Friday, October 17, 2014

Menjadi Guru Hingga Wakil Rakyat

* EMPAT


Tak seorang pun pernah diberikan kehormatan atas apa yang diterimanya. Kehormatan diberikan atas apa yang diberikannya.
Calvin Coolidge, Presiden ke-30 Amerika Serikat, 1923-1929

KENDATI lahir di sebuah desa nan terpencil, Tumbang Manjul,  Kecamatan Seruyan Hulu, Kabupaten Seruyan, tapi sosok Sudarsono lebih merasakan Pembuang Hulu (Kecamatan  Hanau, masih wilayah Kabupaten Seruyan) sebagai kampung halamannya.
Dapatlah dimaklumi, Sudarsono yang bukan keturunan orang Jawa ini hanya melewatkan masa balita di kampung yang berada di ujung hulu Sungai Seruyan itu. Dia memang lahir di Tumbang Manjul pada tanggal 17 November 1964 dari rahim ibunda Hj. Masni sebagai buah kasih dengan ayahanda H. Darman. Dan, kedua orang-tuanya memang asli Tumbang Manjul.
Namun, sejumlah jejak kehidupan di Tumbang Manjul ketika itu belum menggores di benak dan memori Sudarsono yang asli Dayak ini. Ketika itu memorinya belum mampu merekam jejak perjalanan keseharian desa yang tergolong terpencil di wilayah perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat itu. Memori di otaknya belum secara lekat mencatat setiap irama dan ritme kehidupan di desa yang berada dekat hulu Sungai Seruyan itu.
Pada usia awal-awal kehidupan, sosok manusia belumlah mampu berbuat dan mengingat gores kehidupan yang melintas di garis waktu yang dilaluinya. Buat kelangsungan hidup, manusia kecil ini masih sangat bergantung kepada orang-tuanya. Saat mereka lapar, orang tua memberinya makan. Saat mereka kotor, orang tua yang membersihkan dan menggantikan baju. Daya ingat dan daya akal anak yang dalam bahasa umum termasuk balita itu masih relatif amat terbatas.  
Pun demikian sosok Sudarsono selama menjalani kehidupan sejak dilahirkan ibunya sampai sekitar akhir tahun 1960-an di Tumbang Manjul. Dia masih belum mengerti dan memahami apa saja peristiwa yang terjadi di sekitar Tumbang Manjul saat itu. Nyaris belum ada goresan kehidupan yang melekat pada benak memorinya yang kemudian bisa dijadikan bahan cerita di masa dewasa kelak. Dan, hati dan pikiran Sudarsono pun tidak lekat dengan kehidupan kampung Tumbang Manjul. Tak ada rasa rindu pada Tumbang Manjul ketika berlama-lama meninggalkan kehidupan bersahaja di perkampungan pedalaman Seruyan itu.    
Meminjam istilah dari pakar psikologi perkembangan anak Jean Piaget, selama menjalani kehidupan di Tumbang Manjul (usia sekitar 0 tahun sampai 6 tahun), sosok Sudarsono belum memiliki kemampuan representasi mental, yakni kemampuan untuk menghadirkan suatu pengalaman-pengalaman diri sendiri ataupun orang lain dalam konteks interaksi sosial sehingga dapat dipahami oleh diri sendiri dan juga orang lain. Seorang anak yang memiliki representasi mental telah mampu mengembangkan kapasitas kognitifnya dengan membayangkan suatu obyek benda walaupun benda itu tidak ada di depannya. Dengan kemampuan representasi mental, seorang anak akan mampu melakukan suatu proses imajinasi terhadap pengalaman-pengalaman perilaku masa lalu maupun rencana pengalaman perilaku di masa yang akan datang. Selain itu, anak juga dapat melakukan imitasi pengalaman perilaku orang lain.
