Tuesday, February 4, 2014

Shalat Sambil Menangis


            Diceritakan dari ‘Urwah bin Zubair, “Pada suatu hari, saya mendatangi Asma’, putri Abu Bakar. Kebetulan pada saat itu, dia sedang shalat dan membaca ayat ini, فمن الله علينا ووقانا عذاب السموم[1]. Kemudian dia berdo’a agar dijauhkan dari api neraka. Saya berdiri, sementara dia terus memohon agar dijauhkan dari api neraka. Akhirnya saya keluar pergi ke pasar. Setelah saya kembali lagi, saya terkejut, karena Asma’ masih terus mengulangi ayat tersebut sambil shalat dan menangis; dia terus memohon kepada Allah agar dijauhkan dari api neraka.”[2]

Kisah Asma’ dan Putranya Abdullah
            Urwah bin Zubair berkisah, “Pada suatu hari, saya dan saudaraku, Abdullah –sebelum dia terbunuh– mendatangi ibu kami. Kebetulan beliau sedang sakit. Abdullah bertanya mengenai kabar ibu, ‘Apa yang sekarang ibu rasakan?’ Ibu menjawab, ‘Masih dalam keadaan sakit.’ Kemudian Abdullah berkata, ‘Sesungguhnya dalam kematian terdapat kekuatan.’[3] Seketika itu Ibu berkata, “Demi Allah, saya tidak ingin mati sebelum saya melihat kamu berada di antara dua kemungkinan: Akan terbunuh dan mati syahid, maka saya bangga padamu. Atau mendapatimu menang, maka saya akan sangat bahagia. Janganlah kamu berpaling dari siasat perang, kemudian tidak mematuhinya’.”
            Thalhah pernah memperoleh cerita dari ayahnya bahwa Asma’ pernah menasehati putranya, Abdullah, “Hiduplah dalam keadaan mulia dan matilah dalam keadaan mulia pula. Jangan sampai kalian menjadi tawanan suatu kaum.”[4]
            Abdullah bin Zubair pernah mendatangi ibunya (Asma’), tatkala dia melihat banyak orang yang mencemooh dirinya. Dia mengadu kepada ibunya, “Wahai ibu, orang-orang telah mencemoohku, anak dan keluargaku. Mereka tidak ada yang sudi bergaul denganku kecuali sebagian kecil saja yang notabene mereka tidak mampu membela diri selain dengan bersabar. Sementara mereka (golongan kecil ini) menjanjikan padaku kekayaan. Bagaimana saya harus menyikapi keadaan ini?"
            Ummu Abdullah berpendapat, “Kamu dan Allah lebih tahu tentang dirimu sendiri. Karena itu, jika kamu meyakini dirimu berada di jalur yang benar dan pada jalur itu kamu berdakwah, maka majulah. Sungguh pengikutmu sudah banyak yang menjadi korban, jangan biarkan para pemuda Bani Umayah mempermainkan dirimu. Dan bila kamu menghendaki dunia, maka sesungguhnya kamu termasuk hamba yang paling tercela; kamu hinakan dirimu dan kamu hinakan orang-orang yang berkorban bersamamu. Jika kamu mengatakan, saya memang berada di jalur yang benar, tapi saya melihat kerapuhan dalam barisan para pengikutku, karena itu saya menjadi lemah, maka sikapmu ini bukanlah sikap seorang laki-laki atau tokoh agama. Berapa lama lagi kamu akan berlabuh di dunia? Kematian adalah jalan yang terbaik.”  
            Abdullah berdiri, kemudian mengecup kening ibunya, sekaligus mengomentari pendapatnya, “Demi Allah, apa yang ibu katakan tadi sebenarnya adalah sama dengan pendapatku dan keyakinan yang sampai saat ini saya pegang. Saya tidak tertarik dengan dunia dan tidak suka untuk berlama-lama hidup di dunia, kalau bukan karena rasa geram, gara-gara larangan Allah yang telah dilegalkan, saya juga tidak tertarik untuk berperang. Saya hanya ingin tahu pendapatmu, wahai ibu, sehingga saya menjadi lebih yakin dengan prinsip saya. Anggaplah, wahai ibu, bahwa mulai detik ini saya telah mati, karena itu jangan terlalu bersedih, serahkan saja semua urusan kepada Allah. Sungguh putramu tidak bermaksud untuk melakukan perkara mungkar atau melakukan perbuatan keji, melanggar hukum Allah atau menyebarkan propaganda. Kelaliman terhadap orang Islam dan kafir yang telah mengadakan perjanjian damai juga telah tiada. Dan saya tidak pernah rela terhadap kelaliman yang diperbuat para bawahan saya, justru saya mengingkarinya. Tidak ada sesuatu yang menjadi prioritas saya selain ridha Allah. Ya Allah, sesungguhnya apa yang saya katakan tadi, tidak ada maksud untuk memuji diri sendiri. Engkau lebih tahu tentang saya. Saya hanya ingin menghibur ibu saya, agar dia tidak terlalu bersedih atas kepergian saya nanti.”
            Lalu Abdullah berpamitan kepada ibunya dan berkata, “Sungguh saya merasa bahwa ini adalah hari terakhirku berlabuh di dunia. Ketahuilah wahai ibu, bila nanti saya terbunuh, maka sesungguhnya saya hanyalah segumpal daging. Apa yang mereka perbuat sama sekali tidak akan membahayakanku.”
            Ummu Abdullah menimpali perkataan putranya, “Benar wahai putraku. Allah telah menyempurnakan keyakinanmu, sekarang mendekatlah.” Abdullah mendekati ibunya, lantas mengecup dan memeluknya.[5]


[1]At-Thûr: 27.
[2]Hilyah al-Auliyâ’ (2/55).
[3]Abdullah bermaksud bahwa dia segera meninggal. Gara-gara itu sang ibu bersedih.
[4]Siyar A’lam aL-Nubalâ’ (3/53).
[5]A’lâm al-Nisâ’ (1/5-51).

No comments:

Post a Comment