Nasibah binti Ka'ab bin Amru al-Anshariyah merupakan contoh Muslimah langka yang ikut berjuang di jalan Allah, sabar dan pemberani.
Ummu Imarah, panggilan Nasibah, pernah ikut perang
Lailatul Aqabah, perang Hudaibiyah, perang Uhud, perang Hunain,
dan tragedi Yaumul Yamamah. Dia berjuang dan melaksanakan apa yang bisa dia lakukan
sampai-sampai tangannya terputus akibat peperangan.
Nasibah mati syahid bersama suaminya, Uzayyah bin Amru,
dan juga anaknya dalam peristiwa perang
Uhud. Saat itu dia keluar dengan membawa kendi ke medan perang untuk
memberi minum dan kemudian dia ikut berperang. Akibat keberaniannya itu, dia
terluka di tubuhya dengan dua belas tusukan.
Sebagai catatan, di perang Uhud dia turun ke medan
perang yang amat dahsyat. Dia nampak mengikat bajunya sampai terluka parah. Dia
sempat bercerita, "Saya kemudian digotong oleh Ibnu Qami'ah. Dan kami
mundur ke kota Hamra al-Asad. Di sana darahku mengalir deras akibat
luka-lukaku."
Imarah, putera Nasibah, bercerita bahwa ibunya pernah
berkisah, "Saya melihat Rasulullah terdesak di perang Uhud.
Sementara yang tersisa dari tentara kaum Muslimin yang bertahan hanya puluhan
orang. Di antaranya saya, kedua anakku dan suamiku yang berusaha melindungi
Rasulullah. Sedangkan yang lain melarikan diri. Waktu itu saya tidak memakai
perlindungan apapun. Hingga saya melihat seorang tentara yang mundur dengan
memakai pengaman, saya kemudian memintanya, ‘Berikan pengamanmu untukku!’ Saya
ikut mengamankan Rasulullah dengan memakai tameng pengaman. Seandainya bukan
karena tentara musuh yang berkuda niscaya kami bisa menang."
Imarah bertutur, "Tiba-tiba ada seorang tentara
menyerangku, tetapi saya melawan dengan tameng pengaman hingga dia tak bisa
memukulku. Akhirnya saya berhasil melukai kudanya hingga dia terjatuh.
Rasulullah berteriak, 'Wahai putra Ummu Imarah, bantu ibumu! Bantu ibumu!' maka
saya membantunya hingga berhasil membunuh penyerang."
Abdullah bin Zaid, salah seorang putra Nasibah, juga
pernah bercerita, "Waktu itu saya juga ikut terluka parah sampai darah
mengalir deras. Nabi menyuruhku ‘balut lukamu!’ Kemudian saya mendatangi ibu
dan dia yang membalut luka-lukaku. Waktu itu Nabi melihat kami dan ibuku berkata,
‘Bangun anakku, mari lawan mereka.’ Lalu Rasulullah berkata, “Tak ada yang
sanggup berkorban sepertimu, wahai Ummu Imarah’."
Ummu Imarah berkisah, "Saya kemudian menghampiri
orang yang melukai anakku. Nabi Saw menyeru, 'Ini orang yang melukai anakmu.'
Saya berduel dengannnya hingga berhasil melukai kakinya sampai terjatuh. Saya
melihat Rasulullah tersenyum sampai terlihat giginya seraya berkata, 'Kamu
pelindugku, wahai Ummu Imarah.' Kami lalu menusuk musuh yang sudah terjatuh
hingga musuh tewas. Nabi lantas memuji Allah, ‘Alhamdulillah, Allah telah
menyelamatkanmu’."
Peristiwa Uhud menyisakan banyak nestapa bagi
Nasibah. Dia menuturkan, "Waktu perang Uhud saya
awalnya bertugas membawa air minum. Pada perang ini kaum Muslimin kalah. Saya
kemudian bergabung melindungi Rasulullah yang terdesak. Saya ikut melawan dan
memegang pedang dan melepas panah hingga saya terluka parah, terutama di
punggung hingga lukanya menghitam. Saya tertusuk oleh Ibnu Qami'ah."
Lantaran itu tak heran jika Nabi memuji Nasibah ketika itu,
"Nasibah binti Ka'ab adalah perempuan terhormat yang derajatnya melampaui
fulan dan fulan."
Nasibah merupakan wanita yang sempat mengikuti perang
Yamamah sampai tangannya putus. Dan putranya, Abdullah bin Zaid, berhasil
membunuh Musailamah Al-Kadzâb dengan dibantu oleh Wahsyi.[1]
Senjata dan Layanan
Kesehatan dalam Peperangan
Terkisah oleh Khusyraj bin Ziyad al-Asja’i dari neneknya (ibu Ziyad al-Asja’i)
bahwa dia pernah ikut Nabi Saw ketika pecah perang Khaibar. Dia adalah wanita
keenam dari enam wanita yang bergabung dalam perang tersebut. Kabar
bergabungnya Ummu Ziyad sampai kepada Rasulullah, lalu beliau mengutus
seseorang dan menitipkan pesan, “Siapa yang memerintahkan kalian untuk ikut
bergabung?”
Sepintas terlihat di wajah utusan itu rasa kesal. Lalu Ummu
Ziyad dan kawan-kawan menjawab, “Kami keluar dengan membawa obat-obatan dan
alat-alat medis untuk mengobati korban yang luka-luka, menjahit luka pasukan
yang terkena busur panah dan membacakan syair-syair penyemangat.”