Baru pada usia sekitar 6-7 tahun, sosok si anak manusia memasuki tahap operasional di mana anak-anak mulai mampu melukiskan dunia dengan kata-kata dan gambar-gambar. Pemikiran simbolis melampaui hubungan sederhana antara informasi sensor dan tindakan fisik. Kendati anak dapat secara simbolis melukiskan dunia, menurut Jean Piaget, mereka belum mampu melaksanakan apa yang dia sebut “operasi” --tindakan mental yang diinternalisasikan yang memungkinkan anak-anak melakukan secara mental apa yang sebelumnya dilakukan secara fisik.
Pada tahap operasional ini konsep yang stabil dibentuk, penalaran mental muncul, egosentrisme mulai kuat dan kemudian lemah, serta keyakinan terhadap hal yang magis terbentuk. Anak mulai memiliki kemampuan untuk merekonstruksi pada tingkat pemikiran apa yang telah dilakukan di dalam perilaku.
Melalui kemampuan merekonstruksi tingkat pemikiran itulah, dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, setiap anak manusia mulai berbenak atau berakal. Si anak mulai mampu mengingat dan mengisahkan apa yang dilihat, diketahui dan dialami dalam kehidupan sehari-hari. Dalam bahasa psikolog Erik Erikson, si anak manusia mulai memiliki rasa percaya diri.
Bangunan dengan otonomi kepercayaan yang sebelumnya dikembangkan secara diam-diam, dan inisiatif, menjadikan anak akan mampu mencapai suatu perasaan tentang rasa percaya diri. Pada masa ini biasanya si anak telah memasuki bangku sekolah formal. Dan di sekolah anak belajar keterampilan dasar menulis dan kerjasama yang akan memungkinkan dirinya sendiri menjadi suatu anggota yang produktif di dalam masyarakat, dan kebutuhan akan prestasi menjadi lebih penting bagi dirinya sendiri. Anak belajar tentang kepuasan dari melakukan tugas sesuai dengan harapan orang lain dan dirinya sendiri.
Ketika memasuki bangku sekolah dan memiliki kemampuan merekonstruksi apa yang dialami dalam keseharian itu, Sudarsono memasuki pula kehidupan perkampungan yang baru, bukan lagi di Tumbang Manjul nun jauh di hulu Sungai Seruyan. Tahun 1970, H. Darman memboyong isteri dan anak-anaknya (termasuk Sudarsono) hijrah dari Tumbang Manjul ke Pembuang Hulu.
Pembuang Hulu sedikit berbeda dengan Tumbang Manjul yang sebagian besar warganya masih mempertahankan religi asli pribumi (Kaharingan). Pembuang Hulu –sebagaimana pula Kuala Pembuang (Kecamatan Seruyan Hilir) dan Telaga Pulang (Kecamatan Danau Sembuluh), sebagian besar warganya telah memeluk agama Islam. Mereka telah akrab dengan kehidupan religius Islam seperti pengajian dan belajar membaca Al-Quran di surau-surau yang ada.
Tahun 1971, Sudarsono mulai bersekolah di SD Negeri 3 Pembuang Hulu dan dirampungkannya pada tahun 1976.  Di sela-sela masa sekolah dasar ini, Sudarsono merasakan dan menyaksikan kehidupan di pedalaman Bumi Borneo dengan segala kekurangan dan keterbelakangan.  Dia biasa dibawa oleh ayahnya pergi ke ladang dan ke tengah hutan belantara sekadar untuk mendapatkan sesuap nasi.
Rasanya kehidupan demikian sukar. Namun, dia tidak ingin berhenti sekolah tatkala lulus dari SDN 3 Pembuang Hulu. Dia ingin melanjutkan ke tingkat SMP. Sayangnya, waktu itu belum ada sekolah setingkat SMP atau madrasah tsanawiyah di kampung halamannya. Sebab itu, lulus SD dia lantas masuk ke sekolah Arab (istilah kampung) atau sejenis Pesantren  (1976-1979).
