Wednesday, January 29, 2014

Posisi Seorang Laki-laki di Hadapan Perempuan

Sepulang Rasulullah dari perang Uhud menuju Madinah, Rasulullah berjumpa dengan Hamnah binti Jahsy. Orang-orang yang berpapasan dengan Hamnah menyampaikan berita meninggalnya saudara laki-laki dia, Abdullah bin Jahsy.[1] Seketika Hamnah mengucapkan kalimat istirjak[2] dan istighfar untuk saudaranya.  Setelah itu, disusul kemudian kabar mengenai syahidnya pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib. Hamnah pun mengucapkan lafadz istirjak dan membacakan istighfar untuk pamannya. Setelah itu tentara Islam menyampaikan pula kabar kematian suaminya, Mus'ab bin Umair, seketika Hamnah menjerit, meratap dan menangis histeris.
Saat Rasulullah melihat reaksi Hamnah yang terakhir, Rasulullah bersabda, "Sesungguhnya seorang suami mempunyai posisi yang sangat penting bagi perempuan." Perempuan akan menangis histeris ketika suaminya meninggal. Sementara selainnya tidak demikian.[3]

Dahulukan Allah SWT Sebelum Suami
Diceritakan oleh Abu Said al-Khudri, “Suatu hari, datang seorang perempuan kepada Rasulullah dan kebetulan saat itu, saya sedang bersama Rasulullah. Perempuan itu mengadu kepadanya mengenai perangai suaminya. Dia mengungkapkan, ‘Saya punya suami bernama Shafwan bin Mu’attal. Dia berlaku kasar dan memukulku bila saya melaksanakan shalat. Dia memaksa saya makan saat saya melaksanakan puasa, dan dia tidak pernah melaksanakan shalat Subuh kecuali setelah terbitnya matahari’."
Abu Said melanjutkan ceritanya, “Saat itu Shafwan bin Mu’attal sedang bersama Rasulullah. Lalu Rasulullah mengklarifikasi kebenaran pengaduan perempuan tersebut kepada Shafwan. Shafwan menjawab, ‘Wahai Rasulullah, mengenai perkataan istriku bahwa saya memukulnya bila dia melaksanakan shalat, hal itu karena setiap shalat dia membaca dua surat dan saya telah melarangnya.’ Rasulullah kemudian menasehati perempuan itu, ‘Seandainya kamu membaca satu surat saja, maka sungguh itu sudah menggugurkan kewajibanmu.’
Shafwan berkata lagi, ‘Adapun bahwa saya memaksanya makan saat dia melaksanakan puasa, itu karena dia selalu menjalankan puasa tathawu’.[4] Sedang saya adalah laki-laki muda yang tidak sabar bila terus menerus melihat istriku susah digauli lantaran dia berpuasa sunnah.’
Setelah Rasulullah mendengar jawaban Shafwan, beliau berkata, ‘Jangan sekali-kali perempuan berpuasa sunnah kecuali atas izin suaminya.’
Shafwan melanjutkan, ‘Adapun mengenai pengaduan istriku bahwa saya tidak melaksanakan shalat Subuh kecuali setelah terbit matahari, sesungguhnya saya adalah kepala rumah tangga yang tidak tidur malam dan kalian tahu soal itu, sehingga saya hampir tidak bangun sampai matahari terbit.’[5]
Kemudian Rasulullah menasehati Shafwan, ‘Bila kamu telah bangun, wahai Shafwan, maka segeralah melaksanakan shalat Subuh’.”[6]




[1]Dia menjadi syahid pada perang Uhud  dan dikatakan bahwa dia dikuburkan bersama dengan Hamzah bin Abdul Muthallib dalam satu liang lahat.
[2]Kalimat “Innâ lillahi Wainnâ ilaihi Rajiûn”
[3]Syirah Ibnu Hisyam, Vol.III, hal. 41. 
[4]Melaksanakan puasa sunnah dalam beberapa hari.
[5]Ahlu Sun’ah adalah penduduk (pekerja) yang punya kebiasaan tidak tidur malam karena mereka bekerja menjalankan irigasi sepanjang malam. Sehingga, karena kantuk yang luar biasa, mereka susah bangun saat menjelang shalat Subuh. Mengenai hal ini, Rasulullah telah memerintahkan mereka untuk melaksanakan shalat Subuh bilamana mereka telah bangun. Ini merupakan belas kasih dari Allah kepada hambanya dan dari Rasulullah kepada umatnya, dan keadaan demikian bisa terjadi dalam waktu-waktu tertentu.  
[6]Sunan Abu Daud, hal. 2459.

No comments:

Post a Comment