Diceritakan dari ‘Urwah bin Zubair, “Pada suatu hari, saya mendatangi Asma’, putri Abu Bakar. Kebetulan pada saat itu, dia sedang shalat dan membaca ayat ini, فمن الله علينا ووقانا عذاب السموم[1]. Kemudian dia berdo’a agar dijauhkan dari api neraka. Saya berdiri, sementara dia terus memohon agar dijauhkan dari api neraka. Akhirnya saya keluar pergi ke pasar. Setelah saya kembali lagi, saya terkejut, karena Asma’ masih terus mengulangi ayat tersebut sambil shalat dan menangis; dia terus memohon kepada Allah agar dijauhkan dari api neraka.”[2]
Kisah Asma’ dan
Putranya Abdullah
‘Urwah bin
Zubair berkisah, “Pada suatu hari, saya dan saudaraku, Abdullah –sebelum dia terbunuh–
mendatangi ibu kami. Kebetulan beliau sedang sakit. Abdullah bertanya mengenai
kabar ibu, ‘Apa yang sekarang ibu rasakan?’ Ibu menjawab, ‘Masih dalam keadaan
sakit.’ Kemudian Abdullah berkata, ‘Sesungguhnya dalam kematian terdapat
kekuatan.’[3]
Seketika itu Ibu berkata, “Demi Allah, saya tidak ingin mati sebelum saya
melihat kamu berada di antara dua kemungkinan: Akan terbunuh dan mati syahid,
maka saya bangga padamu. Atau mendapatimu menang, maka saya akan sangat
bahagia. Janganlah kamu berpaling dari siasat perang, kemudian tidak mematuhinya’.”
Thalhah
pernah memperoleh cerita dari ayahnya bahwa Asma’ pernah menasehati putranya,
Abdullah, “Hiduplah dalam keadaan mulia dan matilah dalam keadaan mulia pula. Jangan
sampai kalian menjadi tawanan suatu kaum.”[4]
Abdullah
bin Zubair pernah mendatangi ibunya (Asma’), tatkala dia melihat banyak orang yang
mencemooh dirinya. Dia mengadu kepada ibunya, “Wahai ibu, orang-orang telah
mencemoohku, anak dan keluargaku. Mereka tidak ada yang sudi bergaul denganku kecuali
sebagian kecil saja yang notabene mereka tidak mampu membela diri selain dengan
bersabar. Sementara mereka (golongan kecil ini) menjanjikan padaku kekayaan.
Bagaimana saya harus menyikapi keadaan ini?"
Ummu
Abdullah berpendapat, “Kamu dan Allah lebih tahu tentang dirimu sendiri. Karena
itu, jika kamu meyakini dirimu berada di jalur yang benar dan pada jalur itu kamu
berdakwah, maka majulah. Sungguh pengikutmu sudah banyak yang menjadi korban,
jangan biarkan para pemuda Bani Umayah mempermainkan dirimu. Dan bila kamu
menghendaki dunia, maka sesungguhnya kamu termasuk hamba yang paling tercela;
kamu hinakan dirimu dan kamu hinakan orang-orang yang berkorban bersamamu. Jika
kamu mengatakan, saya memang berada di jalur yang benar, tapi saya melihat
kerapuhan dalam barisan para pengikutku, karena itu saya menjadi lemah, maka
sikapmu ini bukanlah sikap seorang laki-laki atau tokoh agama. Berapa lama lagi
kamu akan berlabuh di dunia? Kematian adalah jalan yang terbaik.”
Abdullah
berdiri, kemudian mengecup kening ibunya, sekaligus mengomentari pendapatnya,
“Demi Allah, apa yang ibu katakan tadi sebenarnya adalah sama dengan pendapatku
dan keyakinan yang sampai saat ini saya pegang. Saya tidak tertarik dengan
dunia dan tidak suka untuk berlama-lama hidup di dunia, kalau bukan karena rasa
geram, gara-gara larangan Allah yang telah dilegalkan, saya juga tidak tertarik
untuk berperang. Saya hanya ingin tahu pendapatmu, wahai ibu, sehingga saya
menjadi lebih yakin dengan prinsip saya. Anggaplah, wahai ibu, bahwa mulai
detik ini saya telah mati, karena itu jangan terlalu bersedih, serahkan saja
semua urusan kepada Allah. Sungguh putramu tidak bermaksud untuk melakukan
perkara mungkar atau melakukan perbuatan keji, melanggar
hukum Allah atau menyebarkan propaganda. Kelaliman terhadap orang Islam dan kafir
yang telah mengadakan perjanjian damai juga telah tiada. Dan saya tidak pernah
rela terhadap kelaliman yang diperbuat para bawahan saya, justru saya
mengingkarinya. Tidak ada sesuatu yang menjadi prioritas saya selain ridha Allah.
Ya Allah, sesungguhnya apa yang saya katakan tadi, tidak ada maksud untuk
memuji diri sendiri. Engkau lebih tahu tentang saya. Saya hanya ingin menghibur
ibu saya, agar dia tidak terlalu bersedih atas kepergian saya nanti.”
Lalu
Abdullah berpamitan kepada ibunya dan berkata, “Sungguh saya merasa bahwa ini
adalah hari terakhirku berlabuh di dunia. Ketahuilah wahai ibu, bila nanti saya
terbunuh, maka sesungguhnya saya hanyalah segumpal daging. Apa yang mereka
perbuat sama sekali tidak akan membahayakanku.”
Ummu
Abdullah menimpali perkataan putranya, “Benar wahai putraku. Allah telah
menyempurnakan keyakinanmu, sekarang mendekatlah.” Abdullah mendekati ibunya, lantas
mengecup dan memeluknya.[5]
No comments:
Post a Comment