Mendengar alasan itu Rasulullah berkata, “Baiklah jika
begitu.” Ketika kota Khaibar berhasil ditaklukkkan, Rasulullah memberikan jatah
kurma kepada mereka seperti jatah para laki-laki.[2]
Dituturkan oleh Rabi' binti Muadz, "Pada suatu
ketika, saya keluar bersama Rasulullah menuju medan perang. Saya ikut membantu
pasukan Muslimin dengan memberikan mereka minum saat kehausan, mengobati mereka
yang terluka, membawa orang-orang yang terluka parah dan yang meninggal ke kota
Madinah."[3]
Diceritakan pula dari Anas, "Suatu ketika Rasulullah
menuju medan perang bersama dengan Ummu Sulaim dan beberapa perempuan dari
kalangan sahabat Anshar. Mereka saat itu membantu pasukan muslimin dengan
memberi mereka air dan mengobati yang luka."
Lalu, pada versi sedikit berbeda, Ummu Athiyyah
menarasikan, "Pada suatu hari, saya pernah pergi perang bersama
Rasulullah. Dalam peperangan tersebut saya berperan mengobati orang-orang yang
luka dan membuatkan makanan untuk para pasukan serta menemani mereka dalam
perjalanan."[4]
Disebutkan oleh Ibnu Ishaq bahwa pada saat pristiwa
perang Khandaq, Said bin Mu’adz –yang merupakan pasukan Muslimin– terluka
parah. Lalu Rasulullah berpesan, "Bawalah dia ke tenda Siti Rafidzah yang
berada di Masjid agar dia bisa segera diobati."
Rafidzah adalah seorang perempuan dari kalangan sahabat
Anshar yang berperan penting mengobati tentara yang terluka pada waktu
peperangan berkecamuk. Dia juga mengambil peran mengurusi orang-orang yang
terluka dan meninggal dari tentara kaum Muslimin.
Imam Bukhari menceritakan dalam “Adabul Mufrad”
yang diriwayatkan dari Mahmud bin Labid. Mahmud berkisah, "Ketika kedua
pelipis Sa’ad bin Mu’adz terluka saat peristiwa perang Khandaq, para sahabat
menyarankan, 'rujuklah dia kepada seorang wanita yang bernama Rafidzah, dia mempunyai
tugas mengobati orang-orang yang terluka.' Rasulullah mengunjungi Mu'adz dan
berkata, ‘Bagaimana kabarmu sore ini?’ Dan tatkala tiba waktu pagi Rasulullah
berkunjung lagi dan menyapa, ‘Bagaimana keadaanmu pagi ini?’.”
Dituturkan oleh Abu Umar bin Abdul Bar bahwa Ku’aibah
binti Sa’id ikut perang bersama Rasulullah pada waktu perang Khaibar, lalu dia
terkena panah pasukan musuh. Abu Sa'ad berkata, “Dia adalah perempuan yang
selalu berada di masjid untuk mengobati orang-orang yang sakit dan terluka.”
Dan Abu Sa'ad merupakan salah satu pasien yang berobat kepada perempuan ini hingga
dia meninggal karena luka-lukanya yang parah.
Umayyah binti Abu al-Shalt mengungkapkan bahwa suatu saat
seorang perempuan dari kabilah Ghibar berkata, “Suatu hari saya mendatangi
Rasulullah bersama dengan beberapa perempuan. Kami meminta kepada Rasulullah, ‘Wahai
Rasulullah, kami datang ke sini dengan maksud untuk keluar bersamamu ke perang
Khaibar. Kami akan membantu tentara Muslim. Rasulullah menjawab, ‘Semoga Allah
memberkati kalian.’ Setelah itu kami keluar bersama Rasulullah menuju medan
perang. Saat itu saya masih muda belia. Rasulullah menyuruh saya agar menjaga
peralatan perang.”
Lebih lanjut, perempuan dari kabilah Ghibar ini berkisah,
"Demi Allah, ketika subuh tiba Rasulullah mendatangi kami, kemudian beliau
menderungkan untanya dan saya pun keluar menemuinya. Beliau terkejut karena
melihat darah yang ada pada diriku; itu
merupakan awal haidku. Kemudian saya mendekati unta Rasul."
Ketika Rasulullah melihat keadaan dan darah perempuan
dari kabilah Ghibar itu beliau bertanya, "Apa yang telah menimpamu, apa
itu darah haid?"
Perempuan dari Ghibar itu menjawab, “Ya,
Rasulullah."
Lantas Rasulullah menasehatinya, “Mandilah kemudian
ambillah wadah yang berisi air. Lalu, campurlah airnya dengan garam dan
basuhlah darah yang ada di tempat dudukmu dan setelah itu kembalilah ke
sana."
Perempuan dari kabilah Ghibar itu menceritakan, “Setelah
Rasulullah menaklukkan kota Khaibar, beliau memberikan kami sebuah cinderamata
berupa kalung yang menghiasi leher kami. Kalung ini tak akan kami copot hingga
ajal datang.”
Dari beberapa perempuan yang diberi kalung tersebut, saat
mereka meninggal, ada yang mewasiatkan kalung tersebut dan ada pula yang ikut dikuburkan
bersama jasad mereka. Sementara Ku’aibah sendiri tidak bersuci dari haid
kecuali mencampuri airnya dengan garam. Dan sebelum dia meninggal, dia berwasiat
agar air yang digunakan untuk memandikannya kelak dicampuri air garam.
[1]Siyar A'lâm al-Nubalâ (3/520-523), al-Ishâbah
(4/417-419), al-Isti'âb (4/475-476), dan Thabaqât Ibn Sa'ad
(8/412-415).
[2]Imam Ahmad, Vol. V, hal. 271 dan Abu Daud, hal. 2729.
[3]Al-Bukhari, hal. 2882 dan Imam Ahmad,
Vol. VI, hal. 358.
[4]Muslim (1818), Ibnu Majah (2856),
Al-Darimi (2422), Ahmad (5/84).
No comments:
Post a Comment