Hal ini dilakukan lantaran pada tahun-tahun itu tidak ada Sekolah Lanjutan Pertama (SMP atau MTs) di Pembuang Hulu. Tapi dia merasa suka. Selama tiga tahun dia memperoleh pendidikan Agama Islam sebagai dasar dan modal dari seluruh aktivitasnya di masa depan.

A.   Merantau Lalu Pulang Kampung ke Pembuang Hulu
Sudarsono tetap belum puas hanya lulus dari sekolah Arab. Tahun 1979 dia memutuskan merantau ke Sampit untuk melanjutkan sekolah di Madrasah Tsanawiyah Negeri (MTsN) Sampit. Seorang diri dia berangkat ke Sampit, ibukota Kabupaten Kotawaringin Timur, untuk menggapai masa depan yang lebih berpengharapan.
Lulus dari MTsN Sampit tahun 1982, Sudarsono muda melanjutkan ke sekolah Pendidikan Guru Agama Negeri (PGAN) Sampit. Di sini dia merasa mendapatkan gemblengan akademik dan non-akademik yang cukup buat mematangkan diri dalam menjalani kehidupan. Banyak pula prestasi yang ditorehkannya di masa-masa ini. Tahun 1983 dia menjadi juara pertama lomba catur antar-pelajar se-Kalimantan Tengah di Palangka Raya HAB Depag, mempertahankan gelar juara yang diperolehnya pada tahun 1981.  Tahun itu pula Sudarsono dipercaya untuk menyampaikan ceramah agama di depan seluruh delegasi Kalimantan Tengah (Kalteng) termasuk di depan para pejabat teras Kanwil Kementerian Agama Kalteng. Ini pengalaman pertama ceramah di depan forum yang sangat bergengsi dan sekaligus juga ceramah pertama yang membuatnya gemetaran.
Sudarsono muda rupanya mulai memiliki nurani keterpanggilan pada dunia politik praktis. Konflik batin (hati) melihat situasi politik di masa jaya Orde Baru, waktu itu, membuat Sudarsono sudah didaulat tampil menjadi juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) menjelang Pemilu tahun 1982. Dengan masih menyandang status pelajar, tampil di atas panggung politik adalah sebuah pilihan yang sarat risiko saat itu. Tapi dia tidak ragu, karena dia merasa mesti berbuat sesuatu untuk rakyat yang tidak berdaya ketika itu.
Tahun 1985 Sudarsono keburu lulus dari PGAN Sampit. Hatinya sedikit bimbang antara pulang kampung lalu ikut andil memperbaiki kualitas sumber daya manusia sesamanya dan tetap di Sampit terus masuk lebih dalam ke dunia politik praktis. Tahun itu pula lalu dia memutuskan pulang kampung ke Pembuang Hulu.
Sebagai lulusan PGAN, di kampung halaman dia diserahi amanah sebagai Kepala Sekolah SMP Wiraswasta, sebuah SMP swasta yang dikelola Yayasan Pendidikan yang baru ada di kampungnya waktu itu. Agaknya, amanah sebagai kepala sekolah SMP ini sekadar noktah persinggahan sementara dalam rangka menuju asanya untuk menjadi orang yang kelak dapat berbuat sesuatu yang lebih besar, walau dia sesungguhnya tidak tahu hendak menjadi apa.
Dan lagi-lagi sekadar berbekal doa restu orang tua dan sedikit tabungan yang dia kumpulkan dari honor mengajar selama setahun, dia bertekad bulat berangkat kuliah ke Kota “Apel” Malang, Jawa Timur. Dia sengaja memilih kota Malang, lantaran dia tidak ingin sama tempat kuliah dengan teman-temannya yang pada kala itu rata-rata memilih daerah yang terdekat, misalkan Palangka Raya atau Banjarmasin. Jadilah Sudarsono tercatat sebagai orang Pembuang Hulu yang pertama kali kuliah di kota Malang tahun 1986. 
