Saturday, June 6, 2015

Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian Harus Dikelola BPJS


Itu sesuai amanat UU SJSN dan UU BPJS.

Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian Harus Dikelola BPJS
Timboel Siregar. Foto: SGP
Koordinator advokasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Watch, Timboel Siregar, menilai pelaksanaan program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKm) untuk seluruh pekerja harus dikelola BPJS Ketenagakerjaan. Pemberian tugas itu sesuai amanat UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan UU No. 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Selama ini JKK dan JKm hanya ditujukan untuk pekerja yang bekerja di perusahaan swasta. Pekerja yang bekerja pada penyelenggara negara seperti PNS belum tercakup dalam program JKK dan JKm. Untungnya, dikatakan Timboel, UU SJSN dan UU BPJS mengamanatkan agar PNS tercakup dalam kedua program yang menjamin resiko ketika peserta mengalami kecelakaan kerja dan kematian itu.

Dalam rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) tentang JKK dan JKm, ada ketentuan yang menyebut kedua program itu wajib untuk PNS mulai 1 Juli 2015. Manfaat yang diterima PNS nanti juga harus sama seperti yang diperoleh pekerja swasta yang ikut program JKK dan JKm selama saat ini.

Namun Timboel khawatir pemerintah mengubah RPP tentang JKK dan JKm itu dengan menyerahkan pengelolaan kedua program tersebut kepada PT Taspen. Selama ini, Taspen mengelola dana pensiun PNS. UU BPJS hanya mengamanatkan BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan untuk menjalankan program Jaminan Sosial. “Pemerintah harus menyerahkan pengelolaan JKK dan JKm kepada BPJS Ketenagakerjaan,” katanya kepada hukumonline.com di Jakarta, Rabu (03/6).

Timboel menandaskan, Pasal 4 UU BPJS menyebut penyelenggara jaminan sosial harus lembaga yang nirlaba. Sebaliknya, Taspen berbentuk persero sehingga berorientasi profit, bukan sosial. Itu membuat Taspen tidak sesuai dengan amanat Pasal 4 UU BPJS tersebut untuk menggelar program jaminan sosial seperti JKK dan JKm.
 
BPJS Ketenagakerjaan, dikatakan Timboel, sudah berpengalaman mengelola JKK dan JKm. Sebab, sebelumnya BPJS Ketenagakerjaan ketika bernama PT Jamsostek sudah melaksanakan kedua program itu untuk pekerja sektor swasta. Timboel menilai penyelenggaraan program JKK dan JKm oleh BPJS Ketenagakerjaan sudah tepat.

Masuknya PNS jadi peserta JKK dan JKm bagi Timboel akan memenuhi prinsip gotong royong sesuai pasal 4 UU BPJS. Sehingga BPJS Ketenagakerjaan lebih mampu memberikan manfaat JKK dan JKm kepada seluruh pekerja termasuk PNS.

Taspen diperintahkan untuk mengalihkan seluruh programnya ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat 2029, sebagaimana amanat Pasal 65 UU SJSN. Kalaupun Taspen ikut menyelenggarakan program JKK dan JKm,  maka paling lambat 2029 kedua program itu harus dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. “Memang sudah sepatutnya JKK dan JKm diserahkan ke BPJS Ketenagakerjaan,” ujarnya.

Sebelumnya, anggota Komisi IX DPR, Irgan Chairul Mahfiz, menilai terlalu lama jika program yang dikelola Taspen diintegrasikan ke BPJS Ketenagakerjaan pada 2029. Apalagi sampai saat ini belum diketahui bagaimana roadmap yang dibuat Taspen terkait pengalihan itu. Menurutnya, semua program yang dikelola Taspen harus dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan, termasuk program Jaminan Pensiun (JP). “Komisi IX harus menegaskan kepada pemerintah soal pengintegrasian (pengalihan) itu,” tukasnya.

Dirut BPJS Ketenagakerjaan, Elvyn G Masassya, menjelaskan program JP untuk PNS, Polri dan TNI masih dikelola Taspen dan Asabri sampai 2029, baru kemudian dialihkan ke BPJS Ketenagakerjaan. Yang saat ini masih dalam pembahasan, kata dia, adalah program JKK dan JKm untuk PNS, Polri dan TNI yang akan diselenggarakan oleh BPJS Ketenagakerjaan mulai 1 Juli 2015.

Dalam RPP JKK Elvyn mengatakan besaran iuran dikelompokkan sesuai besarnya resiko yang dihadapi yaitu 0,24-01,74 persen untuk penerima upah. Bagi peserta bukan penerima upah besaran iurannya ditentukan sesuai nominal yang ditetapkan pemerintah.

Manfaat yang diterima peserta antara lain pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis, santunan berupa uang dan beasiswa pendidikan anak sebesar Rp12 juta untuk setiap peserta yang meninggal dunia atau cacat total tetap. Kemudian program return to work bagi pekerja yang mengalami kecelakaan kerja atau penyakit akibat kerja.

Sesuai RPP JKm, Elvyn melanjutkan, besaran iuran terdiri dari 0,3 persen bagi penerima upah dan Rp6.800 untuk peserta bukan penerima upah. Manfaat yang diperoleh adalah santunan Rp24 juta dan beasiswa pendidikan anak diberikan Rp12 juta untuk setiap peserta yang meninggal dunia. (www.hukumonline.com)

No comments:

Post a Comment