Dinilai sudah tak sesuai dengan kondisi saat ini.
Asosiasi Dana Pensiun Indonesia (ADPI) dan Asosiasi Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) Indonesia berharap agar UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun direvisi. Ketua ADPI Gatut Subadio menilai, substansi dari UU Dana Pensiun tersebut sudah tak sejalan dengan kondisi saat ini.
“UU No. 11 Tahun 1992 tentang Dana Pensiun sudah lama, banyak yang perlu disempurnakan,” kata Gatut di Jakarta, Selasa (29/4).
Ia berharap revisi UU Dana Pensiun ini menjadi prioritas di DPR. Tujuan revisi agar memberikan kedudukan yang kuat kepada usaha dana pensiun. Salah satu alasan revisi, lanjut Gatut, lantaran munculnya UU No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
Menurutnya, dalam UU SJSN terdapat turunannya yakni Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan yang salah satu programnya mengenai pensiun. Terkait hal ini, asosiasi khawatir pertumbuhan DPLK dan Dana Pensiun Pemberi Kerja (DPPK) di Indonesia akan menurun. Hal ini dikarenakan program pensiun dari BPJS Ketenagakerjaan merupakan hal yang wajib bagi tiap perusahaan.
Atas dasar itu, revisi UU Dana Pensiun bermaksud untuk mengharmonisasikan UU SJSN yang lahir belakangan. Menurutnya, harmonisasi ini penting demi menjaga perkembangan dari dana pensiun di Indonesia. Ia berharap OJK atau pemerintah dapat segera mengatasi persoalan ini.
“UU SJSN menyatakan tiap karyawan harus ikut program BPJS. Perlu dipikirkan lagi bagaimana BPJS ada tapi dana pensiun juga tetap ada,” ujarnya.
Setidaknya, lanjut Gatut, program pensiun yang ditawarkan BPJS Ketenagakerjaan hanya bersifat dasar saja. Jika ada masyarakat yang ingin memperoleh lebih, maka bisa masuk ke DPLK atau DPPK. Meski begitu, asosiasi tetap mendukung kehadiran BPJS Ketenagakerjaan.
“Jangan lupakan history, ada lembaga danpen yang berjibaku dan sekarang eksis dengan aset Rp170 triliun, jangan sampai pengembangannya berkurang. Kita ingin konsep multipolar untuk melayani,” tuturnya.
Ketua Harian Asosiasi DPLK Indonesia Nur Hasan Kurniawan berharap hal yang sama. Menurutnya, dukungan dari OJK diperlukan agar keberadaan DPLK dan DPPK di Indonesia tetap ada. “Kami harapkan ada sokongan dari OJK agar DPLK dan DPPK tetap eksis di Indonesia,” katanya.
Wakil Ketua Dewan Komisioner OJK, Rahmat Waluyanto, mengatakan otoritas mendukung pengembangan dana pensiun di Indonesia. Dukungan tersebut terlihat dari adanya keringanan dalam penarikan iuran oleh OJK kepada pelaku jasa keuangan. Menurutnya, pelaku jasa keuangan termasuk dana pensiun yang masih dalam tahap pengembangan atau memiliki kesulitan keuangan bisa mengajukan keberatan pungutan ke OJK.
Keberatan tersebut nantinya akan diverifikasi oleh OJK kepada masing-masing pelaku jasa keuangan yang merasa keberatan dengan pungutan. Jika tim verifikasi OJK sepakat dengan keberatan pelaku jasa keuangan tersebut, maka bisa dibebaskan dari kewajiban pungutan.
“Jadi dalam menerapkan pungutan tidak sembarangan, pungutan ini betul-betul harus bsi adilaksanakan dalam konteks pengembangan sektor jasa keuangan secara keseluruhan,” tutup Rahmat. (www.hukumonline.com)
No comments:
Post a Comment