Berbekal selembar ijazah PGAN Sampit, Sudarsono mendaftar dan masuk Jurusan Peradilan Islam pada Fakultas Syari’ah Universitas Muhammadiyah Malang. Dia benar-benar ingin mendalami keilmuan di dalam agama Islam. Sebagaimana dipahami bahwa Fakultas Syari'ah bertujuan mengantarkan mahasiswa menjadi ahli di bidang hukum Islam di Indonesia. Lulusan Fakultas  Syari'ah –terutama Jurusan Peradilan Islam-- berpeluang menjadi hakim agama, pengacara di lingkungan peradilan agama, panitera, pegawai di KUA, dan pendidik.
Penunjang proses pembelajaran (belajar-mengajar) di jurusan dan fakultas ini dilengkapi Laboratorium Syari'ah sebagai tempat pelatihan dalam berbagai bidang seperti penyelenggaraan haji, perawatan jenazah, praktik menentukan awal bulan Hijriyah dengan metode hisab ataupun rukyat, praktikum waris, dan peradilan agama. Selain itu, Laboratorium Syari'ah juga membuka layanan konsultasi agama dan hukum Islam bagi warga masyarakat umum; seperti konsultasi waris, pernikahan, dan pembayaran/pembagian zakat.
Sangatlah dimaklumi bilamana jurusan dan fakultas yang dimasuki Sudarsono cukup lengkap dalam memberikan materi perkuliahan seputar penerapan syari’ah Islam. Hal ini sangat terkait dengan misi: Menyelenggarakan pendidikan sarjana Muslim yang beriman, profesional, berwawasan global dan menjunjung tinggi nilai-nilai HAM dalam bidang hukum keluarga Islam. Juga tak terlepas dari tujuan pendidikan di fakultas ini, yakni membentuk manusia yang bertaqwa kepada Allah SWT, yang mampu secara profesional dalam bidang hukum keluarga Islam baik teori maupun praktik, yang terampil dalam melakukan pendampingan dan penyuluhan hukum keluarga Islam bagi warga masyarakat melalui lembaga formal, informal dan non-formal, dan dapat mengaplikasikan ilmu-ilmu kesyaria’ahan dan hukum nasional dengan pendekatan interdisipliner
Fakultas Syari’ah Universitas Muhammadiyah Malang memang ingin mencetak sumber daya manusia (SDM) yang memiliki kompetensi:
·         Memiliki kemampuan penguasaan landasan hukum Islam.
·         Memiliki keterampilan advokasi hukum dan kepemimpinan agama bagi warga masyarakat melalui lembaga formal dan non-formal.
·         Dapat mengembangkan ilmu kesyariahan dan hukum nasional dengan pendekatan interdisipliner untuk reformasi di bidang hukum.
Dengan kurikulum yang cukup lengkap di Universitas Muhammadiyah  Malang, Sudarsono menemukan banyak sekali pengalaman hidup yang pada saatnya menjadi bekal di kemudian hari. Ada banyak hal yang menyenangkan dan ada banyak hal pahit yang dia hadapi seorang diri dalam masa perantauannya. Kesulitan yang paling dia rasakan adalah tidak ada sarana komunikasi dengan keluarganya di kampung (Pembuang Hulu), kecuali hanya ada satu media, yaitu berkirim surat melalui kantor pos yang terkadang memakan waktu satu bulan baru sampai ke tujuan. 
Sudarsono sangat aktif pada pergerakan organisasi kampus. Dia pernah menjabat sebagai  Ketua Umum IMP (Ikatan Mahasiswa Penulis), Ketua Umum  Badan Perwakilan Mahasiswa (BPM) Fakultas Ilmu Agama Islam (Fakultas Syari’ah dan Fakultas Tarbiyah).  Dia pun sempat menjadi wartawan tetap Majalah Kampus “BESTARI”  dan aktif menulis, termasuk menulis beberapa cerpen di majalah tersebut.
Setelah kuliah selama sekitar empat tahun, 1990, Sudarsono lulus dari Fakultas Syari’ah Universitas Muhammadiyah Malang dengan nilai memuaskan.

