar hujan emas di kampung orang dia memilih hujan batu di kampung sendiri. Di
awal 1990-an itu, dia bekerja serabutan, mulai dari mencari emas dengan cara
tradisional, tukang ojek, bekerja di kapal, sampai belajar berbisnis kayu.
Di tengah-tengah masa
kehidupan yang tidak kunjung membawa asa yang berpengharapan itu, tahun 1995,
Sudarsono menikahi Dra. Ratna Mustika di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat.
Setahun berselang, 1996, pasangan ini dikaruniai anak yang diberi nama Fella
Audina. Dan tahun 2003, lahir anak kedua yang bernama Agung Fadilah.
Kehidupan terus
berlangsung. Tahun 1995-1998 dia bekerja di Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
kayu log. Di sini dia diterima sebagai
tukang ukur kayu. Hanya dalam waktu tiga bulan, dia sudah dipromosikan menjadi wakil
pengawas lapangan. Dewi fortuna terus menaunginya, tiga bulan kemudian, dia
kembali mendapat promosi, jadi kepala bagian logistik lalu terakhir di bagian personalia.
Seolah keajaiban menemani
perjalanan hidup Sudarsono tak berapa lama setelah menikah. Dalam waktu cuma enam
bulan bekerja, mulai dari status karyawan biasa atau karyawan rendahan, dia
langsung melesat memperoleh jabatan sebagai kepala bagian. Sementara banyak temannya
seangkatan yang sampai satu-dua tahun belum memperoleh kesempatan promosi
jabatan.
Di saat berkemah di zona
nyaman kepala bagian promosi, tahun 1998, Sudarsono mengundurkan diri dari perusahaan
karena ingin membuka bisnis minyak berkongsi dengan seorang kawan. Usaha ini
gagal dan bubar lantaran belum sempat berjalan sesuai kesepakatan, ternyata
kawan tadi sudah menunjukkan tanda–tanda yang kurang amanah.
C. Menjalin Relasi Buat Modal
Sosial-Politik
Saat dirundung kegalauan
atas kegagalan memulai bisnis, naluri politiknya terpantik oleh peristiwa 1998,
peristiwa berakhirnya Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto di tangan kekuatan
rakyat (people power). Tahun 1998 itu
pula Surdarsono bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) besutan tokoh
reformasi Amien Rais. Pada Rakernas PAN yang pertama di Bandung, Jawa Barat, dengan
menyandang predikat Bendahara DPD PAN Kabupaten Kotawaringin Barat, dia
memimpin delegasi Kabupaten Kotawaringin Barat.
Rupanya Sudarsono tidak
ingin berlama-lama berlabuh di PAN. Awal tahun 1999 dia berpindah haluan partai
politik, menjadi Ketua Umum DPC Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), masih di
Kotawaringin Barat.
Sekadar pengetahuan, PUDI
adalah sebuah partai politik yang dibidani oleh tokoh gerakan reformasi Sri
Bintang Pamungkas. PUDI yang lahir tanggal 29 Mei 1996 di Jakarta itu merupakan
salah satu partai politik di Indonesia yang pernah menjadi peserta di Pemilihan
Umum era reformasi tahun 1999.
Partai ini memang lahir
jauh sebelum era reformasi diembuskan, yaitu di saat pemerintah melarang
berdirinya partai-partai selain tiga partai besar saat itu, yaitu Golkar, PPP,
dan PDI. Bahkan, pemikiran untuk mendirikan partai itu sebenarnya sudah ada
sejak 1993, diilhami kenyataan bahwa partai politik yang ada dirasakan tidak
aspiratif. PUDI juga menempatkan diri sebagai partai oposisi yang merupakan
bagian utama dari kehidupan demokrasi.
PUDI mengikuti pemilihan
umum tahun 1999 dengan nomor urut 36. Partai ini mendapatkan suara sebanyak
140.980 suara atau 0,13% dari keseluruhan suara yang masuk ke panitia pemilihan
umum. Dengan hasil itu, Partai ini tidak mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan
Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Kembali ke kisah
perjalanan hidup sosok Sudarsono. Untuk menopang kehidupan ekonomi di Pangkalan
Bun, tahun1999, Sudarsono memulai usaha membuka toko sembako kecil-kecilan. Di
sela-sela membesarkan toko kelontongnya itu, dia terus aktif dalam ranah perjuangan
politik. Dan dia sungguh tidak bisa melupakan kampung halamannya, Pembuang Hulu
(Kecamatan Hanau) khususnya dan tiga kecamatan di sekitarnya (Seruyan Hulu,
Seruyan Tengah dan Seruyan Hilir). Dia banyak menyerap aspirasi warga
masyarakat di empat kecamatan tersebut. Berkat intensitasnya serap aspirasi
yang cukup berarti, lalu pada tahun 2000-2002, dia diaulat menjabat Ketua Umum
Forum Perjuangan Empat Kecamatan Seruyan Menuju Kabupaten Seruyan. Sudarsono termasuk
salah satu tokoh yang sangat menonjol di balik kesuksesan proses pemekaran
daerah Kabupaten Seruyan yang otonom.
Saat memperjuangkan
Seruyan menjadi wilayah otonom, sudah barang tentu banyak tokoh yang bertemu
langsung --baik tokoh lokal maupun tokoh nasional—dengan sosok Sudarsono. Dan dari pertemuan-pertemuan yang cukup
intensif ini tentu semakin banyak kesempatan untuk menimba ilmu dari para tokoh
tadi. Tahun 2002 Seruyan berhasil dikukuhkan menjadi kabupaten baru, hasil
pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) berdasarkan UU Nomor 5
tahun 2002.