B.     Bekerja Apa Saja yang Dapat Dilakukan
Sesaat setelah menyelesaikan semua urusan administrasi kelulusan dari Universitas Muhammadiyah Malang, tahun 1991, Sudarsono memilih pulang ke Kalimantan Tengah. Ibarat kata biar hujan emas di kampung orang dia memilih hujan batu di kampung sendiri. Di awal 1990-an itu, dia bekerja serabutan, mulai dari mencari emas dengan cara tradisional, tukang ojek, bekerja di kapal, sampai belajar berbisnis kayu.
Di tengah-tengah masa kehidupan yang tidak kunjung membawa asa yang berpengharapan itu, tahun 1995, Sudarsono menikahi Dra. Ratna Mustika di Pangkalan Bun, Kotawaringin Barat. Setahun berselang, 1996, pasangan ini dikaruniai anak yang diberi nama Fella Audina. Dan tahun 2003, lahir anak kedua yang bernama Agung Fadilah.
Kehidupan terus berlangsung. Tahun 1995-1998 dia bekerja di Perusahaan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kayu log.  Di sini dia diterima sebagai tukang ukur kayu. Hanya dalam waktu tiga bulan, dia sudah dipromosikan menjadi wakil pengawas lapangan. Dewi fortuna terus menaunginya, tiga bulan kemudian, dia kembali mendapat promosi, jadi kepala bagian logistik lalu terakhir di bagian personalia. 
Seolah keajaiban menemani perjalanan hidup Sudarsono tak berapa lama setelah menikah. Dalam waktu cuma enam bulan bekerja, mulai dari status karyawan biasa atau karyawan rendahan, dia langsung melesat memperoleh jabatan sebagai kepala bagian. Sementara banyak temannya seangkatan yang sampai satu-dua tahun belum memperoleh kesempatan promosi jabatan.
Di saat berkemah di zona nyaman kepala bagian promosi, tahun 1998, Sudarsono mengundurkan diri dari perusahaan karena ingin membuka bisnis minyak berkongsi dengan seorang kawan. Usaha ini gagal dan bubar lantaran belum sempat berjalan sesuai kesepakatan, ternyata kawan tadi sudah menunjukkan tanda–tanda yang kurang amanah.

C.   Menjalin Relasi Buat Modal Sosial-Politik
Saat dirundung kegalauan atas kegagalan memulai bisnis, naluri politiknya terpantik oleh peristiwa 1998, peristiwa berakhirnya Orde Baru pimpinan Presiden Soeharto di tangan kekuatan rakyat (people power). Tahun 1998 itu pula Surdarsono bergabung dengan Partai Amanat Nasional (PAN) besutan tokoh reformasi Amien Rais. Pada Rakernas PAN yang pertama di Bandung, Jawa Barat, dengan menyandang predikat Bendahara DPD PAN Kabupaten Kotawaringin Barat, dia memimpin delegasi Kabupaten Kotawaringin Barat.
Rupanya Sudarsono tidak ingin berlama-lama berlabuh di PAN. Awal tahun 1999 dia berpindah haluan partai politik, menjadi Ketua Umum DPC Partai Uni Demokrasi Indonesia (PUDI), masih di Kotawaringin Barat.
Sekadar pengetahuan, PUDI adalah sebuah partai politik yang dibidani oleh tokoh gerakan reformasi Sri Bintang Pamungkas. PUDI yang lahir tanggal 29 Mei 1996 di Jakarta itu merupakan salah satu partai politik di Indonesia yang pernah menjadi peserta di Pemilihan Umum era reformasi tahun 1999.
Partai ini memang lahir jauh sebelum era reformasi diembuskan, yaitu di saat pemerintah melarang berdirinya partai-partai selain tiga partai besar saat itu, yaitu Golkar, PPP, dan PDI. Bahkan, pemikiran untuk mendirikan partai itu sebenarnya sudah ada sejak 1993, diilhami kenyataan bahwa partai politik yang ada dirasakan tidak aspiratif. PUDI juga menempatkan diri sebagai partai oposisi yang merupakan bagian utama dari kehidupan demokrasi.
PUDI mengikuti pemilihan umum tahun 1999 dengan nomor urut 36. Partai ini mendapatkan suara sebanyak 140.980 suara atau 0,13% dari keseluruhan suara yang masuk ke panitia pemilihan umum. Dengan hasil itu, Partai ini tidak mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia.
Kembali ke kisah perjalanan hidup sosok Sudarsono. Untuk menopang kehidupan ekonomi di Pangkalan Bun, tahun1999, Sudarsono memulai usaha membuka toko sembako kecil-kecilan. Di sela-sela membesarkan toko kelontongnya itu, dia terus aktif dalam ranah perjuangan politik. Dan dia sungguh tidak bisa melupakan kampung halamannya, Pembuang Hulu (Kecamatan Hanau) khususnya dan tiga kecamatan di sekitarnya (Seruyan Hulu, Seruyan Tengah dan Seruyan Hilir). Dia banyak menyerap aspirasi warga masyarakat di empat kecamatan tersebut. Berkat intensitasnya serap aspirasi yang cukup berarti, lalu pada tahun 2000-2002, dia diaulat menjabat Ketua Umum Forum Perjuangan Empat Kecamatan Seruyan Menuju Kabupaten Seruyan. Sudarsono termasuk salah satu tokoh yang sangat menonjol di balik kesuksesan proses pemekaran daerah Kabupaten Seruyan yang otonom. 
Saat memperjuangkan Seruyan menjadi wilayah otonom, sudah barang tentu banyak tokoh yang bertemu langsung --baik tokoh lokal maupun tokoh nasional—dengan sosok Sudarsono.  Dan dari pertemuan-pertemuan yang cukup intensif ini tentu semakin banyak kesempatan untuk menimba ilmu dari para tokoh tadi. Tahun 2002 Seruyan berhasil dikukuhkan menjadi kabupaten baru, hasil pemekaran dari Kabupaten Kotawaringin Timur (Sampit) berdasarkan UU Nomor 5 tahun 2002.
Setelah Seruyan menjadi wilayah otonom tahun 2002, dalam beberapa tahun, Sudarsono tidak mengambil bagian atau kesempatan berkontribusi, baik sebagai politikus maupun pengusaha sebagaimana kelaziman yang dilakukan banyak orang. Dia memilih mengisi hasil perjuangan wilayah pemekaran itu melalui caranya sendiri, yakni dengan mendirikan dan mengelola sendiri lembaga pendidikan formal untuk mengantar warga masyarakat Kabupaten Seruyan menjadi pemain di rumahnya sendiri dan tidak sekadar menjadi penonton.
Sekali lagi, sebagai sosok yang mumpuni di bidang syari’ah dan keguruan, dia pun dipercaya menjadi Kepala SMA Miftahussalam Pembuang Hulu (2000-2004) dan Kepala SMK Miftahussalam Pembuang Hulu (2004-2009 ). 
Selain itu, untuk meningkatkan kualitas dirinya di panggung politik di masa-masa berikutnya, Sudarsono menyempatkan diri kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Kotawaringi di Pangkalan Bun (1999-2003). Dia ingin menerapkan prinsip belajar sepanjang hayat.
Berkat kekayaan intelektual dan akademis yang dimilikinya, Sudarsono semakin disibukkan oleh kegiatan sosial kemasyarakatan dan pendidikan. Dia aktif sebagai khatib untuk berkhutbah di beberapa masjid yang ada di wilayah Pembuang Hulu dan sekitarnya. Bersama dengan istrinya Dra. Ratna Mustika, dia mendirikan pula beberapa lembaga pendidikan lain seperti Madrasah Ibtidaiyyah (MI) Ma’hadil Islamil Falah, TK dan TPA Ma’hadil Islamil Falah serta memotivasi pendirian beberapa sekolah di kecamatan lain misalnya SMP dan MI swasta.