Setelah Seruyan menjadi
wilayah otonom tahun 2002, dalam beberapa tahun, Sudarsono tidak mengambil
bagian atau kesempatan berkontribusi, baik sebagai politikus maupun pengusaha
sebagaimana kelaziman yang dilakukan banyak orang. Dia memilih mengisi hasil
perjuangan wilayah pemekaran itu melalui caranya sendiri, yakni dengan
mendirikan dan mengelola sendiri lembaga pendidikan formal untuk mengantar warga
masyarakat Kabupaten Seruyan menjadi pemain di rumahnya sendiri dan tidak sekadar
menjadi penonton.
Sekali lagi, sebagai
sosok yang mumpuni di bidang syari’ah dan keguruan, dia pun dipercaya menjadi Kepala
SMA Miftahussalam Pembuang Hulu (2000-2004) dan Kepala SMK Miftahussalam
Pembuang Hulu (2004-2009 ).
Selain itu, untuk
meningkatkan kualitas dirinya di panggung politik di masa-masa berikutnya,
Sudarsono menyempatkan diri kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Kotawaringi
di Pangkalan Bun (1999-2003). Dia ingin menerapkan prinsip belajar sepanjang
hayat.
Berkat kekayaan
intelektual dan akademis yang dimilikinya, Sudarsono semakin disibukkan oleh kegiatan
sosial kemasyarakatan dan pendidikan. Dia aktif sebagai khatib untuk berkhutbah
di beberapa masjid yang ada di wilayah Pembuang Hulu dan sekitarnya. Bersama
dengan istrinya Dra. Ratna Mustika, dia mendirikan pula beberapa lembaga
pendidikan lain seperti Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Ma’hadil Islamil Falah, TK
dan TPA Ma’hadil Islamil Falah serta memotivasi pendirian beberapa sekolah di
kecamatan lain misalnya SMP dan MI swasta.
Sosok Sudarsono pun
semakin dikenal di kampung halamannya. Lantaran dia telah memberikan apa yang
dimilikinya kepada warga masyarakat, ketenaran Sudarsono mampu menembus batas
kampung halaman, melintas ke wilayah lain di Kabupaten Seruyan. Sampai kemudian
dia memperoleh amanah menjadi Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
(ICMI) Kabupaten Seruyan (2010-2014). Lalu, 2011-2015 sebagai Bendahara Umum
Persatuan Umat Islam Kalimantan Tengah
D. Terpilih Sebagai Wakil Rakyat di DPRD
Kalimantan Tengah
Setelah relatif lama
vakum dari dunia politik praktis, menjelang tahun 2009, Sudarsono kembali ingin
terjun ke jagad politik. Kali ini pilihannya jatuh ke partai berbasis kader,
Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tekadnya pun tidak sekadar menjadi wakil
rakyat di tingkat kabupaten. Dia ingin melaju ke Palangka Raya untuk
memperjuangkan aspirasi rakyat Kabupaten Seruyan ke tingkat provinsi,
Kalimantan Tengah (Kalteng).
Pada pemilihan legislatif
2009, Sudarsono berjuang di daerah pemilihan (Dapil) Kalimantan Tengah 2 (dua) yang
meliputi Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Kotawaringin Timur. Dari daftar calon
tetap, nama Sudarsono berada di nomor urut tiga (3). Setelah pesta pencoblosan,
Sudarsono memperoleh suara terbanyak dan berhak melenggang ke Palangka Raya.
Pendek kata dia terpilih menjadi anggota DPRD Kalimantan Tengah periode 2009-2014.
Dan dia masuk di Komisi C yang membidangi Kesejahteraan Rakyat (Kesra).
Terpilihnya Sudarsono
pada Pemilu 2009 dapat dikatakan sebagai sebuah hasil pemilu yang cukup
fenomenal. Karena, pada pemilu 2009 tersebut PKS justru tidak mendapatkan kursi
sama sekali di lembaga legislatif tingkat kabupaten, baik Kabupaten Seruyan
maupun Kabupaten Kotawaringin Timur yang menjadi daerah pemilihan untuk anggota
DPRD Provinsi Kalteng. Selayaknya anggota DPRD kedua Kabupaten tersebut mendapat
beberapa kursi, 5 kursi atau 6 kursi, yang setara dengan satu kursi DPRD Provinsi.
Mengingat fenomena dan
prestasi yang lumayan dalam membesarkan PKS di tingkat Provinsi Kalteng,
Sudarsono pun didaulat menjadi Wakil Ketua Bidang Pembinaan Umat DPW Partai
Keadilan Sejahtera Kalimantan Tengah. Sebuah modal berharga untuk perjuangan
politik yang lebih tinggi lagi atau untuk masuk ke eksekutif di daerah tingkat
kabupaten.
Meminjam bahasa politik Presiden
ke-30 Amerika Serikat Calvin Coolidge bahwa sosok Sudarsono memperoleh
kehormatan sebagai imbalan atas apa yang diberikannya kepada warga masyarakat
Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Kotawaringin Timur.
Dalam kapasitasnya
sebagai wakil rakyat di DPRD Kalimantan Tengah, Sudarsono betul-betul menjaga
totalitas dan amanah dari rakyat yang telah memilihnya. “Kalau kita ingin terjun
ke dunia politik haruslah total, jangan setengah-setengah,” tuturnya suatu
waktu.
Selain totalitas, sebagai
seorang Muslim, Sudarsono pun berusaha istiqomah di jalan yang telah ditetapkan
oleh Allah SWT. Setelah melakukan berbagai tindakan dan kebijakan, dia
senantiasa menyerahkan semuanya kepada kehendak Allah SWT. Ujarnya sekali
kesempatan, “Kalau membangun sekeras apapun bila tidak dibantu Allah maka tidak
akan berarti apa-apa.” (*)
No comments:
Post a Comment