Sosok Sudarsono pun semakin dikenal di kampung halamannya. Lantaran dia telah memberikan apa yang dimilikinya kepada warga masyarakat, ketenaran Sudarsono mampu menembus batas kampung halaman, melintas ke wilayah lain di Kabupaten Seruyan. Sampai kemudian dia memperoleh amanah menjadi Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Kabupaten Seruyan (2010-2014). Lalu, 2011-2015 sebagai Bendahara Umum Persatuan Umat Islam Kalimantan Tengah

D.   Terpilih Sebagai Wakil Rakyat di DPRD Kalimantan Tengah
Setelah relatif lama vakum dari dunia politik praktis, menjelang tahun 2009, Sudarsono kembali ingin terjun ke jagad politik. Kali ini pilihannya jatuh ke partai berbasis kader, Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Tekadnya pun tidak sekadar menjadi wakil rakyat di tingkat kabupaten. Dia ingin melaju ke Palangka Raya untuk memperjuangkan aspirasi rakyat Kabupaten Seruyan ke tingkat provinsi, Kalimantan Tengah (Kalteng).  
Pada pemilihan legislatif 2009, Sudarsono berjuang di daerah pemilihan (Dapil) Kalimantan Tengah 2 (dua) yang meliputi Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Kotawaringin Timur. Dari daftar calon tetap, nama Sudarsono berada di nomor urut tiga (3). Setelah pesta pencoblosan, Sudarsono memperoleh suara terbanyak dan berhak melenggang ke Palangka Raya. Pendek kata dia terpilih menjadi anggota DPRD Kalimantan Tengah periode 2009-2014. Dan dia masuk di Komisi C yang membidangi Kesejahteraan Rakyat (Kesra).
Terpilihnya Sudarsono pada Pemilu 2009 dapat dikatakan sebagai sebuah hasil pemilu yang cukup fenomenal. Karena, pada pemilu 2009 tersebut PKS justru tidak mendapatkan kursi sama sekali di lembaga legislatif tingkat kabupaten, baik Kabupaten Seruyan maupun Kabupaten Kotawaringin Timur yang menjadi daerah pemilihan untuk anggota DPRD Provinsi Kalteng. Selayaknya anggota DPRD kedua Kabupaten tersebut mendapat beberapa kursi,  5 kursi atau 6 kursi,  yang setara dengan satu kursi DPRD Provinsi.
Mengingat fenomena dan prestasi yang lumayan dalam membesarkan PKS di tingkat Provinsi Kalteng, Sudarsono pun didaulat menjadi Wakil Ketua Bidang Pembinaan Umat DPW Partai Keadilan Sejahtera Kalimantan Tengah. Sebuah modal berharga untuk perjuangan politik yang lebih tinggi lagi atau untuk masuk ke eksekutif di daerah tingkat kabupaten.
Meminjam bahasa politik Presiden ke-30 Amerika Serikat Calvin Coolidge bahwa sosok Sudarsono memperoleh kehormatan sebagai imbalan atas apa yang diberikannya kepada warga masyarakat Kabupaten Seruyan dan Kabupaten Kotawaringin Timur.
Dalam kapasitasnya sebagai wakil rakyat di DPRD Kalimantan Tengah, Sudarsono betul-betul menjaga totalitas dan amanah dari rakyat yang telah memilihnya. “Kalau kita ingin terjun ke dunia politik haruslah total, jangan setengah-setengah,” tuturnya suatu waktu.
Selain totalitas, sebagai seorang Muslim, Sudarsono pun berusaha istiqomah di jalan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Setelah melakukan berbagai tindakan dan kebijakan, dia senantiasa menyerahkan semuanya kepada kehendak Allah SWT. Ujarnya sekali kesempatan, “Kalau membangun sekeras apapun bila tidak dibantu Allah maka tidak akan berarti apa-apa.” (*)


No comments:

Post a Comment